BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Perkawinan Usia Dini
Pada dasarnya, menikah
adalah sesuatu yang disunnahkan. Menikah merupakan sebuah ikatan seorang wanita
dengan seorang laki-laki dengan ucapan-ucapan tertentu (ijab dan qobul) yang
memenuhi syarat dan rukunnya. QS.Al-Hujurat: 13
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ
وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ
عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“ sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal ”.
Namun, Dalam kehidupan selalu muncul
hal-hal baru (aktual) yang berkaitan dengan permasalahan hukum pernikahan (fiqh
al-Munakahat), diantara kasus-kasus terjadi adalah kontroversi nikah muda atau
nikah dini.
Pengertian perkawinan usia dini adalah sebuah bentuk
ikatan/pernikahan yang salah satu atau kedua pasangan berusia di bawah 18
tahun. Jadi sebuah pernikahan disebut pernikahan dini, jika kedua atau salah
satu pasangan masuk berusia di bawah 18 tahun (masih berusia remaja).[1])
Hal ini telah menjadi perhatian komunitas internasional
mengingat risiko yang timbul akibat pernikahan yang dipaksakan, hubungan
seksual pada usia dini, kehamilan pada usia muda, dan infeksi penyakit menular
seksual. Kemiskinan bukanlah satu-satunya faktor penting yang berperan dalam
pernikahan usia dini, bahkan ada faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan
terjadinya perkawinan usia dini diantaranya faktor pendidikan, lingkungan,
sosial dan agama.
Hal lain yang perlu
diperhatikan yaitu risiko komplikasi yang terjadi di saat kehamilan dan saat
persalinan pada usia muda, sehingga berperan meningkatkan angka kematian ibu
dan bayi. Selain itu, pernikahan di usia dini juga dapat menyebabkan gangguan
perkembangan kepribadian dan menempatkan anak yang dilahirkan berisiko terhadap
kejadian kekerasan dan keterlantaran. Masalah pernikahan usia dini ini
merupakan kegagalan dalam perlindungan hak anak. Dengan demikian diharapkan
semua pihak termasuk dokter anak, akan meningkatkan kepedulian dalam
menghentikan praktek pernikahan usia dini.
B.
Pandangan
para ulama dan landasannya
Jumhur
fuqaha` membolehkan dan mengesahkan pernikahan dini bahkan lebih jauh lagi
membolehkan pernikahan anak-anak. Dalam hal ini Ibnu al-Mundzir seperti dikutip
oleh Ibnu Qudamah al-Maqdisi menyatakan :
قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ أَجْمَعَ
كُلُّ مَنْ نَحْفَظُ عَنْهُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ ، أَنَّ نِكَاحَ الْأَبِ
ابْنَتَهُ الْبِكْرَ الصَّغِيرَةَ جَائِزٌ ، إذَا زَوَّجَهَا مِنْ كُفْءٍ ،
وَيَجُوزُ لَهُ تَزْوِيجُهَا مَعَ كَرَاهِيَتِهَا وَامْتِنَاعِهَا
“Ibnu
al-Mundzir berkata, “ semua orang yang kami anggap ahli ilmu telah sepakat,
bahwa seorang ayah menikahkan anak gadisnya yang masih kecil hukumnya jaiz
( boleh), jika ia menikahkannya dengan pria yang sekufu, dan boleh baginya
menikahkannya walau ia tidak suka dan menolaknya ( dengan tanpa
persetujuannya)”.[2])
Landasan normatif-teologis yang menjadi dasar pembolehan dan pengesahan
pernikahan anak-anak ini di antaranya merujuk pada :
1.
At-Thalaq
ayat 4
وَاللائِي يَئِسْنَ
مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ
أَشْهُرٍ وَاللائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولاتُ الأحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ
حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
“dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa
iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang
tidak haid. …”
Cara
mengambil istinbath hukum dari ayat diatas adalah, iddah atau masa
tunggu wanita yang sudah menopause ketika dicerai adalah tiga bulan, demikian
pula wanita yang belum pernah atau sudah tidak haid lagi. Wanita yang belum
haid tidak diragukan lagi adalah wanita yang belum balighah atau
dengan perkataan lain wanita yang masih anak-anak. Dan perlu disadari bahwa
ketentuan iddah bagi wanita tentunya berkaitan dengan wanita yang sudah menikah
dan diceraikan. Ini secara tidak langsung ( mafhumnya ) , al-Qur`an
mengakui keabsahan terjadinya pernikahan wanita yang masih anak-anak. Demikian
wajah istidlal dari jumhur fuqaha`.
2.
An-Nisa : 127
قال الله
تعالى : وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ
وَمَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ فِي يَتَامَى النِّسَاءِ اللاتِي لا تُؤْتُونَهُنَّ
مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ
“Dan mereka
minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah : “Allah memberi fatwa
kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al
Qur’an tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada
mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini
mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan supaya
kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu
kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya.”
3.
Hadis
Bukhari,Muslim, Abu Dawud, Nasa`I, Baihaqi
عَنْ
عَائِشَةَ { أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَهَا
وَهِيَ بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ ، وَأُدْخِلَتْ عَلَيْهِ وَهِيَ بِنْتُ تِسْعِ
سِنِينَ وَمَكَثَتْ عِنْدَهُ تِسْعًا } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
“Dari Aisyah ra (menceritakan) bahwasannya Nabi SAW
menikahinya pada saat beliau masih anak berumur 6 tahun dan Nabi SAW
menggaulinya sebagai istri pada umur 9 tahun dan beliau tinggal bersama pada
umur 9 tahun pula” (Hadis Shohih Muttafaq ‘alaihi).[3])
Dari hadis tersebut diatas, secara sharih
menjelaskan usia Aisyah saat akad dengan Nabi SAW masih anak-anak yakni usia 6
tahun, dan diajak membina rumah tangga tatkala telah mencapai usia 9 tahun. Hal
ini dipahami sebagai sebuah kebolehan dan keabsahan pernikahan wanita yang
masih kanak-kanak.
Perkataan Aisyah ra : “Diapun ingin
menikahinya…Maka terlarang bagi wali itu untuk menikahi perempuan yatim kecuali
mampu bersikap adil pada mereka….” menunjukkan bolehnya (masyru’iyah)
pernikahan pada usia dini bagi gadis yang belum baligh. Karena pengertian yatim
itu diberkan bagi yang belum baligh
4.
Perbuatan
Sahabat
Dalam
catatan Ibnu Qudamah, ada beberapa sahabat yang menikahkan atau menikahi anak
perempuan yang masih anak-anak seperti yang diriwayatkan oleh al-Atsram :
Menurut
penuturan Ibnu Qudamah di atas, bahwasanya Qudamah bin Mazh’un menikahi anak
perempuan Zubair ketika masih kecil, terus dikatakan kepadanya, maka ia
menjawab, “ anak perempuan Zubair jika aku mati ia mewarisiku, jika aku hidup
maka ia adalah istriku”. Imam Ali Karramallahu wajhah menikahkan
putrinya Ummi Kultsum ketika masih kecil dengan Umar bin al-Khattab ra.
Dengan empat
argumen di atas, jumhur fuqaha` merasa yakin akan kebolehan menikahkan
anak-anak walaupun belum baligh.
C. Hukum Pernikahan Dini di Kalangan
Fuqaha`
Pernikahan dini, atau bahkan pernikahan anak-anak dalam pandangan jumhur
ulama hukumnya boleh dan sah dilakukan oleh ayah atau wali walau tanpa seizin
anaknya itu. Kebolehan nikah dini ini, secara implisit, juga dapat dibaca dalam
syarat-syarat calon mempelai laki-laki dan perempuan. Nyaris tak satupun
kitab-kitab fiqh yang mensyaratkan umur tertentu, kecuali hal ini baru
ditemukan dalam berbagai perundangan di berbagai negeri muslim.
Ibnu Syubrumah, Abu Bakar al-Ashamm dan Usman al-Butti menandaskan
ketidakbolehan pernikahan yang dilakukan pasangan yang masih di bawah umur atau
belum baligh. Sementara itu Ibnu Hazm menyatakan boleh menikahkan anak
perempuan yang di bawah umur, sedang bagi anak laki-laki tidak boleh dinikahkan
sampai ia baligh.
Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Muhalla mengutip pendapat Ibnu Syubrumah
sbb :
Ibnu
Syubrumah berkata, “ Seorang ayah tidak boleh menikahkan putrinya yang masih
kecil sampai ia balighah dan dimintai persetujuannya. Ibnu Syubrumah memandang
masalah pernikahan Siti ‘Aisyah sebagai khususiyah bagi Nabi SAW, seperti
kebolehan bagi Nabi menikahi wanita tanpa mahar, juga kebolehan bagi Nabi
menikah lebih dari empat”.
Imam Nawawi ra dalam syarh sahih muslimnya menjelaskan, bahwa kaum
muslimin telah berijma’ dibolehkannya menikahkan gadis yang masih
kecil/anak-anak dan jika sudah besar/balighah tidak ada khiyar
untuk fasakh baginya menurut Imam Malik dan Imam asy-Syafi’I dan seluruh
fuqaha Hijaz. Sedang fuqaha` Iraq menyatakan ia boleh melakukan khiyar jika
telah balighah.
Sungguhpun para fuqaha` klasik dan tengah pada umumnya membolehkan
pernikahan dini atau anak-anak, namun kecenderungan fuqaha` dan legislator di
masa modern ini cenderung tidak membolehkannya, atau sekurangnya membatasinya,
dengan memperhatikan berbagai faktor, apalagi kalau pernikahan anak-anak tadi
dilakukan secara paksa tanpa ridha dari anak yang mau menjalani.
Adalah sebuah ‘kemajuan’ di kalangan ulama Saudi yang selama ini dikenal
bersikap rigid dan ketat dalam berpegang pada nash, di mana mufti-mufti
besarnya sudah tidak membolehkan lagi kawin paksa termasuk bagi anak-anak,
seperti yang difatwakan oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Syaikh
Muhammad ash-Shalih al-‘Utsaimin, dan Syaikh Muhammad bin Ibrahim Ali
asy-Syaikh. [4])
D.
Pandangan
KHI dan UU Perkawinan
Beberapa ulama
memakruhkan praktik pernikahan usia dini. Makruh artinya boleh dilakukan namun
lebih baik ditinggalkan.Anak perempuan yang masih kecil belum siap secara fisik
maupun psikologis untuk memikul tugas sebagai istri dan ibu rumah
tangga,meskipun dia sudah aqil baligh atau sudah melalui masa haid.Karena itu
menikahkan anak perempuan yang masih kecil dinilai tidak maslahat bahkan bisa
menimbulkan mafsadah (kerusakan). Pertimbangan maslahat-mafsadah ini juga
diterima dalam madzab Syafii.
Dalam kontek Indonesia, kita punya
undang-undang yang mengatur penetapan usia nikah. Undang-undang itu merupakan
hasil ijtihad para ulama atau ahli fikih setempat atau kita sebut sebagai
ijtihad jama'i,yakni ijtihad yang dilakukan bersama-sama oleh ulama pada suatu
tempat dan pada suatu masa.Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menyebutkan bahwa batasminimal usia perkawinan untuk perempuan adalah 16 tahun
dan laki-laki 19 tahun.Lalu juga ada pasal lain yang menyebutkan bahwa
pernikahan di bawah usia 21 hanya bisa dilangsungkan dengan persyaratan
tambahan.Aturan mengenai usia nikah itu juga ditegaskan kembali dalam PP No 9
tahun 75 dan Instruksi Presiden No 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Salah satu prinsip yang dianut dalam
UU perkawinan di Indonesia adalah calon suami istri harus telah masak jiwa
raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan
perkawinan secara baik tanpa berpikir pada perceraian dan mendapat keturunan
yang baik dan sehat. Maka dari itu, usia pernikahan perlu ditentukan batas
minimalnya.
Di Indonesia, UU yang mengatur
masalah perkawinan adalah UU Nomor 1 Tahun 1974 yang diundangkan pada tanggal 2
Januari 1974. Ketentuan usia minimal kawin diatur dalam pasal 7 yang berbunyi :
Ayat 1 : Perkawinan hanya diizinkan
jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai
umur 16 tahun.
Ayat 2 : Dalam hal penyimpangan
terhadap ayat 1 pasal itu dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau
pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.[5])