Selasa, 24 April 2018

makalah hadits silaturahim


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Manusia adalah mahluk sosial yang selalu membutuhkan perhatian, teman dan kasih sayang dari sesamanya. Setiap diri terikat dengan berbagai bentuk ikatan dan hubungan, diantaranya hubungan emosional, sosial, ekonomi dan hubungan kemanusiaan lainnya. Maka, demi mencapai kebutuhan tersebut adalah fitrah untuk selalu berusaha berbuat baik terhadap sesamanya. Fitrah inilah yang ditegaskan oleh islam. Lebih lagi terhadap sesama muslim. Sebagai seorang muslim diwajibkan untuk menjalin tali persaudaraan dengan muslim lainnya. Dimana persaudaraan itu merupakan pertalian persahabatan yang serupa dengan hubungan kekeluargaan. Islam sangat memahami hal tersebut, oleh sebab itu, hubungan persaudaraan harus dilaksanakan dengan baik.
Persaudaraan sesama muslim biasanya dalam kontek agama diartikan sebagai Ukhuwah islamiyah. Sesama umat islam hendaknya saling tolong-menolong, tidak ada kedengkian dan hasad sehingga menjadikan persaudaraan muslim menjadi jauh karenanya. Dalam Al-Qur’an dan Hadits telah banyak disebutkan tentang hak dan kewajiban antara sesama muslim. Dan darinya dapat dirasakan nikmatnya iman.
Hubungan persaudaraan sesama muslim mempunyai kewajiban untuk saling membantu, saling menghormati, menjenguk ketika sakit, mengantarkan sampai ke kuburan ketika meninggal dunia, saling mendoakan, larangan saling mencela, larangan saling menghasud dan lain sebagainya.  Semangat persaudaraan diantara sesama Muslim hendaknya didasari karena Allah semata. Dalam hadits Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang bersaudara dengan seseorang karena Allah, niscaya Allah akan mengangkatnya ke suatu derajat di surga yang tidak bisa diperolehnya dengan sesuatu dari amalnya.” (HR. Muslim)


B.     Rumusan Masalah
1.         Apa Pengertian Persaudaraan Sesama Muslim?
2.         Apa Hadits Tentang Ikatan Persaudaraan Antara Sesama Muslim?
3.         Apa Hadits Tentang Memelihara Silaturahin?
4.         Apa Hadits Tentang Larangan Memutus Silaturahim?
5.         Apa saja Tahapan-Tahapan Di Dalam Memelihara Silaturrahim?

C.    Tujuan Makalah
1.      Mengetahui Pengertian Persaudaraan Sesama Muslim
2.      Mengetahui Hadits Tentang Ikatan Persaudaraan Antara Sesama Muslim
3.      Mengetahui Hadits Tentang Memelihara Silaturahin
4.      Mengetahui Hadits Tentang Larangan Memutus Silaturahim
5.      Mengetahui Tahapan-Tahapan Di Dalam Memelihara Silaturrahim

















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Persaudaraan Antara Sesama Muslim
Secara bahasa, silaturrahim adalah kata majemuk yang terambil dari bahasa Arab, shilat dan rahim. Kata shilat berasal dari kata washl yang berarti “menyambung” dan “menghimpun”. Ini berarti hanya yang putus dan terserak yang dituju oleh shilat itu. Sedangkan kata rahim pada mulanya berarti “kasih sayang”, kemudian berkembang sehingga berarti pula “peranakan” (kandungan) karena anak yang dikandung selalu mendapatkan kasih sayang. Inti silaturrahim adalah rasa rahmat dan kasih sayang. Hal ini, antara lain dapat dibuktikan dalam pemberian yang tulus, sehingga kata shilat diartikan pula dengan “pemberian” atau “hadiah”. Berdasarkan hadis Nabi saw. silaturrahim berarti:
لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنْ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَه nَا
Artinya: bukanlah bersilaturrahim orang yang membalas kunjungan atau pemberian, tetapi yang bersilaturrahim adalah yang menyambung kasih sayangnya jika terputus”. (H.R. Al-Bukhari)
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa silaturrahim berarti mendekatkan diri kepada orang lain setelah selama ini jauh; dan menyambung kembali komunikasi setelah selama ini (komunikasi) terputus berdasarkan rasa kasih sayang di antara mereka.[1])






B.     Ikatan Persaudaraan Antara Sesama Muslim
Islam memerintahkan umatnya untuk bersatu padu. Perintah untuk bersatu ini ditujukan kepada setiap muslim di seluruh dunia. Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
 وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (Qs. Al Imran: 102-103)
Dalam ayat di atas, jelas sekali bahwa perintah untuk bersatu padu ditujukan untuk setiap muslim. Bahkan, perpecahan diantara umat Islam adalah sumber malapetaka dan bencana.
Bahkan Rasulullah SAW menegaskan bahwa rasa ukhuwah dan mahabbah pada diri seorang mukmin haruslah benar-benar ditanamkan karena itu adalah salah satu ciri dari kesempurnaan iman seorang muslim sejati. Dari Anas, Nabi SAW bersabda
لاَيُؤْمِنُ اَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِاَخِيْهِ مَايُحِبُّ لِنَفْسِهِ.
 “Belum dianggap sempurna iman seseorang diantara kamu, sehingga ia menyintai saudara sesama muslim seperti ia mencintai dirinya sendiri.” (HR.Bukhari-Muslim).[2])
Allah SWT telah menjadikan orang-orang mukmin itu bersaudara agar mereka saling kasih-mengasihi dan sayang-menyayangi. Sabda Nabi, dari Abu Musa, Rasulullah SAW bersabda;
اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًاوَشَبَّكَ بَيْنَ اَصَابِعِهِ. (متفق عليه)
 “Kehidupan orang-orang mukmin, satu dengan yang lainnya seperti sebuah bangunan yang saling menguatkan yang satu dengan yang lainnya.” (Mutafaqun Alaih).
Hadits diatas menggambarkan hakikat antara hubungan sesama kaum muslimin yang begitu eratnya. Hubungan antara seorang mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan sebuah bangunan yang saling melengkapi. Bangunan tidak akan berdiri kalau salah satu komponennya tidak ada ataupun rusak. Hal itu menggambarkan betapa kokohnya hubungan antara sesama umat Islam.[3]) Dalam hadits lain disebutkan Dari Nu’man bin Basyir, Rasulullah SAW bersabda
مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِيْ تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُمِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِإِذَااشْتَكى مِنْهُ عُضْوٌتَدَاعى لَهُ سَآ ئِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِوَالْحُمَّى
“Persaudaraan orang-orang mukmin dalam menjalin cinta kasih sayang diantara mereka seperti satu badan. Sewaktu ada anggota tubuh yang sakit, maka meratalah rasa sakit tersebut ke seluruh anggota tubuh, hingga tidak bisa tidur dan terasa panas.” (HR.Bukhari-Muslim).
Dalam hadits ini dinyatakan bahwa hubungan dalam hal kasih sayang, cinta, dan pergaulan diibaratkan hubungan antara anggota badan, yang mana satu sama lain saling membutuhkan, merasakan, dan tidak dapat dipisahkan. Jika salah satu anggota badan tersebut sakit, anggota badan lainnya ikut merasakan sakit.
Itulah salah satu kelebihan yang seharusnya dimiliki oleh kaum mukmin dalam berhubungan antara sesama kaum mukminin. Sifat egois atau mementingkan diri sendiri sangat ditentang dalam Islam. Sebaliknya, Islam memerintahkan umatnya untuk bersatu dan saling membantu karena persaudaraan seiman lebih erat daripada persaudaraan sedarah. Itulah yang menjadi pangkal kekuatan kaum muslimin, setiap muslim merasakan penderitaan saudaranya dan mengulirkan tangannya untuk membantu sebelum diminta.
Salah satu landasan utama yang mampu menjadikan umat bersatu atau bersaudara ialah persamaan akidah. Ini telah dibuktikan oleh bangsa Arab yang mana sebelum Islam datang mereka sering berperang dan bercerai-berai tetapi setelah mereka menganut agama Islam dan memiliki pandangan yang sama baik lahir maupun batin, merka dapat bersatu. [4])

C.    Memelihara Silaturrahim
Silaturrahmi atau dapat diartikan menyambung tali kasih sayang adalah merupakan bagian dari kebutuhan setiap makhluk hidup dan yang lebih utamanya disini adalah manusia. Karena manusia merupakan “Makhluk Sosial” yakni makhluk yang membutuhkan hidup bersama. hal ini terbukti dengan adanya dalam memenuhi kebutuhannya manusia tidak mampu sendirian meskipun pada saat sekarang ini tekhnologi sudah sangat mengalami perkembangan dan kemajuan. Oleh karena itu maka tidak bisa dipungkiri lagi bahwa manusia harus senantiasa menjaga hubungan yang baik dengan orang lain.
Kasih sayang merupakan sifat Allah yang sangat banyak disebutkan dalam al-qur’an. Dengan demikian maka kita sebagai manusia yang taat, percaya dan bertaqwa kepada-Nya, tentu harus berupaya untuk meneladani sifat keutamaan Allah tersebut dalam menjalani kehidupan, karena sesuai janji-Nya, Allah akan menjadikan kasih sayang ada di dalam hati orang-orang beriman dan beramal sholeh. Sebagaimana firman-Nya dalam surat Maryam ayat 96 sebagi berikut
اِنَّالذِيْنامَنُووَعَمِلُالصَّلحَاَتِسَيَجْعلُلَهُمالرَّحْمَاُنُوُدَّ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal sholeh, yang Maha Rahman (Allah SWT) akan mengadakan perasaan kasih sayang bagi sesamanya”
Dimana dari ayat tersebut dapat kita fahami secara logika bahwa setiap mukmin seharusnya hidup berdampingan dengun penuh kasih, karena Allah SWT telah member masing-masing manusia sifat kasih saying, namun di dalam realitanya pada masa sekarang adalah penuh dengan permusuhan, pertikaian, perselisihan, dan sifat-sifat tidak terpuji lainnya, hal itu mencerminkan betapa minimnya sifat kasih sayang pada masa sekarang ini.[5])
Sedangkan Islam dalam berbagai ayat al-qur’an maupun hadits Nabi sebagai sumber ajaran Islam juga telah banyak menganjurkan akan pentingnya kasih sayang terhadap sesama, serta melarang sifat yang berbau permusuhan dan pertikaian. Oleh karena itu Allah sangat menjunjung tinggi orang yang memiliki sifat kasih saynang terhadap sesama, karena jika seseorang telah memiliki sifat kasih sayang terhadap sesamanya, maka Allah akan mengasihinya dan kasih sayang Allah SWT tersebut akan diletakkan dihati para Malaikat dan semua anak Adam, sehingga para Malaikat dan semua anak manusia akan mengasihi orang yang memberikan kasihnya kepada orang lain dan begitu pula sebaliknya. Dengan demikian maka menyambung tali silaturrahmi akan dapat menjadi sarana kelapangan rizki dan panjangnya umur. Hal itu sebagaimana hadits Riwayat Imam Muslim berikut ini
حَدَّثَنِي حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى التُّجِيبِيُّ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ أَوْ يُنْسَأَ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ.
“Telah menceritakan kepadaku Harmalah bin Yahya At Tujibi Telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb; Telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab dari Anas bin Malik dia berkata; Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezkinya, atau ingin dipanjangkan usianya, maka hendaklah dia menyambung silaturrahmi."
Dari kutipan hadits tersebut dapat difahami bahwa bahwa menyambung tali persaudaraan atau kekeluargaan akan mendatangkan kelapangan rizki dan panjang umur. Dilapanghkan rizki dari kutipan hadits tersebut dapat difahami secara obyektif, karena salah satu modal untuk mendapatkan rizki adalah dengan kita berhubungan baik dengan sesama manusia, peluang-peluang bisnis misalnya akan terbuka dari banyaknya hubungan kita dengan masyarakat luas, bahkan jika kita lihat pada realita sekarang kepercayaan rekanan bisnis adalah lebih diutamakan daripada yang lainya.
Sedangkan maksud dari pengertian dipanjangkan umur bias dalam pengertian sebenarnya yakni ditambah umurnya dari yang sudah ditentukan Allah SWT atau dipanjangkan umurnya disini hanya sebatas dalam pengertian simbolis, yang menunjukkan bahwa umur yang mendapat taufiq dari Allah SWT sehingga berkah dan bermanfaat bagi umat manusia sehingga namanya akan abadi dan akan senantiasa dikenang dalam waktu yang lama.[6])
Hadits yang agung ini memberikan salah satu gambaran tentang keutamaan silaturahmi. Yaitu dipanjangkan umur pelakunya dan dilapangkan rizkinya. Adapun penundaan ajal atau perpanjangan umur, terdapat satu permasalahan yaitu bagaimana mungkin ajal diakhirkan, Bukankah ajal telah ditetapkan dan tidak dapat bertambah dan berkurang sebagaimana firmanNya,
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمْ لاَيَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَيَسْتَقْدِمُونَ
“Maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS Al A’raf: 34).
Jawaban para ulama tentang masalah ini sangatlah banyak. Di antaranya,
1.      Yang dimaksud dengan tambahan di sini, yaitu tambahan berkah dalam umur. Kemudahan melakukan ketaatan dan menyibukkan diri dengan hal yang bermanfaat baginya di akhirat, serta terjaga dari kesia-siaan.
2.      Berkaitan dengan ilmu yang ada pada malaikat yang terdapat di Lauh Mahfudz dan semisalnya. Umpama usia si fulan tertulis dalam Lauh Mahfuzh berumur 60 tahun. Akan tetapi jika dia menyambung silaturahim, maka akan mendapatkan tambahan 40 tahun, dan Allah telah mengetahui apa yang akan terjadi padanya (apakah ia akan menyambung silaturahim ataukah tidak). Inilah makna firman Allah Ta'ala ,
يَمْحُو اللهُ مَايَشَآءُ وَيُثْبِتُ
 “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki).” (QS Ar Ra’d:39).
Demikian ini ditinjau dari ilmu Allah. Apa yang telah ditakdirkan, maka tidak akan ada tambahannya. Bahkan tambahan tersebut adalah mustahil. Sedangkan ditinjau dari ilmu makhluk, maka akan tergambar adanya perpanjangan (usia).
3.      Yang dimaksud, bahwa namanya tetap diingat dan dipuji. Sehingga seolah-olah ia tidak pernah mati. Demikianlah yang diceritakan oleh Al Qadli, dan riwayat ini dha’if (lemah) atau bathil. Wallahu a’lam.
Silaturrahim juga merupakan salah satu dasar keimanan manusia. Rasulullah saw. bersabda, diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abu Hurairah r.a., berbunyi:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ و في رواية الآخر وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ أو فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, maka hendaklah memuliakan tamunya  dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, maka hendaklah bersilaturrahim dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, maka hendaklah mengucapkan (kata-kata) yang baik (pilihan kata yang tidak menyinggung orang lain) atau (lebih baik) diam (daripada berkata-kata yang dapat menyinggung perasaan orang lain). Dan pada riwayat yang lain (disebutkan) “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, maka jangan mengganggu tetangganya atau hendaklah memuliakan tetangganya.”
Salah satu ciri khas sabda Nabi saw. ketika menjelaskan persoalan mengenai hubungan manusia dengan manusia lainnya adalah mengawali dengan ciri keimanan kepada Allah dan Hari Kemudian, termasuk dalam hal silaturrahim. Hal ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya silaturrahim untuk dibudayakan di dalam kehidupan agar manusia tidak terjerumus di dalam lembah kehinaan, terutama menjalin hubungan yang harmonis terhadap sesamanya.
Bahkan, dalam salah satu riwayat dinyatakan ketika Rasulullah saw. ditanya oleh seseorang: ”Ya Rasulullah saw. beritakan kepada kami apa yang seharusnya saya lakukan untuk masuk surga?”: Rasulullah saw. menjawab:
تعْبُدُ اللَّهَ وَلاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمُ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ وَتَصِلُ الرَّحِمَ
Kalian menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya, mendirikan shalat, menuanaikan zakat, dan ber-silaturrahim.” (H.R. Al-Bukhari dari Abu Ayyub).
Hadis tersebut, secara tegas menyatakan bahwa salah satu syarat masuk surga adalah senantiasa memperkokoh silaturrahim di antara sesama, terutama kepada sanak keluarga, tetangga, dan karib kerabat.[7])
Manusia sebagai makhluk sosial tidak akan pernah sukses jika tidak berintraksi dengan sesamanya. Bahkan, keberhasilan dan kesuksesan seseorang tidak pernah terlepas dari keterlibatan orang-orang lemah. Rasulullah saw. bersabda:
إِنَّمَا تُنْصَرُوْنَ وَتُرْزَقُوْنَ بِضُعَفَائِكُمْ
Sesunggunya kalian tertolong (menduduki jabatan) dan mepeproleh rezki (kaya) atas orang-orang lemah di antaramu.
Kenyataannya, seringkali seseorang setelah menduduki jabatan atau menjadi kaya, ia melupakan orang-orang yang telah menolongnya untuk meraih semua itu, kecuali bagi mereka yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian.
Keimanan kepada Allah dan Hari Kemudian akan melahirkan rasa tanggung jawab, baik terhadap Allah Swt. maupun terhadap sesama manusia dan makhluk lainnya. Itulah sebabnya mengapa beriman kepada Allah dan Hari Kemudian menjadi syarat utama untuk silaturrahim, berbuat baik kepada tetangga, menghormati tamu, dan berbuat baik kepada semua orang. Hanyalah mereka yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian yang benar-benar dapat berbuat baik secara ikhlas kepada orang lain, terutama kepada keluarga, tetangga, dan tamu. Memang, banyak orang dapat berbuat baik kepada orang lain, tetapi jika hal itu tidak dilandasi dengan keimanan kepada Allah dan Hari Kemudian, maka perbuatan itu biasanya karena maksud yang tersembunyi di balik kebaikan itu.
Salah satu wujud silaturrahim adalah seseorang mencintai saudaranya sebagaimana ia mencitai dirinya sendiri. Rasulullah saw. bersabda, diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Anas bin Malik r.a., berbunyi:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ ِلأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ.
 Tidaklah beriman seseorang sehingga ia mencintai saudaranya sebagimana ia mencintai dirinya sendiri.”
Dan sabda Nabi saw., berbunyi:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ.
“Tidaklah (sempurna) iman seseorang sehingga lebih mencintai dirinya daripada orang tuanya, anak-anaknya, dan orang lain semuanya.”
Kedua Hadis tersebut di atas menunjukkan bahwa dasar mencintai saudara, orang tua, anak-anak,dan orang lain adalah keimanan. Hal ini dimaksudkan agar setiap orang senantiasa menjalin persaudaraan yang dilandasi oleh keimanan kepada Allah Swt. bukan hanya karena kepentingan politik, ekonomi, ataupun yang lainnya, sehingga persaudaraan itu dapat kokoh di atas bimbingan Allah Swt. [8])

D.    Larangan Memutuskan Silaturahmi
Hidup adalah perjuangan, tantangan, pengorbanan, dan sekaligus perlombaan antar sesama manusia. Tidak heran kalau terjadi gesekan antar sesama dan tidak mungkin dapat dihindarkan. Namun demikian, gesekan atau permusuhan tersebut jangan sampai diperpanjang hingga melebihi tiga hari yang ditandai dengan tidak saling menegur sapa dan saling manjauhi. Hal ini tidak dibenarkan dalam ajaran Islam. Memang benar setiap manusia memiliki ego dan gengsi sehingga hal ini sering mengalahkan akal sehat akan tetapi untuk apa mempertahankan gengsi bila hanya menyebabkan pelanggaran aturan agama dalam berhubungan dengan sesama.
Diantara cara efektif untuk membuka kembali hubungan yang telah terputus adalah dengan mengucapkan salam sebagai tanda dibukanya kembali hubungan kekerabatan.
Adapun dalil yang mengenai tentang pelarangangan memutuskan silaturahmi dipaparkan oleh imam bukhori dan imam muslim dalam kitabnya dengan beradasarkan riwayat abi ayub ra.

عَنْ أَبِي أَيُّوبَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثbbِ لَيَالٍ يَلْتَقِيَانِ, فَيُعْرِضُ هَذَا, وَيُعْرِضُ هَذَا, وَخَيْرُهُمَا اَلَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلاَمِ

Dari Abu Ayub ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW. Bersabda : “tidak di halalkan bagi seorang muslim memusuhi saudaranya lebih dari tiga hari, sehingga jika bertemu saling berpaling muka, dan sebaik-baik keduanya adalah yang mendahului memberi salam”. (Mutafaqqun ‘alaih)
Islam menganjurkan untuk menyambung hubungan dan bersatu serta mengharamkan pemutusan hubungan, saling menjauhi, dan semua perkara yang menyebabkan lahirnya perpecahan. Karenanya Islam menganjurkan untuk menyambung silaturahim dan memperingatkan agar jangan sampai ada seorang muslim yang memutuskannya. Dan Nabi shalllallahu alaihi wasallam mengabarkan bahwa bukanlah dikatakan menyambung silaturahmi ketika seorang membalas kebaikan orang yang berbuat kebaikan kepadanya, yakni menyambung hubungan dengan orang yang senang kepadanya. Akan tetapi yang menjadi hakikat menyambung silaturahmi adalah ketika dia membalas kebaikan orang yang berbuat jelek kepadanya atau menyambung hubungan dengan orang yang memutuskan hubungan dengannya.
Nabi shallallahu alaihi wasallam mengabarkan bahwa balasan disesuaikan dengan jenis amalan. Karenanya, barangsiapa yang menyambung hubungan silaturahminya maka Allah juga akan menyambung hubungan dengannya, dan diantara bentuk Allah menyambungnya adalah Allah akan menambah rezekinya, menambah keberkahan dalam umurnya, dan senantiasa memberikan pertolongan kepadanya. Sebaliknya, siapa saja yang memutuskan hubungan silaturahiminya, maka Allah juga akan memutuskan hubungan dengannya. Dan ketika Allah sudah memutuskan hubungan dengannya maka Allah tidak akan perduli lagi dengannya, Allah akan menjadikannya buta dan tuli, dan menimpakan laknat kepadanya. Dan siapa yang mendapatkan laknat maka sungguh dia telah dijauhkan dari kebaikan dan rahmat Allah Ta’ala yang Maha Luas.

عَنْ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم : لاَ يَدْخُلُ اَلْجَنَّةَ قَاطِعٌ  
“Dari Jubair bin Muth’im ra. Ia berkata : bersabda Rasulullah saw. : “Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan hubungan”. (Mutafaqun ‘alaih).
Adapun yang dimaksud dengan “ tidak masuk ” dalam kutipan hadits tersebut adalah tidak langsung masuk karena umat manusia akan masuk syurga dengan syafaat Rasulullah SAW. Hadits diatas bersifat ancaman berat bagi siapa saja yang memutuskan tali silaturrahminya. [9])
Dari uraian hadits diatas jelas bahwa orang yang memutuskan hubungan persaudaraan berarti dia telah berbuat maksiat karena telah melanggar perintah Allah SWT dan Rasul-Nya tentang kewajiban umat Islam untuk menyambung tali persaudaraan.bahkan sekedar menjauhi dan meninggalkan saudaranya lebih dari tiga malam dengan niat memutuskan hubungan persaudaraan pun tidak dibenarkan oleh agama.. Dalam suatu hadits Rasulullah saw pernah bersabda
Artinya : Dari Ibnu Mas’ud r.a berkata : Nabi Muhammad saw bersabda : sesungguhnya pintu langit itu tertutup untuk orang yang memutuskan hubungan persaudaraan. (H.R. Thabrani)
Dan Rasulullah SAW dalam berbagai haditsnya pun telah mengutuk perbuatan dari orang-orang yang memutuskan tali silaturrahmi atau hubungan persaudaraan, yang dimana secara tegas diperintah oleh Allah SWT untuk senantiasa menjaganya, sebab yang demikian dapat difahami karena kecintaan seseorang terhadap saudaranya merupakan bukti dari keimanan seseorang sehingga ketika seseorang telah memutuskan hubungan kasih sayang terhadap sesama sebagai bentuk persaudaraan maka dia telah kehilangan sebagian dari keimanannya,karena keimanan yang sempurna menuntut kecintaan terhadap sesama muslim. [10])

E.     Tahapan-Tahapan Di Dalam Memelihara Silaturrahim
Ada beberapa sifat yang harus dimiliki seseorang agar dapat memelihara budaya silaturrahim, sekaligus menjadi tanda-tanda ketaqwaannya, yaitu seperti diungkapkan kepada Allah Swt. di Q.s. Ali Imran 3:134, berbunyi:
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Yaitu orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema`afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Ayat di atas menunjukkan bahwa untuk menjalin keserasian hubungan atau memelihara silaturrahim, maka seseorang harus membudayakan berinfaq, mengendalikan amarah, bersifat pemaaf, dan berbuat ihsan.
Sifat-sifat tersebut menunjukkan tahapan-tahapan bersilaturrahim, yaitu:
1.      Berinfaq
Budaya ini bersifat umum, budaya berinfaq tidak hanya diperlukan pada saat lapang, tetapi juga dikala sempit. Infaq yan berbentuk wajib, antara lain berupa zakat dan nafkah terhadap keluarga. Sedangkan infaq dalam bentuk anjuran, antara lain sedekah, hibah, dan hadiah. Salah satu bentuk sedekah adalah menyingkirkan duri dari jalanan dan banyak senyum. Karena itu, tidak ada alasan untuk tidak berinfaq, jika mampu berkewajiban mengeluarkan zakat dan jika tidak mampu, maka  paling tidak ia selalu senyum terhadap sesama.
2.      Menahan Amarah
Kemampuan mengendalikan amarah merupakan langkah awal untuk dapat memelihara keserasian hubungan dengan sesama jika terjadi perselisihan dengan pihak lain. Sikap seperti ini serigkali sulit diwujudkan karena ada sifat kesombongan dan keangkuhan yang dimiliki. Sikap marah mudah bangkit jika seseorang merasa lebih berkuasa daripada orang lain. Karena itu, Nabi saw. melarang marah, La taghdhab “jangan marah” sebab jika marah, maka syetan mudah masuk mempengaruhi seseorang. Jika sese-orang marah, maka bergegaslah mengambil air wudlu untuk meredamkemarahan.
3.      Pema’af
Kemampuan memaafkan orang lain adalah langkah kedua setelah kemampuan mengendalikan amarah. Kata maaf berasal dari bahasa Al-Qur’an yang berarti “menghapus” karena yang memaafkan menghapus bekas-bekas luka di hatinya. Bukanlah memaafkan namanya, apabila masih ada tersisa bekas luka itu di dalam hati, bial masih ada dendam yang membara. Jika bekas masih ada tersisa, maka itu menunjukkan bahwa apa yang dilakukan baru sampai ada tahap menahan amarah. Itu sebabnya, maka seseorang yang memohon maaf dari orang lain agar terlebih dahulu menyesali perbuatannya, bertekad utuk tidak melakukannya lagi, serta memohon maaf sambil mengembalikan hak yang pernah diambilnya itu.
Memberi atau menerima belum cukup, tetapi seseorang harus melakukan al-shafhu “memberi kelapangan” dengan simbol berjabat tangan. Seseorang yang melakukan al-shafhu dituntut untuk melapangkan dadanya sehingga mampu menampung segala ketersinggungan serta dapat pula menutup lembaran lama dan membuka lembaran baru.
Pada prinsipnya, konsep Islam tentang pemaafan tidak mengisyaratkan seseorang harus datang meminta maaf, tetapi Islam menganjur-kan untuk memberi maaf. Hanya saja, konsep ini tidak berjalan dengan baik, sehingga boleh jadi ada orang yang belum dimaafkan oleh saudaranya karena belum pernah datang memohon maaf.
4.      Berbuat Ihsan
Tahapan yang terakhir untuk memelihara silaturrahim, tidak sekedar menaham amarah atau memaafkan sesama, tetapi bagaimana seseorang dapat berbuat baik terhadap mereka yang pernah melakukan kesalahan. Itulah sebabnya mengapa Allah menutup ayat ini dengan menggunakan sesungguhnya Allah sangat menyukai orang-orang yang berbuat ihsan, karena  sifat ini merupakan sikap yang paling tinggi derajatnya, yakni setelah membuka lembaran baru, maka diisi dengan perbuatan baik.[11]









BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Silaturrahim adalah mendekatkan diri kepada orang lain setelah selama ini jauh dan menyambung kembali komunikasi setelah selama ini (komunikasi) terputus berdasarkan rasa kasih sayang di antara mereka.
Persaudaraan dalam islam digambarkan seperti satu badan, dimana saat ada anggota tubuh yang sakit, maka akan merata pula rasa sakit tersebut keseluruh anggota tubuh seperti yang tertera 
Dalam islam, kita sebagai manusia dilarang untuk memutuskan tali silaturahmi dalam sebuah hadits, Rosululloh memberi ancaman bagi seorang yang memutuskan silaturahmi tidak akan masuk syurga
“Dari Jubair bin Muth’im ra. Ia berkata : bersabda Rasulullah saw. : “Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan hubungan”.(Mutafaqun ‘alaih).

B.     Saran
Sebagai umat nabi Muhammad SAW, sudah selayaknya kita mengikuti apa yang disampaikan salah satunya adalah menjaga silaturrahim. Sering sekali kita melihat hanya karena perbedaan pendapat menjadikannya tidak tegur sapa hingga menimbulkan perpecahan diantara umat.
Seorang yang tersesat tidaklah memprihatinkan. Namun ketika seorang tersesat dan dihadapannya terdapat sebuah petunjuk adalah sangatlah menyedihkan. Miris sekali Ketika banyak kaum muslim tersesat namun dihadapan mereka terdapat petunjuk berupa Al-Qur’an dan Al-Hadits. Oleh karena itu semoga kita semua senantiasa pada jalur yang sesuai dengan petunjul Al-Qur’an dan Al-Hadits dan selalu menjaga ukhwah islamiyah


[1]) Imam An-nawawi, Syarah Shahih Muslim,Jakarta timur:Darus Sunnah, 2014. Hal 103
[2]) Ust.Masrap Suhaemi,BA, Terjemah Riadhus Shalihin, Surabaya; Mahkota, 1986. hal.210
[3]) Ibid., hal.215
[4]) Abduk Khodir Syaibah Al-Hamd , Syarah Bulughul Maram 10, Jakarta: Darul Haq, 2014. Hal 104
[5]) Ibid., hal.107
[6]) Ahmad Fauzan, Kedahsyatan Silaturrahmi, Yogyakarta: Madin Press, 2010, hal 83
[7]) Ibid., hal 91
[8]) Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak,  Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 2007. Hal 67
[9]) M.Ali Hasan, mengamalkan sunnah rasulullah, Jakarta: Prenada Media, 2003. Hal 78
[10])Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il al-Bukhori, Shahih al-Bukhori, Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1987. Hal 87