Senin, 16 Oktober 2017

MAKALAH TAFSIR, MACAM-MACAM TAFSIR, MANTHUQ DAN MAFHUM, 'AM DAN KHAS



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Al-Quranul karim adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, mengandung hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, ilmu pengetahuan, kisah-kisah, filsafat, peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku dan tata cara hidup manusia, baik sebagai makhluk individu ataupun sebagai makhluk sosial, sehingga berbahagia hidup di dunia dan di akhirat.
Saat dimasa Rasululloh, para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada Rasul, maka setelah wafatnya mereka harus melakukan ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan, seperti Ali bin Abi Thalib dan yang lainnya. Pada konteks seperti inilah, tafsir atas ayat-ayat Al-Quran diperlukan.
Dalam perspektif 'ulum Al-Quran, setidaknya ditemukan beberapa terminology penafsiran yang sering digunakan yaitu tafsir Bi al-Ma'tsur, tafsir Bi al-Ra'yi dan tafsir Bil Iqtirani.
Sebagai sumber hukum Islam, tidak dibenarkan jika memahami Al-Qur’an hanya dengan mengandalkan pemahaman teks belaka. Dibutuhkan juga pemahaman yang lebih dari sekedar teks. Dalam ilmu tafsir kita akan menemukan sebuah pembahasan tentang mafhum dan mantuq. Mengingat teks Al-Qur’an tidak serta merta memberi makna yang jelas tentang apa yang dikandungnya, para mufassir membuat pembahasan ini untuk mempermudah kita memahami kandungan teks.
Dari segi cakupan lafadz terhadap satuannya dibagi menjadi bentuk yang umum (‘am) dan Khusus (khash). Sedang dari segi sifat dibagi menjadi bentuk yang muthlaq dan muqayyad
Oleh karena perlu kiranya dikaji secara utuh dan mendalam tafsir tersebut sehingga pemahaman terhadap tafsir tidak dangkal.


B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Sajakah Macam-Macam Tafsir?
2.      Apa Pengertian Manthuq Dan Pembagiannya?
3.      Apa Pengertian Mafhum Dan Pembagiannya?
4.      Apa Pengertian ‘Am Dan Pembagiannya?
5.      Apa Pengertian Khas Dan Pembagiannya?

C.    Tujuan Makalah
1.      Mengetahui  Sajakah Macam-Macam Tafsir.
2.      Mengetahui Pengertian Manthuq Dan Pembagiannya.
3.      Mengetahui Pengertian Mafhum Dan Pembagiannya.
4.      Mengetahui Pengertian ‘Am Dan Pembagiannya.
5.      Mengetahui Pengertian Khas Dan Pembagiannya.

















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Macam-Macam Tafsir
1.      Tafsir Bi al-Ma’tsur
Dinamakan dengan bil ma’tsur (dari kata “atsar” yang berarti sunnah, hadits, jejak, peninggalan) karena dalam melakukan penafsiran, seorang mufasir menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya, hingga kepada Nabi SAW.
Tafsir bi al-ma’tsur adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan Sunnah Nabi dan Al-Qur’an dengan pendapat atau penafsiran para sahabat Nabi dan tabi’in. Contoh dari Tafsir Bi al-Ma’tsur adalah pada Surat Ali-Imran Ayat 133:

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa”
Adapun yang dimaksud dengan “Al-Muttaqin” (orang-orang yang bertakwa). Pada ayat tersebut, ditafsirkan sebagai berikut:


 “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”.[1])
2.      Bi al-Ra’yi
Tafsir biar ar-ra’yi adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan kemampun ijtihad atau pemikiran tanpa meninggalkan tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an atau dengan hdits dan tidak pula meninggalkan sama sekali penafsiran para sahabat dan tabi’in. Bentuk ini mengembangkan penafsiran dengan bantuan bermacam-macam ilmu pengtahuan seperti ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur’an, ilmu hadits, ushul fiqh, ilmu sejarah, dan lain sebagainya. Dinamai dengan at-tafsir bi- ar-ra’yi karena yang dominan memang penalaran atau ijtihad mufasir itu sendiri.
3.      Tafsir Bil Iqtirani
Tafsir bil iqtirani disebut juga dengan metode campuran antara tafsir bil Matsur dan Tafsir bi al-ra’yi yaitu menafsirkan Al-Quran yang didasarkan atas perpaduan antara sumber tafsir riwayat yang kuat dan shahih, dengan sumber hasil ijtihad akan pikiran yang sehat.[2])

B.     Pengertian Manthuq Dan Pembagiannya
Secara etimologi manthuq berasal bahasa Arab (نطق- ينطق) yang artinya berbicara, منطوق (isim maf’ul) berarti yang dibicarakan. Manthuq adalah arti yang diperlihatkan oleh lafaz yang diungkapkan (yakni, petunjuk arti tidak keluar dari unsur-unsur huruf yang diucapkan). Menurut Syafi’i Karim, mantuq ialah sesuatu yang ditunjuki lafal dan ucapan lafal itu sendiri. Dan menurut Mudzakir, adalah suatu (makna) yang ditunjukkan oleh lafaz menurut ucapannya, yakni penunjukkan makna berdasarkan materi huruf-huruf yang diucapkan,
Menurut Manna’ Khalil al-Qattan, mantuq adalah sesuatu (makna) yang ditunjukkan oleh lafaz menurut ucapannya, yakni menunjukkan makna berdasarkan materi huruf-huruf yang diucapkannya.
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa apabila kita memahami suatu hukum dari apa yang terucap atau tersurat secara jelas dalam lafaz tersebut, maka pemahaman tersebut dinamakan pemahaman secara “mantuq”.[3])
Manthuq dibagi menjadi dua yaitu :
1.      Manthuq Sarih
Menurut Wahbah Zuhaili, yang dimaksud dengan manthuq sharih ialah penunjukkan lafal nash yang jelas secara langsung tercakup dalam ungkapan lafal nash.
Pada dasarnya mantuq ada yang berupa nash, dan zahir:
a.         Nash
Adalah lafadz yang bentuknya telah dapat menunjukkan makna yang secara tegas dan tidak mengandung kemungkinan makna lain. Yaitu suatu perkataan yang jelas dan tidak mungkin dita’wilkan lagi. Seperti firman Allah swt. dalam Surat al-Baqarah: 196

فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ
“Maka wajib berpuasa 3 hari dalam  masa haji dan tujuh hari lagi apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna.”.
Tujuan utama dari mantuq nash ialah kemandirian dalam menunjukkan makna secara pasti dengan mematahkan segala ta’wil dan kemungkinan.[4])
b.      Zahir
Adalah suatu perkara yang menunjukkan sesuatu makna yang segera dipahami ketika ia diucapkan, tetapi disertai kemungkinan makna lain yang lemah. Seperti firman Allah swt dalam Q.S. al-Baqarah: 173
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah[108]. tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.[5])

2.      Manthuq Ghairu Sarih
Ialah penunjukkan lafal nash yang tidak jelas. Manthuq ghairu sharih terbagi menjadi 3 macam:
a.       Dalalat al-Ima’
yaitu suatu pengertian yang bukan ditunjukkan langsung oleh suatu lafal, tetapi melalui pengertian logisnya karena memyebutkan suatu hukum langsung setelah menyebut suatu sifat atau peristiwa.
Misalnya, hadits yang riwayat Ahmad dan Tirmidzi dari Sa’id bin Zaid bahwa Rasulullah saw. bersabda:

عَنْ جَابِرِبْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مِنْ أَحْيَ أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ {رواه الترمذى
“Dari Jabir bin Abdillah, dari Nabi Muhammad saw. bersabda: Barangsiapa yangmenghidupkan (mulai mengelolah) tanah yang sudah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. At-Tirmidzi)
Hadits tersebut di amping menunjukkan hukum melalui mantuqnya seperti yang jelas tertulis, juga melalui dalalat al-ima’nya, yaitu bahawa aktivitas menghidupkan tanah mati itulah yang menjadi illatnya bagi pemilikan tanah untuknya.
b.      Dalalat al-Isyarah
Adalah suatu pengertian yang ditunjukkan oleh suatu redaksi, namun bukan pengertian aslinya, tetapi merupakan suatu kemestian atau konsekuensi dari hukum yang ditunjukkan oleh redaksi itu. Contohnya dalam surat Al-Luqman ayat 14:

وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ
“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun”
c.       Dalalat al-Iqtida’
Adalah pengertian kata yang disisipkan secara tersirat (dalam pemahaman) pada redaksi tertentu yang tidak bisa dipaami secara lurus kecuali dengan adanya penyisipan itu. Contohnya sebuah hadits Rasulullah menjelaskan:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ الْغِفَارِ يٍّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتَكْرِهُوَا عَلَيْهِ {رواه ابن ماجه}
“Dari Abu Dzar al-Ghiffari berkata, Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah mengangkat dari umatku tersalah, lupa dan keterpaksaan.” (HR. Ibnu Majah)
Hadits tersebut secara jelas menunjukkan bahwa tersalah, lupa dan keterpaksaan diangkatkan dari umat Muhammad saw. pengertian tersebut sudah jelas ridak lurus, karena bertentangan dengan kenyataan. Untuk meluruskan maknanya perlu disisipkan secara tersirat kata al-ism (dosa) atau al-hukm (hukum), sehingga demikian arti hadits menjadi diangkatkan dari umatku (dosa atau hukum) perbuatan tersalah, karena lupa atau karena keterpaksaan.[6])

C.    Pengertian Mafhum dan Pembagiannya
Mafhum artinya adalah yang difaham dan yang tersirat. Menurut istilah ushul fiqh mafhum adalah sesuatu yang ditunjuk oleh lafaz di luar teks ucapan itu. Atau dalam definisi lain, mafhum merupakan pengertian yang ditujukan oleh lafal tidak ditempat pembicaraan, tetapi dari pemahaman terhadap ucapan tersebut.
Menurut pandangan ulama Syafi’iyah, mafhum merupakan penunjukan lafal yang tidak dibicarakan atas berlakunya hukum yang disebutkan atau tidak berlakuknya hukum yang disebutkan.
Jadi, secara sederhana mafhum adalah apa yang dapat kita pahami dari suatu lafaz bukan berdasarkan apa yang terucap dari lafaz tersebut melainkan apa yang tersirat di dalamnya, yakni dari pemahaman ucapan tersebut.
Mafhum dapat dibagi kepada dua macam, yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
1.    Mafhum Muwafaqah
Adalah suatu petunjuk kalimat yang menunjukkan bahwa hukum yang tertulis pada kalimat itu berlaku pada masalah yang tidak tertulis, dan hukum yang tertulis ini sesuai dengan masalah yang tidak tertulis karena ada persamaan dalam maknanya. Disebut mafhum muwafaqah karena hukum yang tidak tertulis sesuai dengan hukum yang tertulis.[7])
Mafhum muwafaah dibagi menjadi dua bagian:
a.       Fahwal Khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan. Contohnya firman Allah SWT dalam QS. Al-Isra’ ayat 23:
فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ
“Janganlah kamu mengatakan kata-kata keji kepada dua orang ibu bapakmu.”
Sedangkan kata-kata keji saja tidak boleh (dilarang) apalagi memukulnya.
b.      Lahnal Khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang diucapkan. Seperti firman Allah SWT:
إِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَ اٌلْيَتَمَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِى بُطُوْنِهِمْ نَارًاصلى وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيْرًا
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta benda anak yatim secara aniaya sebenarnya memakan api kedalam perut mereka”. (an Nisa : 10)
Memakan atau setiap cara yang menghabiskan harta anak yatim sama hukumnya dengan memakan harta anak yatim, yang berartti dilarang (haram).[8])

2.    Mafhum Mukhalafah
Adalah pengertian yang dipahami berbeda dengan ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun nafi (meniadakan). Oleh karena itu, hal yang dipahami selalu kebalikannya daripada bunyi lafal yang diucapkan.
Mafhum mukhalafah sendiri terbagi menjadi :
a.       Mafhum al-Washfi (pemahaman dengan sifat) adalah petunjuk yang dibatasi oleh sifat, menghubungkan hukum sesuatu kepada syah satu sifatnya. Dalam mafhum sifat terdapat tiga bagian, yaitu mushtaq, hal (keterangan keadaan) dan ‘adad (bilangan). Misalnya pada sabda Rosulullah SAW
فِي السَّائِمَةِ زَكاَةِ
“para binatang yang digembalakan itu ada kewajiban zakat”
Mafhum mukhalafahnya adalah binatang yang diberi makan, bukan yang digembalakan.
Mafhum sifat ada tiga macam, yaitu :
                                      I.          Mustaq dalam ayat.
Contohnya dalam surat Al-Hujarat ayat 6:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang-orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Dapat dipahami dari ungkapan kata ‘fasiq’ ialah orang yang tidak wajib ditelliti beritanya. Ini berarti bahwa berita yang disampaikan oleh seseorang yang adil wajib diterima.[9])
                                   II.          Hal (keterangan keadaan)
Seperti fiman Allah, dalam surat Al-Maidah ayat 95:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَلِكَ صِيَامًا لِيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ وَمَنْ عَادَ فَيَنْتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil diantara kamu sebagai had-yad yang dibawa sampai ke Ka’bah atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makanan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya, Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.”
Ayat ini menunjukkan tiadanya hukum bagi orang yang membunuhnya karena tak sengaja. Sebab penentuan “sengaja” dengan kewajiban membayar denda dalam pembunuhan binatang buruan tidak sengaja.
                                III.          ‘Adad (bilangan)
Seperti firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 197:
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلا رَفَثَ وَلا فُسُوقَ وَلا جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الألْبَابِ
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasikh dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal.”
Mafhumnya ialah melakukan ihram diluar bulan-bulan itu tidak syah.[10])
b.      Mafhum illat adalah menghubungkan hukum sesuatu karena illatnya. Mengharamkan minuman keras karena memabukkan.
c.       Mafhum ghayah (pemahaman dengan batas akhir) adalah lafal yang menunjukkan hukum sampai pada ghayah (batasan, hinggaan), hingga lafal ghayah ini ada kalanya dengan “illa” dan dengan “hatta’. Seperti dalam firman Allah SWT dalam surat al-Maidah ayat 6:
اِذَا قُنْتُمْ اِلىَ الصَّلَوةِ فاَغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ واَيْدِيَكُمْ أِلىَ الْمَرَافِقِ....
“bila kamu hendak nmengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai kepada siku”.
Mafhum mukhalafahnya adalah membasuh tangan sampai kepada siku.
d.      Mahfum laqaab adalah menggantungkan hukum kepada isim alam atau isim fiil. Seperti firman Allah SWT:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu.” Mafhum mukhalafahnya adalah selain para ibu.
e.       Mafhum hasr adalah pembatasan. Seperti dalam firman Allah SWT
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.”
Mafhum mukhalafahnya adalah bahwa selain Allah tidak disembah dan tidak dimintai pertolongan. Oleh karrena itu, ayat tersebut menunjukkan bahwa hanya Dia-lah yang berhak disembah dan dimintai pertolongan.
f.       Mafhum syarat , adalah petunjuk lafadz yang memberi fadah adanya hukum yang dihubungkan dengan syarat supaya dapat berlaku hukum yang sebaliknya. Seperti dalam surat al-Thalaq ayat 6:
...وَإِنْ كُنَّ أُولاَتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ...
“...Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya.”
Mafhum mukhalafahnya adalah istri-istri tertalak yang tidak sedang hamil, tidak wajib diberi nafkah.[11])

D.    Pengertian ‘Am Dan Pembagiannya
Seperti disimpulkan Muhammad Adib Saleh, lafadz ‘am (umum) ialah lafadz yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian lafadz itu sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu
Pembahasan Lafazh ‘am dalam ilmu Ushul fiqh mempunyai kedudukan tersendiri, karena Lafazh ‘am mempunyai tingkat yang luas serta menjadi ajang perdebatan pendapat ulama dalam menetapkan hukum. Dipihak lain, sumber hukum Islam pun, Al-Qur’an dan sunnah, dalam banyak hal memakai lafazh umum yang bersifat universal. Lafaz ‘am ialah suatu lafaz yang menunjukkan satu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu
Maka yang dimaksud dengan ‘am yaitu suatu lafadz yang dipergunakan untuk menunjukkan suatu makna yang pantas (boleh) dimasukkan pada makna itu dengan mengucapkan sekali ucapan saja. Seperti kita katakan “ar-rijal”, maka lafadz ini meliputi semua laki-laki.[12])
Lafazh-Lafazh ‘am meliputi
1.      Lafal-lafal yang makna lafal itu sendiri berarti umum, seperti lafal :kullun, jami’un, kaaffah, ma’asyar(artinya seluruhnya).
a.       Kullun
الْمَوْتِ ذَائِقَةُ نَفْسٍ كُلُّ
“Tiap-tiap (seluruh) yang berjiwa akan merasakan mati.”(QS. Ali Imran: 185)
b.      Jami’un
جَمِيعًا الأرْضِ فِي مَا لَكُمْ خَلَقَ الَّذِي هُوَ
“Dialah Allah yang menjadikan bagimu apa-apa yang ada dibumisemuanya.”(QS.Al Baqarah : 29)
c.       Kaaffah
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا كَافَّةً لِلنَّاسِ
“Dan kami tidak mengutusmu melainkan kepada seluruh manusia.” (QS. Saba’ : 28)
d.      Ma’syar
آيَاتِي عَلَيْكُمْ يَقُصُّونَ مِنْكُمْ رُسُلٌ يَأْتِكُمْ أَلَمْ وَالإنْسِ الْجِنِّ مَعْشَرَ يَا يَوْمِكُمْ لِقَاءَ وَيُنْذِرُونَكُمْ
“Hai sekalian jin dan manusia! Apakah tidak pernah datang kepadamu rasul-rasul dari golongan-mu sendiri yang menyampaikan kepadamu ayat-ayat-Ku dan memberi peringatan kepadamu bahwa akan ada pertemuan hari (kiamat) ini?”(QS. Al-An’am : 130)
2.      Isim syarat, seperti man (barang siapa), ma (apa saja), aina (dimana saja), dan Ayyun (mana saja)
a.       Man (barang siapa)
بِهِ يُجْزَ سُوءًا يَعْمَلْ مَنْ
Barang siapa mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan karena kejahatan itu.” (QS. An-Nisa’ : 123)
b.      Ma (apa saja)
وَأَنْتُمْ إِلَيْكُمْ يُوَفَّ خَيْرٍ مِنْ تُنْفِقُوا وَمَا اللَّهِ وَجْهِ ابْتِغَاءَ إِلا تُنْفِقُونَ وَمَا تُظْلَمُونَ لا
 “Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan di jalan Allah, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup dan sedikitpun kamu tidak akan dianiya.” (QS. Al-Baqarah : 272)
c.       Aina (dimana)
أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكُكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ
Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh” (QS An-Nisaa : 78)
d.      Ayyun (mana saja),ayyuma (siapa saja)
Siapa saja perempuan yang meminta ditalak oleh suaminya tanpa alasan maka haram baginya harum-haruman surga.” (HR. Ahmad)[13])
3.      Isim Istifham, yaitu lafal nama yang berarti bertanaya. Seperti lafal man (siapa), ma (apa), aina (dimana), ayyun (siapakah), dan mata (kapan).
a.       Man (siapa)
كَثِيرَةً أَضْعَافًا لَهُ فَيُضَاعِفَهُ حَسَنًا قَرْضًا اللَّهَ يُقْرِضُ الَّذِي ذَا مَنْ
“Siapakah yang mau berpiutang kepada Allah dengan piutang yang baik?” (QS. Al-Baqarah : 245)


b.      Ma (apa)
مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ
“Apa sebab kamu masuk neraka?” (QS. Al-Mudatsir: 42)
c.       Ayyun (siapakah)
مُسْلِمِينَ يَأْتُونِي أَنْ قَبْلَ بِعَرْشِهَا يَأْتِينِي أَيُّكُمْ الْمَلأ أَيُّهَا يَا قَالَ
 “Siapakah diantara kamu yang bisa membawa singgasana kerajaannya (Bilqis) ke hadapanku sebelum mereka datang berserah diri.” (QS. An-Naml : 38)
d.      Mata (kapan)
قَرِيبٌ اللَّهِ نَصْرَ إِنَّ أَلا اللَّهِ نَصْرُ مَتَى
 “Kapan datangnya pertongan Allah? Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu sangat dekat.” (QS. Al-Baqarah : 214)
4.      Isim Nakirah  yang terletak sesudah Nafi :
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
“….Dan tidak ada dosa atas kamu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya …..” (QS. Al-Mumtahanah : 10)
5.      Isim Mausul (kata penghubung), seperti kata Alladzi, Alladzina, Allati, Allaati:
نَارًا بُطُونِهِمْ فِي يَأْكُلُونَ إِنَّمَا ظُلْمًا الْيَتَامَى أَمْوَالَ يَأْكُلُونَ الَّذِينَ إِنَّ
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dzalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perut mereka..“ (QS. Annisa : 10)
6.      Kata jama’ yang disertai alif-lam diawalnya, seperti kata al-walidat (para ibu) :
الرَّضَاعَةَ يُتِمَّ أَنْ أَرَادَ لِمَنْ كَامِلَيْنِ حَوْلَيْنِ أَوْلادَهُنَّ يُرْضِعْنَ وَالْوَالِدَاتُ
Para ibu (hendaklah) menyusukan anknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuan” (QS. Al-Baqarah : 233)
7.      Kata benda tunggal yang di-ma’rifat-kan dengan alif-lam, seperti kata al-insan (manusia) :
آمَنُوا الَّذِينَ إِلا (٢) خُسْرٍ لَفِي الإنْسَانَ إِنَّ
Sesungguhnya manusia dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman” (QS Al-Ashr : 2)[14])

Lafaz ‘Am, dibagi kepada tiga macam, yaitu:
1.       Lafal umum yang dikehendaki keumumannya karena ada dalil yang menunjukkan tertutupnya kemungkinan ada takhsis (pengkhususan). Misalnya, ayat 6 surat Hud:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأرْضِ إِلا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
 “Dan tidak ada suatu binatang melata pun dibumi melainkan Allah- lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS.Hud/11:6)
Yang dimaksud dengan binatang malata dalam ayat tersebut adalah umum,mencakup seluruh jenis binatang tanpa kecuali, karena diyakini bahwa setiap yang melata dipermukaan bumi adalah Allah yang member rezekinya.
2.       Lafal umum pada hal yang dimaksud adalah makna khusus karena ada indikasi yang menunjukkan makna seperti itu. Contohnnya :
“Tidaklah sepatutnya bagi penduduk madinah dan orang-orang Arab   Baduwi yang berdiam disekitar mereka tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dantidak patut (pula) bagi mereka lebih  mencintai diri mereka dari pada mencintai diri Rasul (at-Taubah/9:120)
Ayat tersebut menunjukan makna umum, yaitu setiap penduduk Madinah dan orang-orang Arab sekitarnya termasuk orang-orang sakit dan orang-orang lemah harus turut menyertai Rasulullah  pergi berperang. Namun yang dimaksud oleh ayat tersebut bukanlah makna umum itu, tetapi hanyalah orang-orang yang mampu.
3.       Lafal umum yang terbebas dari indikasi baik menunjukkan bahwa yang di maksud adalah makna umumnya atau adalah sebagian cakupannya. Contohnya, ayat 228 surat al-Baqarah.
قُرُوءٍ ثَلاثَةَ بِأَنْفُسِهِنَّ يَتَرَبَّصْنَ وَالْمُطَلَّقَاتُ
“Dan wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. (QS. Al-Baqarah/2:228)
Lafal umum dalam ayat tersebut yaitu al-muthalaqat (wanita-wanita yang ditalak), terbebas dari indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna umumnya itu atau sebagian cakupannya.
Berkaitan dengan lafal umum, perlu dibahas tentang takhsis. Takhsis adalah penjelasan bahwa yang dimaksud dengan satu lafal umum adalah sebagian dari cakupannya, bukan seluruhnya. Atau dengan kata lain, mengeluarkan sebagian dari satuan – satuan yang dicakup oleh lafal umum dengan dalil.
Diantara dalil-dalil pentakhsis, adalah takhsis dengan ayat Al-quran, takhsis dengan sunnah, dan takhsis dengan Qiyas. Lafal umum setelah ditakhsis, keumumannya menjadi khusus (makna sebagian). Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ayat-ayat Al-Quran, dan hadist mutawatir (hadist yang di riwayatkan sekelompok orang banyak yang tidak mungkin berbohong), dapat mentakhsis ayat-ayat umum dalam Al-Quran.[15])


E.     Pengertian Khas Dan Pembagiannya
Setiap lafaz yang menunjukkan arti tunggal itulah lafaz khas. Dapat juga diartikan sebagai lafaz yang dari segi kebahasaan, ditentukan untuk satu arti secara mandiri
Dan menurut kesepakatan para ulama, bahwa setiap lafaz yang khas menunjukkan pengertian yang qath’i (pasti), yakni tidak mengandung kemungkinan-kemungkinan lain dalam pengertiannya.
Lafaz khas adalah lafaz yang dibuat untuk menunjukan satu satuan tertentu berupa orang. Seperti Muhammad atau satu jenis, seperti laki-laki atau beberapa satuan yang bermacam-macam dan terbatas, seperti tiga belas, seratus, kaum, golongan, jama’ah, kelompok dan lafal lain yang menunjukan jumlah satuan dan tidak menunjukan cakupan kepada seluruh satuannya.[16])
Macam-macam Lafadz Khas antaralain :
1.      Lafadz khas berbentuk mutlak tanpa dibatasi qayyid atau syarat. Contoh:    
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Atinya : orang –orang yang mendzihar istri mereka. kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka wajib atasnya memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur.demikianlah yang diajarkan kepadamu, dan Alloh maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S Al-Mujadilah : 3)
2.      Lafadz khas berbentuk muqqoyyad (dibatasi qayyid). Contohnya surat An-nisa’ 42
مُؤْمِنَةٍ رَقَبَةٍ فَتَحْرِيرُ خَطَأً مُؤْمِنًا قَتَلَ وَمَنْ مُؤْمِنَةٍ
Artinya: barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah hendaknya ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.

3.      Lafadz khas berbentuk amr. Contohnya dalam syurat annisa’ 58
أَهْلِهَا إِلَى الأمَانَاتِ تُؤَدُّوا أَنْ يَأْمُرُكُمْ اللَّهَ إِنَّ
Artinya : sesungguhnya Alloh menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya

4.      Lafadz khas yang berbentuk larangan. Contoh surat an-nahl 90 ;
الْقُرْبَى ذِي وَإِيتَاءِ وَالإحْسَانِ بِالْعَدْلِ يَأْمُرُ اللَّهَ إِنَّ
Artinya: sesungguhnya Alloh menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan memberi kepada kaum kerabat dan Alloh melarang dari perbuatan keji kemungkaran dan permusuhan dia member pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.[17])






















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Tafsir dibagi menjadi beberapa macam. Diantaranya adalah Tafsir Bi al-Ma’tsur, Bi al-Ra’y ,Tafsir Bil Iqtirani.
Manthuq adalah arti yang diperlihatkan oleh lafaz yang diungkapkan  Manthuq dibagi menjadi dua yaitu Manthuq Sarih  dan Manthuq Ghairu Sarih.
Mafhum artinya adalah yang difaham dan yang tersirat. Secara sederhana,  mafhum adalah apa yang dapat kita pahami dari suatu lafaz bukan berdasarkan apa yang terucap dari lafaz tersebut melainkan apa yang tersirat didalamnya, yakni dari pemahaman ucapan tersebut. Mafhum dibagi menjadi dua yaitu Mafhum Muwafaqah dan Mafhum Mukhalafah
lafadz ‘Am ialah lafadz yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian lafadz itu sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu.
Lafadz Khas ialah Setiap lafaz yang menunjukkan arti tunggal itulah lafaz khas.

B.     Saran
Seharusnya kita sebagai manusia hendaknya mempelajari ilmu tafsir agar kedepannya dapat meminimalisir penyimpangan dalam mentafsirkan ayat-ayat al-qur’an.




DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahhab, Khallaf. Kaidah Hukum Islam. 2003. Jakarta : Pustaka Aman.
 Al-Qaththan, Manna. 2012. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta :Pustaka Al Kautsar.
Anwar, Rosihon. Mutiara Ilmu-ilmu Al-Qur’an. 1999. Bandung: Pustaka Setia.
Bakry, Nazar. Fiqh & Ushul Fiqh. 2003. Jakarta:  RajaGrafindo Persada.
Effendi, Satria. Ushul Fiqh. 2008. Jakarta: Penerbit Kencana.
Karim, Syafi’i. Fiqih – Ushul Fiqih, 1997. Bandung: Pustaka Setia.
Praja, Juhaya. Ilmu Ushul Fiqh. 2010. Bandung: Pustaka Setia.
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir. Tangerang: Lentera Hati, 2013.
Syafe’i, Rahmat. Ilmu Ushul Fiqih. 2010. Bandung: Pustaka Setia.
Syarifudin, Amir. Ushul Fiqh. 2002. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Zahrah, Abu. Ushul Fiqh. 2010. Jakarta: Pustaka firdaus.




[1]) Nazar Bakry, Fiqh & Ushul Fiqh, Jakarta:  RajaGrafindo Persada, 2003.Hlm 198
[2]) H. Amir Starifudin. Ushul Fiqh. Jakarta: LOGOS Wacana Ilmu, 2002. Hlm 48
[3] ) Ibid., hlm. 52
[4] ) Juhaya S. Praja, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 2010, hlm.193
[5] ) Ibid.hlm.198
[6] )Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka firdaus, 2010, Hlm.250
[7] ) Ibid., hlm 252
[8]) Syaikh Manna’ Al-Qaththan , Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an , Jakarta :Pustaka Al – Kautsar , 2012. hlm.312
[9])  Rahmat syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2010, hlm.220
[10]) Ibid., hlm 223
[11]) Anwar Rosihon, Mutiara Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 1999. hlm. 233
[12]) Ibid., hlm 235
[13] ) Syafi’i Karim, Fiqih – Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 1997, hlm. 177
[14]) Ibid., hlm 179
[15]) Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, Tangerang: Lentera Hati, 2013. hlm. 168
[16]) Khallaf Abdul Wahhab, Kaidah Hukum Islam, Jakarta : Pustaka Aman, 2003. Hlm. 221
[17]) Ibid., hlm. 223

Tidak ada komentar:

Posting Komentar