BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Quranul
karim adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, mengandung
hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, ilmu pengetahuan, kisah-kisah,
filsafat, peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku dan tata cara hidup
manusia, baik sebagai makhluk individu ataupun sebagai makhluk sosial, sehingga
berbahagia hidup di dunia dan di akhirat.
Saat dimasa
Rasululloh, para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada
Rasul, maka setelah wafatnya mereka harus melakukan ijtihad, khususnya mereka
yang mempunyai kemampuan, seperti Ali bin Abi Thalib dan yang lainnya. Pada konteks seperti inilah, tafsir atas ayat-ayat Al-Quran diperlukan.
Dalam perspektif 'ulum Al-Quran, setidaknya ditemukan beberapa terminology penafsiran yang sering digunakan yaitu tafsir Bi al-Ma'tsur, tafsir Bi al-Ra'yi dan tafsir
Bil Iqtirani.
Sebagai sumber hukum Islam, tidak dibenarkan jika memahami Al-Qur’an hanya
dengan mengandalkan pemahaman teks belaka. Dibutuhkan juga pemahaman yang lebih
dari sekedar teks. Dalam ilmu tafsir kita akan menemukan sebuah pembahasan
tentang mafhum dan mantuq. Mengingat teks Al-Qur’an tidak serta merta memberi
makna yang jelas tentang apa yang dikandungnya, para mufassir membuat pembahasan
ini untuk mempermudah kita memahami kandungan teks.
Dari segi
cakupan lafadz terhadap satuannya dibagi menjadi bentuk yang umum (‘am) dan
Khusus (khash). Sedang dari segi sifat dibagi menjadi bentuk yang muthlaq dan
muqayyad
Oleh karena
perlu kiranya dikaji secara utuh dan mendalam tafsir tersebut sehingga
pemahaman terhadap tafsir tidak dangkal.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa Sajakah
Macam-Macam Tafsir?
2. Apa
Pengertian Manthuq Dan Pembagiannya?
3. Apa
Pengertian Mafhum Dan Pembagiannya?
4. Apa
Pengertian ‘Am Dan Pembagiannya?
5. Apa
Pengertian Khas Dan Pembagiannya?
C.
Tujuan
Makalah
1. Mengetahui Sajakah Macam-Macam Tafsir.
2. Mengetahui
Pengertian Manthuq Dan Pembagiannya.
3. Mengetahui
Pengertian Mafhum Dan Pembagiannya.
4. Mengetahui
Pengertian ‘Am Dan Pembagiannya.
5. Mengetahui
Pengertian Khas Dan Pembagiannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Macam-Macam Tafsir
1. Tafsir Bi
al-Ma’tsur
Dinamakan
dengan bil ma’tsur (dari kata “atsar” yang berarti sunnah, hadits, jejak,
peninggalan) karena dalam melakukan penafsiran, seorang mufasir menelusuri
jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya, hingga kepada Nabi
SAW.
Tafsir bi al-ma’tsur adalah menafsirkan
Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan Sunnah Nabi dan Al-Qur’an dengan
pendapat atau penafsiran para sahabat Nabi dan tabi’in. Contoh dari
Tafsir Bi al-Ma’tsur adalah pada Surat Ali-Imran Ayat 133:
“Dan
bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya
seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa”
Adapun yang
dimaksud dengan “Al-Muttaqin” (orang-orang yang bertakwa). Pada ayat tersebut,
ditafsirkan sebagai berikut:
“(yaitu) orang-orang yang
menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang
yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebajikan”.[1])
2.
Bi al-Ra’yi
Tafsir biar ar-ra’yi adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan
kemampun ijtihad atau pemikiran tanpa meninggalkan tafsir Al-Qur’an dengan
Al-Qur’an atau dengan hdits dan tidak pula meninggalkan sama sekali penafsiran
para sahabat dan tabi’in. Bentuk ini mengembangkan penafsiran dengan bantuan
bermacam-macam ilmu pengtahuan seperti ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah,
ilmu-ilmu Al-Qur’an, ilmu hadits, ushul fiqh, ilmu sejarah, dan lain
sebagainya. Dinamai dengan at-tafsir bi- ar-ra’yi karena yang dominan
memang penalaran atau ijtihad mufasir itu sendiri.
3. Tafsir Bil
Iqtirani
Tafsir bil
iqtirani disebut juga dengan metode campuran antara tafsir bil Matsur dan
Tafsir bi al-ra’yi yaitu menafsirkan Al-Quran yang didasarkan atas perpaduan
antara sumber tafsir riwayat yang kuat dan shahih, dengan sumber hasil ijtihad
akan pikiran yang sehat.[2])
B. Pengertian Manthuq Dan Pembagiannya
Secara
etimologi manthuq berasal bahasa Arab (نطق-
ينطق) yang artinya
berbicara, منطوق (isim maf’ul)
berarti yang dibicarakan. Manthuq
adalah arti yang diperlihatkan oleh lafaz yang diungkapkan (yakni, petunjuk
arti tidak keluar dari unsur-unsur huruf yang diucapkan). Menurut Syafi’i
Karim, mantuq ialah sesuatu yang ditunjuki lafal dan ucapan lafal itu sendiri.
Dan menurut Mudzakir, adalah suatu (makna) yang ditunjukkan oleh lafaz menurut
ucapannya, yakni penunjukkan makna berdasarkan materi huruf-huruf yang
diucapkan,
Menurut
Manna’ Khalil al-Qattan, mantuq adalah sesuatu (makna) yang ditunjukkan oleh
lafaz menurut ucapannya, yakni menunjukkan makna berdasarkan materi huruf-huruf
yang diucapkannya.
Dari
pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa apabila kita memahami
suatu hukum dari apa yang terucap atau tersurat secara jelas dalam lafaz
tersebut, maka pemahaman tersebut dinamakan pemahaman secara “mantuq”.[3])
Manthuq dibagi
menjadi dua yaitu :
1.
Manthuq
Sarih
Menurut
Wahbah Zuhaili, yang
dimaksud dengan manthuq sharih ialah penunjukkan lafal nash yang jelas secara
langsung tercakup dalam ungkapan lafal nash.
Pada dasarnya mantuq ada yang berupa nash, dan zahir:
a.
Nash
Adalah
lafadz yang bentuknya telah dapat menunjukkan makna yang secara tegas dan tidak
mengandung kemungkinan makna lain. Yaitu suatu perkataan yang jelas dan tidak
mungkin dita’wilkan lagi. Seperti firman Allah swt. dalam Surat al-Baqarah: 196
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ
إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ
“Maka wajib berpuasa 3 hari
dalam masa haji dan tujuh hari lagi
apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna.”.
Tujuan utama
dari mantuq nash ialah kemandirian dalam menunjukkan makna secara pasti dengan
mematahkan segala ta’wil dan kemungkinan.[4])
b.
Zahir
Adalah suatu
perkara yang menunjukkan sesuatu makna yang segera dipahami ketika ia
diucapkan, tetapi disertai kemungkinan makna lain yang lemah. Seperti firman
Allah swt dalam Q.S. al-Baqarah: 173
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ
وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ
فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah hanya
mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika
disembelih) disebut (nama) selain Allah[108]. tetapi Barangsiapa dalam Keadaan
terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang”.[5])
2.
Manthuq
Ghairu Sarih
Ialah penunjukkan
lafal nash yang tidak jelas. Manthuq ghairu sharih terbagi menjadi 3 macam:
a. Dalalat
al-Ima’
yaitu suatu
pengertian yang bukan ditunjukkan langsung oleh suatu lafal, tetapi melalui
pengertian logisnya karena memyebutkan suatu hukum langsung setelah menyebut
suatu sifat atau peristiwa.
Misalnya,
hadits yang riwayat Ahmad dan Tirmidzi dari Sa’id bin Zaid bahwa Rasulullah
saw. bersabda:
عَنْ جَابِرِبْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ مِنْ أَحْيَ أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ {رواه الترمذى
“Dari Jabir bin Abdillah, dari Nabi
Muhammad saw. bersabda: Barangsiapa yangmenghidupkan (mulai mengelolah) tanah
yang sudah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR.
At-Tirmidzi)
Hadits
tersebut di amping menunjukkan hukum melalui mantuqnya seperti yang jelas
tertulis, juga melalui dalalat al-ima’nya, yaitu bahawa aktivitas menghidupkan
tanah mati itulah yang menjadi illatnya bagi pemilikan tanah untuknya.
b. Dalalat
al-Isyarah
Adalah suatu
pengertian yang ditunjukkan oleh suatu redaksi, namun bukan pengertian aslinya,
tetapi merupakan suatu kemestian atau konsekuensi dari hukum yang ditunjukkan
oleh redaksi itu. Contohnya dalam surat Al-Luqman ayat 14:
وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى
وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ
“Dan kami perintahkan kepada manusia
(berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam
keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun”
c. Dalalat
al-Iqtida’
Adalah
pengertian kata yang disisipkan secara tersirat (dalam pemahaman) pada redaksi
tertentu yang tidak bisa dipaami secara lurus kecuali dengan adanya penyisipan
itu. Contohnya sebuah hadits Rasulullah menjelaskan:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ الْغِفَارِ يٍّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ
وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتَكْرِهُوَا عَلَيْهِ {رواه ابن ماجه}
“Dari Abu Dzar al-Ghiffari berkata,
Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah mengangkat dari umatku tersalah,
lupa dan keterpaksaan.” (HR. Ibnu Majah)
Hadits
tersebut secara jelas menunjukkan bahwa tersalah, lupa dan keterpaksaan
diangkatkan dari umat Muhammad saw. pengertian tersebut sudah jelas ridak
lurus, karena bertentangan dengan kenyataan. Untuk meluruskan maknanya perlu
disisipkan secara tersirat kata al-ism (dosa) atau al-hukm (hukum), sehingga
demikian arti hadits menjadi diangkatkan dari umatku (dosa atau hukum)
perbuatan tersalah, karena lupa atau karena keterpaksaan.[6])
C.
Pengertian
Mafhum dan Pembagiannya
Mafhum
artinya adalah yang difaham dan yang tersirat. Menurut istilah ushul fiqh
mafhum adalah sesuatu yang ditunjuk oleh lafaz di luar teks ucapan itu. Atau
dalam definisi lain, mafhum merupakan pengertian yang ditujukan oleh lafal
tidak ditempat pembicaraan, tetapi dari pemahaman terhadap ucapan tersebut.
Menurut
pandangan ulama Syafi’iyah, mafhum merupakan penunjukan lafal yang tidak
dibicarakan atas berlakunya hukum yang disebutkan atau tidak berlakuknya hukum
yang disebutkan.
Jadi, secara
sederhana mafhum adalah apa yang dapat kita pahami dari suatu lafaz bukan
berdasarkan apa yang terucap dari lafaz tersebut melainkan apa yang tersirat di
dalamnya, yakni dari pemahaman ucapan tersebut.
Mafhum dapat
dibagi kepada dua macam, yaitu mafhum
muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
1.
Mafhum Muwafaqah
Adalah suatu petunjuk kalimat yang menunjukkan bahwa
hukum yang tertulis pada kalimat itu berlaku pada masalah yang tidak tertulis,
dan hukum yang tertulis ini sesuai dengan masalah yang tidak tertulis karena
ada persamaan dalam maknanya. Disebut mafhum muwafaqah karena hukum yang tidak
tertulis sesuai dengan hukum yang tertulis.[7])
Mafhum muwafaah dibagi menjadi dua bagian:
a. Fahwal Khitab, yaitu
apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan. Contohnya
firman Allah SWT dalam QS. Al-Isra’ ayat 23:
فَلا تَقُلْ
لَهُمَا أُفٍّ
“Janganlah kamu mengatakan kata-kata keji kepada dua orang ibu bapakmu.”
Sedangkan
kata-kata keji saja tidak boleh (dilarang) apalagi memukulnya.
b.
Lahnal
Khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang diucapkan.
Seperti firman Allah SWT:
إِنَّ
الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَ اٌلْيَتَمَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِى
بُطُوْنِهِمْ نَارًاصلى وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيْرًا
“Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta benda anak yatim secara aniaya sebenarnya
memakan api kedalam perut mereka”. (an Nisa
: 10)
Memakan atau setiap cara yang menghabiskan harta anak
yatim sama hukumnya dengan memakan harta anak yatim, yang berartti dilarang
(haram).[8])
2. Mafhum Mukhalafah
Adalah
pengertian yang dipahami berbeda dengan ucapan, baik dalam istinbat
(menetapkan) maupun nafi (meniadakan). Oleh karena itu, hal yang dipahami
selalu kebalikannya daripada bunyi lafal yang diucapkan.
Mafhum
mukhalafah sendiri terbagi menjadi :
a.
Mafhum al-Washfi
(pemahaman dengan sifat) adalah petunjuk yang dibatasi oleh sifat,
menghubungkan hukum sesuatu kepada syah satu sifatnya. Dalam mafhum sifat
terdapat tiga bagian, yaitu mushtaq, hal
(keterangan keadaan) dan ‘adad
(bilangan). Misalnya pada sabda Rosulullah SAW
فِي
السَّائِمَةِ زَكاَةِ
“para binatang yang digembalakan itu ada kewajiban zakat”
Mafhum
mukhalafahnya adalah binatang yang diberi makan, bukan yang digembalakan.
Mafhum sifat ada tiga macam, yaitu :
I.
Mustaq dalam ayat.
Contohnya
dalam surat Al-Hujarat ayat 6:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا
قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang-orang fasiq
membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan
suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan
kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Dapat dipahami dari ungkapan kata ‘fasiq’
ialah orang yang tidak wajib ditelliti beritanya. Ini berarti bahwa berita yang
disampaikan oleh seseorang yang adil wajib diterima.[9])
II.
Hal (keterangan keadaan)
Seperti
fiman Allah, dalam surat Al-Maidah ayat 95:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ
مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ
ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ
مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَلِكَ صِيَامًا لِيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ عَفَا اللَّهُ
عَمَّا سَلَفَ وَمَنْ عَادَ فَيَنْتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو
انْتِقَامٍ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu
sedang ihram. Barangsiapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka
dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang
dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil diantara kamu sebagai had-yad
yang dibawa sampai ke Ka’bah atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi
makanan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang
dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah
telah memaafkan apa yang telah lalu dan barangsiapa yang kembali
mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya, Allah Maha Kuasa lagi mempunyai
(kekuasaan untuk) menyiksa.”
Ayat ini menunjukkan tiadanya hukum bagi orang yang membunuhnya karena tak
sengaja. Sebab penentuan “sengaja” dengan kewajiban membayar denda dalam
pembunuhan binatang buruan tidak sengaja.
III.
‘Adad (bilangan)
Seperti
firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 197:
الْحَجُّ
أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلا رَفَثَ وَلا فُسُوقَ
وَلا جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي
الألْبَابِ
“(Musim)
haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya
dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasikh
dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji dan apa yang kamu
kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah dan
sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku, hai
orang-orang yang berakal.”
Mafhumnya ialah melakukan ihram diluar bulan-bulan itu tidak syah.[10])
b.
Mafhum illat adalah menghubungkan hukum sesuatu karena illatnya.
Mengharamkan minuman keras karena memabukkan.
c.
Mafhum ghayah (pemahaman dengan batas akhir) adalah lafal yang menunjukkan
hukum sampai pada ghayah (batasan,
hinggaan), hingga lafal ghayah ini ada kalanya dengan “illa” dan dengan “hatta’.
Seperti dalam firman Allah SWT dalam surat
al-Maidah ayat 6:
اِذَا
قُنْتُمْ اِلىَ الصَّلَوةِ فاَغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ واَيْدِيَكُمْ أِلىَ
الْمَرَافِقِ....
“bila kamu hendak nmengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai kepada siku”.
Mafhum mukhalafahnya adalah membasuh tangan sampai
kepada siku.
d.
Mahfum
laqaab adalah menggantungkan hukum kepada isim alam atau isim fiil. Seperti
firman Allah SWT:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu.” Mafhum mukhalafahnya
adalah selain para ibu.
e.
Mafhum hasr adalah
pembatasan. Seperti dalam firman Allah SWT
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ
نَسْتَعِيْنُ
“Hanya Engkaulah yang kami sembah,
dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.”
Mafhum mukhalafahnya adalah bahwa
selain Allah tidak disembah dan tidak dimintai pertolongan. Oleh karrena itu,
ayat tersebut menunjukkan bahwa hanya Dia-lah yang berhak disembah dan dimintai
pertolongan.
f.
Mafhum
syarat , adalah petunjuk lafadz yang memberi fadah adanya hukum yang dihubungkan
dengan syarat supaya dapat berlaku hukum yang sebaliknya. Seperti dalam surat al-Thalaq ayat 6:
...وَإِنْ كُنَّ
أُولاَتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ...
“...Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka
berikanlah kepada mereka nafkahnya.”
Mafhum mukhalafahnya adalah istri-istri tertalak yang
tidak sedang hamil, tidak wajib diberi nafkah.[11])
D. Pengertian ‘Am Dan Pembagiannya
Seperti
disimpulkan Muhammad Adib Saleh, lafadz ‘am (umum) ialah lafadz yang diciptakan
untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian lafadz itu sendiri tanpa
dibatasi dengan jumlah tertentu
Pembahasan
Lafazh ‘am dalam ilmu Ushul fiqh mempunyai kedudukan tersendiri, karena Lafazh
‘am mempunyai tingkat yang luas serta menjadi ajang perdebatan pendapat ulama
dalam menetapkan hukum. Dipihak lain, sumber hukum Islam pun, Al-Qur’an dan
sunnah, dalam banyak hal memakai lafazh umum yang bersifat universal. Lafaz ‘am
ialah suatu lafaz yang menunjukkan satu makna yang mencakup seluruh satuan yang
tidak terbatas dalam jumlah tertentu
Maka yang
dimaksud dengan ‘am yaitu suatu lafadz yang dipergunakan untuk menunjukkan
suatu makna yang pantas (boleh) dimasukkan pada makna itu dengan mengucapkan
sekali ucapan saja. Seperti kita katakan “ar-rijal”,
maka lafadz ini meliputi semua laki-laki.[12])
Lafazh-Lafazh
‘am meliputi
1. Lafal-lafal
yang makna lafal itu sendiri berarti umum, seperti lafal :kullun, jami’un, kaaffah, ma’asyar(artinya
seluruhnya).
a.
Kullun
الْمَوْتِ
ذَائِقَةُ نَفْسٍ
كُلُّ
“Tiap-tiap (seluruh) yang berjiwa
akan merasakan mati.”(QS. Ali
Imran: 185)
b.
Jami’un
جَمِيعًا الأرْضِ فِي مَا لَكُمْ خَلَقَ الَّذِي هُوَ
“Dialah
Allah yang menjadikan bagimu apa-apa yang ada dibumisemuanya.”(QS.Al
Baqarah : 29)
c.
Kaaffah
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا كَافَّةً لِلنَّاسِ
“Dan kami
tidak mengutusmu melainkan kepada seluruh manusia.” (QS. Saba’
: 28)
d.
Ma’syar
آيَاتِي عَلَيْكُمْ يَقُصُّونَ مِنْكُمْ رُسُلٌ يَأْتِكُمْ أَلَمْ وَالإنْسِ الْجِنِّ مَعْشَرَ يَا يَوْمِكُمْ لِقَاءَ وَيُنْذِرُونَكُمْ
“Hai
sekalian jin dan manusia! Apakah tidak pernah datang kepadamu rasul-rasul
dari golongan-mu sendiri yang menyampaikan kepadamu ayat-ayat-Ku dan memberi
peringatan kepadamu bahwa akan ada pertemuan hari (kiamat) ini?”(QS.
Al-An’am : 130)
2. Isim syarat, seperti man
(barang siapa), ma (apa saja), aina (dimana saja), dan Ayyun
(mana saja)
a.
Man (barang
siapa)
بِهِ يُجْزَ سُوءًا يَعْمَلْ مَنْ
Barang siapa
mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan karena kejahatan itu.” (QS.
An-Nisa’ : 123)
b.
Ma (apa saja)
وَأَنْتُمْ إِلَيْكُمْ يُوَفَّ خَيْرٍ مِنْ تُنْفِقُوا وَمَا اللَّهِ وَجْهِ ابْتِغَاءَ إِلا تُنْفِقُونَ وَمَا تُظْلَمُونَ لا
“Dan apa saja harta yang baik yang kamu
nafkahkan di jalan Allah, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup dan
sedikitpun kamu tidak akan dianiya.” (QS. Al-Baqarah : 272)
c.
Aina (dimana)
أَيْنَمَا
تَكُونُوا يُدْرِكُكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ
“Di mana saja kamu
berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun kamu di dalam benteng yang
tinggi lagi kokoh” (QS An-Nisaa : 78)
d.
Ayyun (mana saja),ayyuma
(siapa saja)
“Siapa saja perempuan yang meminta ditalak oleh suaminya
tanpa alasan maka haram baginya harum-haruman surga.” (HR. Ahmad)[13])
3.
Isim Istifham, yaitu lafal nama yang berarti bertanaya.
Seperti lafal man (siapa), ma (apa), aina (dimana), ayyun
(siapakah), dan mata (kapan).
a.
Man (siapa)
كَثِيرَةً أَضْعَافًا لَهُ فَيُضَاعِفَهُ حَسَنًا قَرْضًا اللَّهَ يُقْرِضُ الَّذِي ذَا مَنْ
“Siapakah yang mau berpiutang kepada
Allah dengan piutang yang baik?” (QS. Al-Baqarah : 245)
b.
Ma (apa)
مَا
سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ
“Apa sebab kamu masuk neraka?” (QS. Al-Mudatsir: 42)
c. Ayyun (siapakah)
مُسْلِمِينَ
يَأْتُونِي
أَنْ
قَبْلَ
بِعَرْشِهَا
يَأْتِينِي
أَيُّكُمْ
الْمَلأ
أَيُّهَا
يَا
قَالَ
“Siapakah diantara kamu yang bisa membawa
singgasana kerajaannya (Bilqis) ke hadapanku sebelum mereka datang berserah
diri.” (QS. An-Naml : 38)
d.
Mata (kapan)
قَرِيبٌ اللَّهِ نَصْرَ إِنَّ أَلا اللَّهِ نَصْرُ مَتَى
“Kapan datangnya pertongan Allah? Ingatlah,
sesungguhnya pertolongan Allah itu sangat dekat.” (QS.
Al-Baqarah : 214)
4. Isim Nakirah yang terletak sesudah Nafi :
وَلَا
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
“….Dan tidak ada dosa atas kamu
mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya …..” (QS. Al-Mumtahanah : 10)
5. Isim Mausul (kata penghubung), seperti kata Alladzi, Alladzina, Allati, Allaati:
نَارًا بُطُونِهِمْ فِي يَأْكُلُونَ إِنَّمَا ظُلْمًا الْيَتَامَى أَمْوَالَ يَأْكُلُونَ الَّذِينَ إِنَّ
“Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dzalim, sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perut mereka..“ (QS. Annisa : 10)
6.
Kata
jama’ yang disertai alif-lam diawalnya, seperti kata al-walidat
(para ibu) :
الرَّضَاعَةَ يُتِمَّ أَنْ أَرَادَ لِمَنْ كَامِلَيْنِ حَوْلَيْنِ أَوْلادَهُنَّ يُرْضِعْنَ وَالْوَالِدَاتُ
“Para ibu (hendaklah)
menyusukan anknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin
menyempurnakan penyusuan” (QS. Al-Baqarah : 233)
7.
Kata
benda tunggal yang di-ma’rifat-kan dengan alif-lam, seperti kata al-insan
(manusia) :
آمَنُوا الَّذِينَ إِلا
(٢)
خُسْرٍ
لَفِي
الإنْسَانَ
إِنَّ
“Sesungguhnya
manusia dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman” (QS Al-Ashr : 2)[14])
1. Lafal umum
yang dikehendaki keumumannya karena ada dalil yang menunjukkan tertutupnya
kemungkinan ada takhsis (pengkhususan). Misalnya, ayat 6 surat Hud:
وَمَا مِنْ
دَابَّةٍ فِي الأرْضِ إِلا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا
وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun
dibumi melainkan Allah- lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui
tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab
yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS.Hud/11:6)
Yang
dimaksud dengan binatang malata dalam ayat tersebut adalah umum,mencakup
seluruh jenis binatang tanpa kecuali, karena diyakini bahwa setiap yang melata
dipermukaan bumi adalah Allah yang member rezekinya.
2. Lafal umum
pada hal yang dimaksud adalah makna khusus karena ada indikasi yang menunjukkan
makna seperti itu. Contohnnya :
“Tidaklah sepatutnya bagi penduduk madinah dan
orang-orang Arab Baduwi yang berdiam disekitar mereka tidak turut
menyertai Rasulullah (pergi berperang) dantidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai
diri mereka dari pada mencintai diri Rasul (at-Taubah/9:120)
Ayat
tersebut menunjukan makna umum, yaitu setiap penduduk Madinah dan orang-orang
Arab sekitarnya termasuk orang-orang sakit dan orang-orang lemah harus turut
menyertai Rasulullah pergi berperang. Namun yang dimaksud oleh ayat
tersebut bukanlah makna umum itu, tetapi hanyalah orang-orang yang mampu.
3. Lafal umum
yang terbebas dari indikasi baik menunjukkan bahwa yang di maksud adalah makna
umumnya atau adalah sebagian cakupannya. Contohnya, ayat 228 surat al-Baqarah.
قُرُوءٍ ثَلاثَةَ بِأَنْفُسِهِنَّ يَتَرَبَّصْنَ وَالْمُطَلَّقَاتُ
“Dan
wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. (QS.
Al-Baqarah/2:228)
Lafal umum
dalam ayat tersebut yaitu al-muthalaqat (wanita-wanita yang ditalak), terbebas
dari indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna umumnya itu
atau sebagian cakupannya.
Berkaitan
dengan lafal umum, perlu dibahas tentang takhsis. Takhsis adalah penjelasan
bahwa yang dimaksud dengan satu lafal umum adalah sebagian dari cakupannya,
bukan seluruhnya. Atau dengan kata lain, mengeluarkan sebagian dari satuan –
satuan yang dicakup oleh lafal umum dengan dalil.
Diantara
dalil-dalil pentakhsis, adalah takhsis dengan ayat Al-quran, takhsis dengan
sunnah, dan takhsis dengan Qiyas. Lafal umum setelah ditakhsis, keumumannya
menjadi khusus (makna sebagian). Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ayat-ayat
Al-Quran, dan hadist mutawatir (hadist yang di riwayatkan sekelompok orang
banyak yang tidak mungkin berbohong), dapat mentakhsis ayat-ayat umum dalam
Al-Quran.[15])
E. Pengertian Khas Dan Pembagiannya
Setiap lafaz
yang menunjukkan arti tunggal itulah lafaz khas. Dapat juga diartikan sebagai lafaz yang dari segi kebahasaan, ditentukan
untuk satu arti secara mandiri
Dan menurut
kesepakatan para ulama, bahwa setiap lafaz yang khas menunjukkan pengertian
yang qath’i (pasti), yakni tidak
mengandung kemungkinan-kemungkinan lain dalam pengertiannya.
Lafaz khas adalah lafaz yang dibuat untuk menunjukan satu
satuan tertentu berupa orang. Seperti Muhammad atau satu jenis, seperti
laki-laki atau beberapa satuan yang bermacam-macam dan terbatas, seperti tiga
belas, seratus, kaum, golongan, jama’ah, kelompok dan lafal lain yang
menunjukan jumlah satuan dan tidak menunjukan cakupan kepada seluruh satuannya.[16])
Macam-macam
Lafadz Khas antaralain :
1.
Lafadz khas berbentuk mutlak tanpa dibatasi qayyid atau syarat. Contoh:
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ
يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا
ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Atinya : orang –orang yang mendzihar istri
mereka. kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka
wajib atasnya memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu
bercampur.demikianlah yang diajarkan kepadamu, dan Alloh maha mengetahui apa
yang kamu kerjakan. (Q.S Al-Mujadilah : 3)
2. Lafadz khas berbentuk muqqoyyad (dibatasi qayyid). Contohnya surat An-nisa’ 42
مُؤْمِنَةٍ رَقَبَةٍ فَتَحْرِيرُ خَطَأً مُؤْمِنًا قَتَلَ وَمَنْ مُؤْمِنَةٍ
Artinya: barang
siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah hendaknya ia memerdekakan seorang hamba
sahaya yang beriman.
3. Lafadz khas berbentuk amr. Contohnya dalam syurat annisa’ 58
أَهْلِهَا
إِلَى
الأمَانَاتِ
تُؤَدُّوا
أَنْ
يَأْمُرُكُمْ
اللَّهَ
إِنَّ
Artinya : sesungguhnya
Alloh menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya
4. Lafadz khas yang berbentuk
larangan. Contoh surat an-nahl 90 ;
الْقُرْبَى ذِي وَإِيتَاءِ وَالإحْسَانِ بِالْعَدْلِ يَأْمُرُ اللَّهَ إِنَّ
Artinya: sesungguhnya
Alloh menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan memberi kepada kaum
kerabat dan Alloh melarang dari perbuatan keji kemungkaran dan permusuhan dia
member pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.[17])
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Tafsir dibagi menjadi beberapa macam. Diantaranya adalah Tafsir Bi al-Ma’tsur, Bi
al-Ra’y ,Tafsir Bil Iqtirani.
Manthuq adalah arti yang diperlihatkan oleh
lafaz yang diungkapkan Manthuq dibagi
menjadi dua yaitu Manthuq Sarih dan Manthuq Ghairu Sarih.
Mafhum artinya adalah yang difaham dan
yang tersirat. Secara sederhana, mafhum adalah apa yang dapat kita pahami
dari suatu lafaz bukan berdasarkan apa yang terucap dari lafaz tersebut
melainkan apa yang tersirat didalamnya, yakni dari pemahaman ucapan tersebut. Mafhum
dibagi menjadi dua yaitu Mafhum Muwafaqah
dan Mafhum Mukhalafah
lafadz ‘Am ialah lafadz yang diciptakan untuk
pengertian umum sesuai dengan pengertian lafadz itu sendiri tanpa dibatasi
dengan jumlah tertentu.
Lafadz Khas ialah Setiap lafaz yang menunjukkan
arti tunggal itulah lafaz khas.
B.
Saran
Seharusnya kita sebagai manusia hendaknya mempelajari ilmu tafsir agar
kedepannya dapat meminimalisir penyimpangan dalam mentafsirkan ayat-ayat
al-qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahhab, Khallaf. Kaidah Hukum Islam. 2003. Jakarta : Pustaka Aman.
Al-Qaththan,
Manna. 2012. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta :Pustaka Al Kautsar.
Anwar, Rosihon. Mutiara Ilmu-ilmu Al-Qur’an.
1999. Bandung: Pustaka Setia.
Bakry, Nazar. Fiqh & Ushul Fiqh.
2003. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Effendi, Satria. Ushul Fiqh. 2008. Jakarta:
Penerbit Kencana.
Karim, Syafi’i. Fiqih – Ushul
Fiqih, 1997. Bandung: Pustaka Setia.
Praja, Juhaya. Ilmu Ushul Fiqh. 2010. Bandung: Pustaka Setia.
Syafe’i, Rahmat. Ilmu Ushul Fiqih. 2010. Bandung: Pustaka
Setia.
Syarifudin, Amir. Ushul Fiqh. 2002. Jakarta: Logos
Wacana Ilmu.
Zahrah, Abu. Ushul Fiqh. 2010. Jakarta: Pustaka firdaus.
[3]
) Ibid., hlm. 52
[4]
) Juhaya S. Praja, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 2010, hlm.193
[5]
) Ibid.hlm.198
[6] )Abu Zahrah, Ushul
Fiqh, Jakarta: Pustaka firdaus, 2010, Hlm.250
[7]
) Ibid., hlm 252
[8]) Syaikh Manna’ Al-Qaththan , Pengantar
Studi Ilmu Al-Qur’an , Jakarta :Pustaka Al – Kautsar , 2012. hlm.312
[9])
Rahmat
syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka
Setia, 2010, hlm.220
[12])
Ibid., hlm 235
[14])
Ibid., hlm 179
[17]) Ibid., hlm. 223
Tidak ada komentar:
Posting Komentar