Kamis, 14 Desember 2017

Perkawinan Usia Dini



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Perkawinan Usia Dini
Pada dasarnya, menikah adalah sesuatu yang disunnahkan. Menikah merupakan sebuah ikatan seorang wanita dengan seorang laki-laki dengan ucapan-ucapan tertentu (ijab dan qobul) yang memenuhi syarat dan rukunnya. QS.Al-Hujurat: 13
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“ sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal ”.
Namun, Dalam kehidupan selalu muncul hal-hal baru (aktual) yang berkaitan dengan permasalahan hukum pernikahan (fiqh al-Munakahat), diantara kasus-kasus terjadi adalah kontroversi nikah muda atau nikah dini.
Pengertian perkawinan usia dini adalah sebuah bentuk ikatan/pernikahan yang salah satu atau kedua pasangan berusia di bawah 18 tahun. Jadi sebuah pernikahan disebut pernikahan dini, jika kedua atau salah satu pasangan masuk berusia di bawah 18 tahun (masih berusia remaja).[1])
Hal ini telah menjadi perhatian komunitas internasional mengingat risiko yang timbul akibat pernikahan yang dipaksakan, hubungan seksual pada usia dini, kehamilan pada usia muda, dan infeksi penyakit menular seksual. Kemiskinan bukanlah satu-satunya faktor penting yang berperan dalam pernikahan usia dini, bahkan ada faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya perkawinan usia dini diantaranya faktor pendidikan, lingkungan, sosial dan agama. 
Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu risiko komplikasi yang terjadi di saat kehamilan dan saat persalinan pada usia muda, sehingga berperan meningkatkan angka kematian ibu dan bayi. Selain itu, pernikahan di usia dini juga dapat menyebabkan gangguan perkembangan kepribadian dan menempatkan anak yang dilahirkan berisiko terhadap kejadian kekerasan dan keterlantaran. Masalah pernikahan usia dini ini merupakan kegagalan dalam perlindungan hak anak. Dengan demikian diharapkan semua pihak termasuk dokter anak, akan meningkatkan kepedulian dalam menghentikan praktek pernikahan usia dini.
B.     Pandangan para ulama dan landasannya
Jumhur fuqaha` membolehkan dan mengesahkan pernikahan dini bahkan lebih jauh lagi membolehkan pernikahan anak-anak. Dalam hal ini Ibnu al-Mundzir seperti dikutip oleh Ibnu Qudamah al-Maqdisi menyatakan :
قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ أَجْمَعَ كُلُّ مَنْ نَحْفَظُ عَنْهُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ ، أَنَّ نِكَاحَ الْأَبِ ابْنَتَهُ الْبِكْرَ الصَّغِيرَةَ جَائِزٌ ، إذَا زَوَّجَهَا مِنْ كُفْءٍ ، وَيَجُوزُ لَهُ تَزْوِيجُهَا مَعَ كَرَاهِيَتِهَا وَامْتِنَاعِهَا 
“Ibnu al-Mundzir berkata, “ semua orang yang kami anggap ahli ilmu telah sepakat, bahwa seorang ayah menikahkan anak gadisnya yang masih kecil hukumnya jaiz ( boleh), jika ia menikahkannya dengan pria yang sekufu, dan boleh baginya menikahkannya walau ia tidak suka dan menolaknya ( dengan tanpa persetujuannya)”.[2])
Landasan normatif-teologis yang menjadi dasar pembolehan dan pengesahan pernikahan anak-anak ini di antaranya merujuk pada :
1.      At-Thalaq ayat 4
وَاللائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولاتُ الأحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. …
Cara mengambil istinbath hukum dari ayat diatas adalah, iddah atau masa tunggu wanita yang sudah menopause ketika dicerai adalah tiga bulan, demikian pula wanita yang belum pernah atau sudah tidak haid lagi. Wanita yang belum haid tidak  diragukan lagi adalah wanita yang belum balighah atau dengan perkataan lain wanita yang masih anak-anak. Dan perlu disadari bahwa ketentuan iddah bagi wanita tentunya berkaitan dengan wanita yang sudah menikah dan diceraikan. Ini secara tidak langsung ( mafhumnya ) , al-Qur`an mengakui keabsahan terjadinya pernikahan wanita yang masih anak-anak. Demikian wajah istidlal dari jumhur fuqaha`.

2.      An-Nisa : 127
قال الله تعالى : وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ وَمَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ فِي يَتَامَى النِّسَاءِ اللاتِي لا تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ
“Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah : “Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Qur’an   tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa  yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka  dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan  supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya.”



3.      Hadis Bukhari,Muslim, Abu Dawud, Nasa`I, Baihaqi
عَنْ عَائِشَةَ { أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَهَا وَهِيَ بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ ، وَأُدْخِلَتْ عَلَيْهِ وَهِيَ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ وَمَكَثَتْ عِنْدَهُ تِسْعًا } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
“Dari Aisyah ra (menceritakan) bahwasannya Nabi SAW menikahinya pada saat beliau masih anak berumur 6 tahun dan Nabi SAW menggaulinya sebagai istri pada umur 9 tahun dan beliau tinggal bersama pada umur 9 tahun pula” (Hadis Shohih Muttafaq ‘alaihi).[3])
Dari hadis tersebut diatas, secara sharih menjelaskan usia Aisyah saat akad dengan Nabi SAW masih anak-anak yakni usia 6 tahun, dan diajak membina rumah tangga tatkala telah mencapai usia 9 tahun. Hal ini dipahami sebagai sebuah kebolehan dan keabsahan pernikahan wanita yang masih kanak-kanak.
Perkataan Aisyah ra : “Diapun ingin menikahinya…Maka terlarang bagi wali itu untuk menikahi perempuan yatim kecuali mampu bersikap adil pada mereka….” menunjukkan bolehnya (masyru’iyah) pernikahan pada usia dini bagi gadis yang belum baligh. Karena pengertian yatim itu diberkan bagi yang belum baligh
4.      Perbuatan Sahabat
Dalam catatan Ibnu Qudamah, ada beberapa sahabat yang menikahkan atau menikahi anak perempuan yang masih anak-anak seperti yang diriwayatkan oleh al-Atsram :
Menurut penuturan Ibnu Qudamah di atas, bahwasanya Qudamah bin Mazh’un menikahi anak perempuan Zubair ketika masih kecil, terus dikatakan kepadanya, maka ia menjawab, “ anak perempuan Zubair jika aku mati ia mewarisiku, jika aku hidup maka ia adalah istriku”. Imam Ali Karramallahu wajhah menikahkan putrinya Ummi Kultsum ketika masih kecil dengan Umar bin al-Khattab ra.
Dengan empat argumen di atas, jumhur fuqaha` merasa yakin akan kebolehan menikahkan anak-anak walaupun belum baligh.
C.    Hukum Pernikahan Dini di Kalangan Fuqaha`
Pernikahan dini, atau bahkan pernikahan anak-anak dalam pandangan jumhur ulama hukumnya boleh dan sah dilakukan oleh ayah atau wali walau tanpa seizin anaknya itu. Kebolehan nikah dini ini, secara implisit, juga dapat dibaca dalam syarat-syarat calon mempelai laki-laki dan perempuan. Nyaris tak satupun kitab-kitab fiqh yang mensyaratkan umur tertentu, kecuali hal ini baru ditemukan dalam berbagai perundangan di berbagai negeri  muslim.
Ibnu Syubrumah, Abu Bakar al-Ashamm dan Usman al-Butti menandaskan ketidakbolehan pernikahan yang dilakukan pasangan yang masih di bawah umur atau belum baligh. Sementara itu Ibnu Hazm menyatakan boleh menikahkan anak perempuan yang di bawah umur, sedang bagi anak laki-laki tidak boleh dinikahkan sampai ia baligh. 
Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Muhalla mengutip pendapat Ibnu Syubrumah sbb :
Ibnu Syubrumah berkata, “ Seorang ayah tidak boleh menikahkan putrinya yang masih kecil sampai ia balighah dan dimintai persetujuannya. Ibnu Syubrumah memandang masalah pernikahan Siti ‘Aisyah sebagai khususiyah bagi Nabi SAW, seperti kebolehan bagi Nabi menikahi wanita tanpa mahar, juga kebolehan bagi Nabi menikah lebih dari empat”.
Imam Nawawi ra dalam syarh sahih muslimnya menjelaskan, bahwa kaum muslimin telah berijma’ dibolehkannya menikahkan gadis yang masih kecil/anak-anak dan jika sudah besar/balighah tidak ada khiyar untuk fasakh baginya menurut Imam Malik dan Imam asy-Syafi’I dan seluruh fuqaha Hijaz. Sedang fuqaha`  Iraq menyatakan ia boleh melakukan khiyar jika telah balighah.
Sungguhpun para fuqaha` klasik dan tengah pada umumnya membolehkan pernikahan dini atau anak-anak, namun kecenderungan fuqaha` dan legislator di masa modern ini cenderung tidak membolehkannya, atau sekurangnya membatasinya, dengan memperhatikan berbagai faktor, apalagi kalau pernikahan anak-anak tadi dilakukan secara paksa tanpa ridha dari anak yang mau menjalani.
Adalah sebuah ‘kemajuan’ di kalangan ulama Saudi yang selama ini dikenal bersikap rigid dan ketat dalam berpegang pada nash, di mana mufti-mufti besarnya sudah tidak membolehkan lagi kawin paksa termasuk bagi anak-anak, seperti yang difatwakan oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Syaikh Muhammad ash-Shalih al-‘Utsaimin, dan Syaikh Muhammad bin Ibrahim Ali asy-Syaikh. [4])

D.    Pandangan KHI dan UU Perkawinan
Beberapa ulama memakruhkan praktik pernikahan usia dini. Makruh artinya boleh dilakukan namun lebih baik ditinggalkan.Anak perempuan yang masih kecil belum siap secara fisik maupun psikologis untuk memikul tugas sebagai istri dan ibu rumah tangga,meskipun dia sudah aqil baligh atau sudah melalui masa haid.Karena itu menikahkan anak perempuan yang masih kecil dinilai tidak maslahat bahkan bisa menimbulkan mafsadah (kerusakan). Pertimbangan maslahat-mafsadah ini juga diterima dalam madzab Syafii.
Dalam kontek Indonesia, kita punya undang-undang yang mengatur penetapan usia nikah. Undang-undang itu merupakan hasil ijtihad para ulama atau ahli fikih setempat atau kita sebut sebagai ijtihad jama'i,yakni ijtihad yang dilakukan bersama-sama oleh ulama pada suatu tempat dan pada suatu masa.Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa batasminimal usia perkawinan untuk perempuan adalah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun.Lalu juga ada pasal lain yang menyebutkan bahwa pernikahan di bawah usia 21 hanya bisa dilangsungkan dengan persyaratan tambahan.Aturan mengenai usia nikah itu juga ditegaskan kembali dalam PP No 9 tahun 75 dan Instruksi Presiden No 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Salah satu prinsip yang dianut dalam UU perkawinan di Indonesia adalah calon suami istri harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berpikir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Maka dari itu, usia pernikahan perlu ditentukan batas minimalnya.
Di Indonesia, UU yang mengatur masalah perkawinan adalah UU Nomor 1 Tahun 1974 yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974. Ketentuan usia minimal kawin diatur dalam pasal 7 yang berbunyi :
Ayat 1 : Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
Ayat 2 : Dalam hal penyimpangan terhadap ayat 1 pasal itu dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.[5])



[1]) Nugroho Kampono. Pernikahan Dini tingkatkan Resiko Kanker Servic. Semarang: Kelud Raya. 2007. Hlm 98
[2]) Moh. Thalib, Fiqh Sunnah Terjemah, Bandung : Al-Ma’arif, 1981, hlm 77
[3]) Sayuti Talib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta; UI Press, 1986. Hlm 104
[4])Prof. H. Mahmud Junus, Hukum Perkawinan Dalam Islam,Jakarta:Pustaka Mahmudiah, 1964. Hlm 82
[5]) M. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Peradilan Agama dan Perkawinan Islam, Jakarta : Hill.Co., 1984. Hlm 135

Tidak ada komentar:

Posting Komentar