Sabtu, 21 Oktober 2017

MAKALAH FIQH IBADAH_Air dan macam-macamnya



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Thaharah menduduki masalah penting dalam Islam. Boleh dikatakan bahwa tanpa adanya thaharah, ibadah kita kepada Allah SWT tidak akan diterima. Sebab beberapa ibadah utama mensyaratkan thaharah secara mutlak. Tanpa thaharah, ibadah tidak sah.
Perhatian Islam atas dua jenis kesucian baik jasmani maupun rohani merupakan bukti otentik tentang konsistensi Islam atas kesucian dan kebersihan. Dan bahwa Islam adalah peri hidup yang paling unggul dalam urusan keindahan dan kebersihan.
Tidak hanya mengenai cara thaharah, namun kita juga perlu mengetahui media-media atau alat yang digunakan untuk thaharah. Misalnya air, kita tidak bisa menggunakan semua jenis/macam air karena tidak semua air bersifat suci dan mensucikan. Hal ini mengisyaratkan kita bahwa pentingnya mempelajari beberapa macam air. Dengan begitu kita akan mengetahui mana air yang boleh dipergunakan untuk bersuci dan mana air yang tidak diperbolehkan untuk bersuci.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Thaharah ?
2.      Apa Macam-Macam Air?

C.    Tujuan Makalah
1.      Mengetahui Pengertian Thaharah
2.      Mengetahui Macam-Macam Air




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Thoharoh
Thaharah (طهارة) dalam bahasa Arab bermakna An-Nadhzafah (النظافة), yaitu kebersihan. Kata “Thaharoh” berarti “suci atau bersih”. Menurut istilah syara’, mengandung banyak tafsir, di antaranya: Suatu perbuatan yang menjadikan seseorang boleh shalat, misalnya: wudu, mandi, tayamum, dan menghilangkan najis.
Bersuci meliputi beberapa perkara. Antara lain sebagai berikut
1.         Alat bersuci, seperti air, tanah dan sebagainya
2.         Cara bersuci
3.         Macam dan jenis-jenis najis yang perlu dibersihkanatau disucikan
4.         Benda yang wajib disucikan
5.         Sebab-sebab atau keadaan yang menyebabkan diwajibkannya untuk bersuci.[1])

B.     Macam-macam Air
1.      Air mutlak
Air mutlak, yaitu air yang keberadaannya suci (eksistensinya) dan dapat dipakai untuk bersuci, serta dapat menyucikan benda-benda lainnya. Singkatnya, air mutlak adalah air yang suci dan mensucikan. Air ini boleh dipakai untuk bersuci, serta boleh dikonsumsi. Diantara air yang termasuk kedalam kategori ini antara lain:
a.       Air hujan
Air hujan yang turun dari langit hukumnya adalah suci. Bisa digunakan untuk berwudhu, mandi atau membersihkan najis pada suatu benda.
Meski pun dizaman sekarang ini air hujan sudah banyak tercemar dan mengandung asam yang tinggi, namun hukumnya tidak berubah, sebab kerusakan pada air hujan diakibatkan oleh polusi dan pencemaran ulah tangan manusia dan zat-zat yang mencemarinya itu bukan termasuk najis.
Ketika air dari bumi menguap naik ke langit, maka sebenarnya uap atau titik-titik air itu bersih dan suci. Meskipun sumbernya dari air yang tercemar, kotor atau najis. Tentang sucinya air hujan dan fungsinya untuk mensucikan, Allah SWT telah berfirman :

إِذْ يُغَشِّيكُمُ النُّعَاسَ أَمَنَةً مِنْهُ وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ وَيُذْهِبَ عَنْكُمْ رِجْزَ الشَّيْطَانِ وَلِيَرْبِطَ عَلَى قُلُوبِكُمْ وَيُثَبِّتَ بِهِ الأَقْدَامَ
“Ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan mesmperteguh dengannya telapak kaki.” (QS. Al-Anfal : 11)
وَهُوَ الَّذِي أَرْسَلَ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا
“Dia lah yang meniupkan angin pembawa kabar gembira dekat sebelum kedatangan rahmat-nya ; dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih.” (QS. Al-Furqan : 48).[2])
b.      Air laut
Air laut adalah air yang suci dan juga mensucikan. Sehingga boleh digunakan untuk berwudhu, mandi janabah ataupun untuk membersihkan diri dari buang kotoran (istinja’). Termasuk juga untuk mensucikan barang, badan dan pakaian yang terkena najis.
Meski pun rasa air laut itu asin karena kandungan garamnya yang tinggi, namun hukumnya sama dengan air hujan, air embun atau pun salju. Bisa digunakan untuk mensucikan. Sebelumnya para shahabat Rasulullah SAW tidak mengetahui hukum air laut itu, sehingga ketika ada dari mereka yang berlayar di tengah laut dan bekal air yang mereka bawa hanya cukup untuk keperluan minum, mereka berijtihad untuk berwudhu` menggunakan air laut.
Sesampainya kembali ke daratan, mereka langsung bertanya kepada Rasulullah SAW tentang hukum menggunakan air laut sebagai media untuk berwudhu`. Lalu Rasulullah SAW menjawab bahwa air laut
Dari Abi Hurairah ra bahwa ada seorang bertanya kepada Rasulullah SAW,`Ya Rasulullah, kami mengaruhi lautan dan hanya membawa sedikit air. Kalau kami gunakan untuk berwudhu, pastilah kami kehausan. Bolehkah kami berwudhu dengan air laut ?`. Rasulullah SAW menjawab,`(Laut) itu suci airnya dan halal bangkainya”. (HR. Abu Daud 83, At-Tirmizi 79, Ibnu Majah 386, An-Nasai 59, Malik 1/22).
Hadits ini sekaligus juga menjelaskan bahwa hewan laut juga halal dimakan, dan kalau mati menjadi bangkai, bangkainya tetap suci.[3])
c.       Air sungai
Sedangkan air sungai itu pada dasarnya suci, karena dianggap sama karakternya dengan air sumur atau mata air. Sejak dahuu umat Islam terbiasa mandi, wudhu` atau membersihkan najis termasuk beristinja’ dengan air sungai.
Namun seiring dengan terjadinya perusakan lingkungan yang tidak terbentung lagi, terutama di kota-kota besar, air sungai itu tercemar berat dengan limbah beracun yang meski secara hukum barangkali tidak mengandung najis, namun air yang tercemar dengan logam berat itu sangat membahayakan kesehatan.
Maka sebaiknya kita tidak menggunakan air itu karena memberikan madharat yang lebih besar. Selain itu seringkali air itu sangat tercemar berat dengan limbah ternak, limbah WC atau bahkan orang-orang buang hajat di dalam sungai. Sehingga lama-kelamaan air sungai berubah warna, bau dan rasanya. Maka bisa jadi air itu menjadi najis meski jumlahnya banyak.
d.      Air sumur
Air sumur, mata air dan dan air sungai adalah air yang suci dan mensucikan. Sebab air itu keluar dari tanah yang telah melakukan pensucian. Kita bisa memanfaatkan air-air itu untuk wudhu, mandi atau mensucikan diri, pakaian dan barang dari najis.
Dalil tentang sucinya air sumur atau mata air adalah hadits tentang sumur Budha`ah yang terletak di kota Madinah.
Dari Abi Said Al-Khudhri ra berkata bahwa seorang bertanya,`Ya Rasulullah, Apakah kami boleh berwudhu` dari sumur Budho`ah?, padahal sumur itu yang digunakan oleh wanita yang haidh, dibuang ke dalamnya daging anjing dan benda yang busuk. Rasulullah SAW menjawab,`Air itu suci dan tidak dinajiskan oleh sesuatu’`. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi)[4])
e.       Air sumber (Mata Air)
Air sumber adalah air yang bersumber dari mata air, hukumya suci dan mensucikan. Air zam-zam adalah mata air yang tidak pernah kering. Mata air itu terletak beberapa meter di samping ka`bah sebagai semua sumber mata air pertama di kota Mekkah, sejak zaman Nabi Ismail alaihissalam dan ibunya pertama kali menjejakkan kaki di wilayah itu.
Bolehnya air zam-zam untuk digunakan bersuci atau berwudhu, ada sebuah hadits Rasulullah SAW dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.

ثُمَّ أَفَاضَ رَسُولُ اللَّهِ فَدَعَا بِسِجْلٍ مِنْ مَاءِ زَمْزَمَ فَشَرِبَ مِنْهُ وَتَوَضَّأ
“Dari Ali bin Abi thalib ra bahwa Rasulullah SAW meminta seember penuh air zam-zam. Beliau meminumnya dan juga menggunakannya untuk berwudhu”. (HR. Ahmad).
Selain boleh digunakan untuk bersuci, disunnahkan buat kita untuk minum air zam-zam, lantaran air itu memiliki kemulian tersendiri di sisi Allah.
f.       Air es atau salju
Salju sebenarnya hampir sama dengan hujan, yaitu sama-sama air yang turun dari langit. Hanya saja kondisi suhu udara yang membuatnya menjadi butir-butir salju yang intinya adalah air juga namun membeku dan jatuh sebagai salju.
Hukumnya tentu saja sama dengan hukum air hujan, sebab keduanya mengalami proses yang mirip kecuali pada bentuk akhirnya saja. Seorang muslim bisa menggunakan salju yang turun dari langit atau salju yang sudah ada di tanah sebagai media untuk bersuci, baik wudhu`, mandi atau lainnya.
Tentu saja harus diperhatikan suhunya agar tidak menjadi sumber penyakit. Ada hadits Rasulullah SAW yang menjelaskan tentang kedudukan salju, kesuciannya dan juga fungsinya sebagai media mensucian. Di dalam doa iftitah setiap shalat, salah satu versinya menyebutkan bahwa kita meminta kepada Allah SWT agar disucikan dari dosa dengan air, salju dan embun.[5])
"Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda ketika ditanya bacaan apa yang diucapkannya antara takbir dan al-fatihah, beliau menjawab,"Aku membaca,"Ya Allah, Jauhkan aku dari kesalahn-kesalahanku sebagaimana Engkau menjauhkan antara Timur dan Barat. Ya Allah, sucikan aku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana pakaian dibersihkan dari kotoran. Ya Allah, cucilah aku dari kesalahan-kesalahanku dengan salju, air dan embun". (HR. Bukhari 744, Muslim 597, Abu Daud 781 dan Nasai 60)

g.      Air embun
Embun juga bagian dari air yang turun dari langit, meski bukan berbentuk air hujan yang turun deras. Embun lebih merupakan tetes-tetes air yang akan terlihat banyak di hamparan kedaunan pada pagi hari. Maka tetes embun yang ada pada dedaunan atau pada barang yang suci, bisa digunakan untuk mensucikan, baik untuk berwudhu, mandi, atau menghilangkan najis.
Dalilnya sama dengan dalil di atas yaitu hadits tentang doa iftitah riwayat Abu Hurairah ra.[6])
2.      Air Musyammas (Air yang  makruh)
Air suci yang menyucikan, tetapi makruh pemakaiannya kalau kalau digunakan untuk menyucikan badan dan tidak makruh untuk menyucikan pakaian, yaitu air panas akibat sinar matahari. Menurut syara’, ketetapan makruh itu pada dasarnya untuk memelihara kesehatan manusia semata karena air panas akibat sinar matahari yang mengenai bajana yang terbuat dari logam selain emas dan perak adalah berbahaya.
Atsar dari shahabat Nabi SAW, Umar bin Al-Khattab radhiyallahu anhu, yang memakruhkan mandi dengan air yang dipanaskan oleh sinar matahari.

أَنَّهُ كَانَ يَكْرَهُ الإِغْتِسَالَ باِلمَاءِ المُشَمَّس
Bahwa beliau memakruhkan mandi dengan menggunakan air musyammas (HR. Asy-Syafi'i)
Larangan ini disinyalir berdasarkan kenyataan bahwa air yang dipanaskan lewat sinar matahari langsung akan berdampak negatif kepada kesehatan,
لاَ تَفْعَليِ يَا حُمَيْرَاء فَإِنَّهَا يُوْرِثُ البَرَص
Janganlah kamu berbuat denikian wahai Humaira' sesungguhnya air yang dijemur itu dapat menimbulkan penyakit sopak/belang”. (Riwayat Baihaqi)
3.      Air Musta’mal
Air suci, tidak bisa dipakai untuk bersuci, dan tidak pula menyucikan disebut air musta’mal, artinya air yang telah dipakai untuk bersuci, misalnya air yang pernah digunakan untuk menghilangkan hadas atau najis. Yang termasuk kedalam bagian ini ada tiga macam. Diantaranya sebagai berikut:
a.       Air yang telah berubah sifatnya karena benrcampur dengan air yang suci, selain dari perubahan tersebut diatas, seperti air kopi, air teh dan sebagainya
b.      Air yang sedikit atau kurang dari dua kullah yang sudah terpakai untuk menghilangkan hadas atau menghilangkan hukum najis sedangkan air itu tidak berubah sifatnya dan tidak berubah pula timbangannya
c.       Air pohon-pohonan atau buah-buahan, seperti air yang keluar dari tekukan pohon kayu (nira), air kelapa dan sebagainya
4.      Air najis (mutanajis)
Air yang termasuk kedalam bagian ini ada dua macam yaitu:
a.       Air yang sudah beubah salah satu sifatnya oleh najis. Baik itu sedikit ataupun banyak jumlah airnya
b.      Air yang bernajis, tetapi tidak berubah salah satu sifatnya. Jika air itu kurang dati dua kullah atau dalam artian sedikit, maka air tersebut tidak boleh digunakan untuk bersuci bahkan hukumnya sama dengan najis. Namun, jika air itu banyak atau berarti lebih dari dua kullah, maka hukumnya tetap suci dan mensucikan. Sabda Rosululloh SAW:
Air itu tidak dinajisi sesuatu, kecuali apabila berubah rasa, warna atau baunya” (Riwayat Ibnu Majah dan Baihaqi)[7])

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Air yang dapat digunakan secara sah atau benar dalam bersuci ada 7 macam, yaitu: air hujan, air laut atau air  asin, air sungai, air sumur, air sumber, air es atau salju, dan air embun. Tetapi, air-air tersebut dibagi menjadi 4 macam:
1.      Air mutlak, yaitu air yang keberadaannya suci (eksistensinya) dan dapat dipakai untuk bersuci, serta dapat menyucikan benda-benda lainnya.
2.      Air suci yang menyucikan, tetapi makruh pemakaiannya jika digunakan untuk menyucikan badan dan tidak makruh untuk menyucikan pakaian, air itu adalah air panas akibat sinar matahari.
3.      Air suci, yang tidak menyucikan disebut air musta’mal.
4.      Air najis (mutanajis) yaitu: air yang terkena najis.

B.     Saran
Sudah seharusnya kita mempelajari dan mengetahui tatacara bersuci demi kesempurnaan ibadah kita. Karena ada beberapa ibadah yang diantara syarat-syaratnya adalah suci dari najis baik itu badan, pakaian ataupun tempat ibadah. Dengan mengetahui tatacara bersuci dan media yg digunakan untuk bersuci dengan baik dan benar, maka akan terhindar dari keragu-raguan dan menjadi yakin akan terhindarnya dari najis yang mana hal tersebut sangat penting dalam rangka mendapatkan kesempurnaan dalam beribadah

DAFTAR PUSTAKA

Mokhtar, Sofyan. 2013. Pendidikan Agama Islam Xl. Surakarta: Pustaka Firdaus Utama.
Rasjid, Sulaiman. 2001. Fiqh Islam. Bandung : Sinar Baru Algensindo.
Sabiq, Sayyid. 2001. Fikih Sunnah. Jakarta: Grafindo Persada.
Sarwat, Ahmad. 2009. Fiqh Thaharah. Bandung: DU CENTER.
Al-Qhozi, Syaikh Muhammad bin Qosim. 2006. Fathul Qorib. Surabaya: Nurul Huda.
Al Husni, Taqiyudin Abu Bakar bin Muhammad Al Husaini. 2001. Kifayatul Akhyar Fi Halli Ghoyati Ikhtishor. Damaskus: Darul Basya'ir.







[1]) Ahmad Sarwat, Lc, Fiqh Thaharah, Bandung: DU CENTER, 2009.hlm. 1
[2]) Syaikh Muhammad bin Qosim Al-Qhozi, Fathul Qorib, Surabaya: Nurul Huda, 2006. hlm.4 
[3]) Ibid., hal 6
[4]) Taqiyudin Abu Bakar bin Muhammad Al Husaini Al Husni, Kifayatul Akhyar Fi Halli Ghoyati Ikhtishor, Damaskus: Darul Basya'ir, 2001, hlm. 6 
[5]) Rasjid, Sulaiman. 2001. Fiqh Islam. Bandung : Sinar Baru Algensindo. hal 104 
[6]) Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, Jakarta: Grafindo Persada, 2001. Hal 156
[7]) Sofyan, Mokhtar, Pendidikan Agama Islam Xl, Surakarta: Pustaka Firdaus Utama, 2013. Hal 38