Kamis, 14 Desember 2017

AL-AF'AL



BAB VIII
AL-AF’AL

A.    Klasifikasi Af’al Nabi (Perbuatan-Perbuatan Nabi)
1.      Perbuatan Jibillah
Jenis perbuatan yang semata-mata bersumber dari Rasulullah ini merupakan bentuk sifat kemanusiaan Nabi Saw., yang pada dasarnya tidak ada hubungannya dengan tasyri' (pembentukkan hukum) walaupun ada kemungkinan masuk ke dalam aspek qurbah (pendekatan diri kepada Tuhan) dan ibadah. Perbuatan jibillah dibagi menjadi dua bentuk:
Pertama, idhthiarary (spontanitas) yaitu perbuatan yang terjadi secara spontan seperti tarikan napas, gerakan tubuh dan anggota tubuh yang terjadi tanpa disengaja, juga dapat dimisalkan dengan perubahan wajah Nabi Saw., apabila gembira maka wajahnya berseri-seri; dan apabila dia tidak menyukai sesuatu maka kelihatan pula di wajahnya; pun dengan kesukaan dan ketidak-sukaannya terhadap sesuatu. Perbuatan yang terjadi secara spontan seperti ketidaksukaannya memakan daging biawak. Dan didapati riwayat yang menyatakan bahwa dia menyukai manisan dan madu; juga minuman yang disukainya adalah minuman manis yang dingin; makanan yang disukainya adalah roti; dan dia tidak menyukai bau hana' (Ibn al ­Qayyim, IV: 295 & 340). Semua perbuatan ini termasuk yang bersumber dari Nabi Saw. secara jibilah, tidak termasuk perintah yang harus diikuti dan/atau larangan yang harus ditinggalkan, di dalamnya tidak terdapat uswah (aspek keteladanan), karena perbuatan tersebut terjadi tanpa disengaja, maka ia tidak termasuk tuntutan taklif (pembebanan ibadah).
Kedua, ikhtiyary (diusahakan), perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan dengan kehendak dimana perbuatan tersebut merupakan tabiat kemanusiaan, seperti berdiri, duduk, makan, minum, tidur, berjalan, buang air (besar dan kecil), menghuni rumah, menggunakan pakaian dan tikar, berobat dari penyakit, mempergauli isteri dan lainnya yang termasuk perbuatan jibillah. Perbuatan semacam ini diklasifikasikan oleh para ulama antara memiliki aspek qurbah dan yang memiliki kaitan dengan ibadah. Setiap perbuatan memiliki hukum yang khusus, inilah bentuk sunnah fi'liyah -adat kebiasaan dari perbuatan Nabi Saw.- yang harus diperhatikan dalam pemahamannya sehingga layak menjadi sumber hukum untuk diterapkan.
Sebagian besar kaum awammenyimpang dari kebenaran dalam persoalan ini dan berlebihan dalam persoalan kebiasaan Nabi Saw., mereka men­justifikasinya sebgai sunnah tasyri'iyah (pembentukan hukum). Satu contoh berupa pengharusan atau minimal penganjuran orang Islam memakai sorban dan mengulurkan jambulnya. Mereka berpendapat perbuatan tersebut adalah sunnah, sementara tidak ada satu hadis shahih pun yang menyatakan keutamaan sorban. Karena Nabi Saw. memakainya berdasarkan kebiasaan kaumnya di negari yang panas layaknya semenanjung Arab. Adapun riwayat yang berasal dari Ibn Umar: Nabi Saw. apabila memakai sorban, maka mereka mengulurkan ujung sorban di antara pundaknya (Al-Tirmidziy, 1963, Kitâb al-Libâs: No. 1736). Tidak terdapat dalil yang mengindikasikan kesunnahan pemakaian sorban (Al­ Syawkany, 1327 H, II: 109).
Para ahli memberi pengecualian dari perbuatan Nabi Saw. ini dalam bentuk khusus dan senantiasa dilakukannya atau menegaskannya dengan perkataan yang mengindikasikan peralihan dari perbuatan bawaan ke aspek qurbah, seperti hadis tentang makan dengan tangan kanan, contoh lain misalnya hadis tentang pernyataan apabila dia akan minum, maka dia bernafas tiga kali dan bersabda: sesungguhnya itu lebih sedap dan lebih sehat.Di lain waktu beliau tidur atas bagian badan yang kanan, selain itu dia tidak menyukai berbaring di atas perut dan menyatakan bahwa itu adalah cara tidurnya syaitan dan hadis yang shahih yang menyatakan bahwa dia suka memulai pekerjaan dari kanan semisal dalam menggunakan sandal, berjalan dan di setiap keadaan.
Pendapat yang dipegang oleh para ahli hadis dan sekelompok ahli ushul al­fiqh (dasar-dasar fiqih) sebagaimana dikemukakan oleh Al-Syayrazy dan Al­Zarkasyi dan pendapat ini didukung oleh Al-Subkiy bahwa perbuatan itu mustahab dan nadb maka kepada umat Islam diminta untuk mencontoh Nabi Saw. dalam perbuatan tersebut (Al-Zarkasyi : II/248 & Al-Syawkany, 1327 H : 72).

2.      Perbuatan yang Berhubungan dengan Ibadah
Allah berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا  
Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab [33]: 21)

Perbuatan yang berasal dari Nabi Saw. ketika melaksanakan ibadah, sarananya, sebelum atau sesudahnya. Seperti ketika Nabi Saw. turun dengan al­ Mihshab pada malam nafar dari Mina, contoh lain ketika beliau duduk istirahat setelah rakaat pertama dan ketiga, memakai harum-haruman ketika akan ber ihram, bertumpu pada busur dan tongkat pada saat khutbah, duduk antara dua khutbah, masuk Makkah dari Kuday, masuk ke Masjid al-Haram dari pintu Bani Syaybah, wuquf di Arafah di atas unta, dan kembali dari shalat id tidak melalui jalan ketika pergi (Al-Asqalani, 1959: I/494).
Dari perbuatan Rasulullah jenis kedua ini dapat bagi menjadi beberapa bagian:
Pertama, Perbuatan yang menonjol Aspek Qurbah-nya. Di kalangan ahli fiqh dan ahli hadis, perbuatan bentuk ini terdiri dari beberapa tingkatan sesuai dengan munculnya aspek qurbah (usaha pendekatan diri kepada Tuhan) dalam perbuatan atau ketidak-munculannya, menurut kebanyakan ahli hukumnya mustshab (dianjurkan untuk mengikuti). Contohnya duduk antara dua khutbah, Nabi Saw. berbuka dengan ruthab (kurma basah) dengan jumlah ganjil, dia memindahkan serbannya dalam do'a istisqa (shalat sunat meminta hujan) dan dia menunaikan shalat di dalam Ka'bah (Ibn al-Qayyim,: II/296). Aspek ibadah dalam perbuatan di atas lebih menonjol ketimbang perbuatan bawaan.
Kedua, Perbuatan Antara Syar‟iy dan Jibilliy adalah perbuatan yang mengandung kemungkinan antara bawaan atau ibadah. Klasifikasi perbuatan ini dipersoalkan di kalangan salaf (ulama klasik). Contohnya berbaring sesudah shalat dua rakaat sunat fajar, menurut Ibn Hazm perbuatan tersebut adalah wajib. Menurut Al-Syafi'i perbuatan tersebut mustahab, sebagian sahabat semisala Ibn Mas'ud, Ibrahim al-Nakh'iy, Al-Hasan al-Bashri dan Ibn Umar berpendapat, perbuatan tersebut hukumnya makruh (dibenci).
Ketiga, Perbuatan yang menonjol aspek bawaannya, contohnya, Nabi Saw. berpaling dalam shalat dalam keadaan bahaya; dia berjalan dalam shalat ketika membuka pintu buat Aisyah; dia bersandar di tiang dalam shalat malam ketika sudah berumur tua; dia duduk pada tempat berdiri dalam shalat karena sakit dan lain sebagainya. Tidak diragukan lagi bahwa perbuatan ini tidak lebih hanya mengindikasikan kebolehan atau keringanan dalam keadaan darurat.
Keempat, Perbuatan Nabi Saw. dalam kegiatan eksperimen dan kehidupan adalah perbuatannya dalam rangka mengelola urusan kehidupan yang bersumber dari diri Nabi Saw. sendiri dan bersifat inisiatif dengan tujuan mengambil manfaat dan menolak mudharat dalam persoalan harta misalnya, badan atau tubuh dan urusan masyarakat muslim secara umum dalam perdagangan, industri dan pertanian, dan pengaturan perang serta administrasi. Perbuatan bentuk seperti manajemen urusan perang misalnya ketika Nabi Saw. merealisasikan penggunaan busur, anak panah, dan pedang; melatih kuda dan mengkandangkannya untuk perang; membuat parit; meluruskan shaf (barisan) dalam persiapan perang dan memanah tentara, dan beliau menempati tempat khusus dalam perang.
Dalam manajemen urusan negara contohnya ketika Nabi Saw. mempergunakan wali, tulisan, penjaga, hijab dan utusan, simbol dan lambang, hubungan dengan Raja Parsi (Persia) dan Rum atau Bizantium (Romawi); mengadakan perjanjian dengan orang Yahudi kemudian pengusiran mereka dari Madinah dan lainnya. Pada manajemen urusan kehidupan seperti tindakan Nabi Saw. dalam bidang perdagangan, industri, dan pertanian. Kasus yang popular tentang Nabi Saw. antara lain ta‟bir al-nakhl (penyerbukan kurma) terceermin seperti pada hadis: Riwayat dari Rafi‟ ibn Khudaij r.a., dia berkata: “Nabi Saw. tiba di al-Madinah, sementara penduduknya menyerbukkan kurma. Nabi Saw bertanya: “Apa yang kamu perbuat?” mereka menjawab: “Kami biasa melakukannya”. Nabi berkata: “Jika kamu tidak melakukannya maka itu lebih baik”. Maka mereka tidak melakukannya. Ternyata hasil perkebunan mereka tidak baik. Kemudian mereka menyampaikan permasalahan tersebut kepadanya. Maka dia menjawab: “Aku juga manusia biasa, apabila aku memerintahkan sesuatu tentang agama kamu, maka perpegangilah dan apabila aku memerintahkan sesuatu yang berasal dari pendapatku maka sesungguhnya aku juga manusia” (Muslim, 1956, Kitab al­Fadha'il: No. 2362).
Dalam riwayat lain Thalhah ibn Ubaidillah dinyatakan: Jika apa yang biasa mereka lakukan bermanfaat bagi mereka maka lakukanlah, maka sesungguhnya aku hanya menduga maka janganlah saya dihukum karena dugaan tersebut, akan tetapi jika aku menyampaikan sesuatu dari Allâh maka perpegangilah, sesungguhnya aku tidak akan pernah berdusta atas nama Allah (Muslim, 1956, Kitab al-Fadha'il: No. 2362).
Dalam bidang kedokteran dan pengobatan misalnya ketika Nabi Saw. memberikan beragam bentuk pengobatan dan obat, seperti bekam. Nabi Saw. sendiri juga pernah dibekam di bagian tengah kepalanya. Beliau dibekam karena penyakit yang dideritanya (Al-Asqalani, 1959, X:152-153).

3.      Perbuatan yang Khusus Bagi Nabi Saw
Perbuatan yang diperbolehkan buat Nabi Saw. secara khusus atau wajib baginya dan bukan untuk umatnya atau perbuatan yang haram secara khusus buatnya yang bersumber dari Nabi Saw. (Sulaiman: I/262). Menurut mayoritas ulama, riwayat yang shahih tentang perbuatan Nabi Saw. yang khusus baginya maka ia menjadi kekhususannya dan hukumnya tidak berlaku bagi tiap orang (umat Islam) (Al-Amidiy, 1332 H, I: 228; Al-Syawkaniy, 1327 H: 72; Ash­Shiddieqy, 1954: 170).
Persoalan ini berkisar pada ketetapan pengkhususan dengan dalil yang shahih kemudian dikemukakan dengan tegas. Tidak semua yang disebutkan oleh para ahli fikih dan ahli hadis tentang bab kekhususan Nabi Saw. dengan sanad yang shahih menjadi dalil kekhususannya dengan dalil yang tegas, tetapi ada yang tidak. Kebanyakan riwayat yang dikemukakan oleh Al-Suyuthi dalam kitab Al­Khasha‟is al-Kubra yang dinilai shahih sanad-nya hanya klaim pengkhususan yang tidak ada sanad-nya, seperti klaimnya bahwa terkabulnya doanya merupakan kekhususannya.
Mayoritas para ulama, seperti Imam al-Haramayn, Al-Ghazali, Ibn Subkiy, Syaikh al-Islam Zakariya al-Anshariy dan Al-Syawkaniy berpendapat bahwa, tidak dapat dinilai mengikuti Nabi Saw., apabila kita melakukan perbuatan yang khusus bagi Nabi saw., karena kebanyakan riwayat yang diriwayatkan dari Nabi Saw., beliau jelaskan yang menjadi kewajiban kita, seperti anjuran melaksanakan shalat sunat dhuha, witir dan tahajjud dengan dalil qawliy (bersumber dari perkataan), maka tidak ada alasan untuk mewajibkannya kepada kita (Al-Ghazali, 2000, II: 49; Al-Suyuthi, II: 97; Al-Syawkani, 1327 H: 72; dan Al-Juwayni, 1998, I: 326).
Ulama lain yakni, Abu Syamah membedakan antara wajib dan mubah, menurutnya tidak seorang pun yang harus mengikuti Nabi Saw. dalam perbuatan yang boleh baginya, seperti menikah lebih dari empat isteri, dan dianjurkan untuk mengikutinya dalam perbuatan yang wajib baginya, seperti shalat dhuha dan witir, dan demikian pula perbuatan yang diharamkan baginya, seperti memakan makanan yang berbau tidak sedap, maka mengikuti Nabi Saw. dalam perbuatan pertama sangat dianjurkan sementara dalam perbuatan kedua dalam rangka pensucian.
Berkaitan dengan perbuatan khusus Nabi Saw. tetapi tidak mengikat untuk yang lainnya, sekelompok guru atau ahli sufi yang “sesat” usahanya di kehidupan dunia ini mengklaim bahwa perbuatan khusus Nabi Saw. juga menjadi khusus buat mereka, dengan klaim bahwa mereka mewarisi rahasia kenabian. Wilayah ini mungkin dapat diqiyaskan pada nubuwwah. Mereka menerapkan pada murid­muridnya perbuatan yang dikhususkan buat Nabi Saw. Sebagaimana sekelompok ekstrim, mereka yang berpendapat bahwa dibolehkan ber-tabarruk dengan makanan dan minuman sisa guru, sebagaimana shahabat ber-tabarruk dengan makanan dan minuman sisa Nabi Saw. perbuatan tersebut temasuk kekhususan Nabi Saw. dan kita tidak terikat pada hal itu.
Para ulama sependapat bahwa perbuatan tersebut termasuk perbuatan khusus Nabi Saw. karena kemulian posisi kenabian dan generasi sesudahnya tidak boleh mengharuskan untuk dirinya. Para shahabat Nabi Saw. sebenarnya adalah “wali Allah”, mereka tidak ber-tabarruk dengan orang yang paling mulia di antara mereka atau mensucikan mereka. Namun lain halnya pada generasi sesudah Nabi Saw. tidak ada yang lebih utama dibanding Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Tidak terdapat riwayat dari salah seorang mereka, bahwa shahabat ber-tabarruk dengan sisa makanan dan minuman mereka. (Al-Syathibi, II: 11). Misalnya prilaku para “guru sufi”, perbuatan tersebut untuk diri mereka serta murid mereka, dan mengklaim bahwa mereka berpegang dengan lentera Nabi Saw. dan Nabi Saw. mengkhususkan mereka apa yang dikhususkan buat Nabi Saw., karena mereka adalah pewarisnya, padahal ini tidak diwariskan untuk seluruh makhluk.
Di antara mereka ada yang menjadikan diri mereka sebagai berhala yang “disembah” dari selain Allah. Dia meminta disembah oleh makhluk dan dibebankan dengan bentuk-bentuk tabarruk dan pensucian, seperti meminum air sisa cuci kakinya, duduk dengan kehinaan dan ketundukan di hadapannnya, dan menyerahkan harta yang paling berharga kepada mereka dalam rangka mendekatkan diri dan meraih ridhanya. Penulis mengingatkan pembaca untuk tidak bertawassul tanpa mengerti maksud dan tujuan yang jelas dengan mereka dan tidak layak meyakini ke-ma‟sum-an mereka, karena hal itu dalam klaim mereka termasuk mendahului mereka dan perbuatan tersebut tidak dibolehkan terhadap mereka sebagaimana tidak dibenarkan mendahului Nabi n.
Lain halnya dengan perbuatan Nabi Saw.yang menjadi penjelas urusan syar‟i, ini merupakan perbuatan Nabi Saw. yang terjadi sebagai penjelas bagi kata yang musykil (maknanya sulit) atau tafsir bagi kata yang mujmal (umum) dalam Al-Qur'an atau hadis. Para ulama mensyaratkan perbuatan tersebut diiringi dengan qarinah (tanda) yang mengindikasikan bahwa ia merupakan penjelas bukan awal (Al-Ghazaliy, 2000: 275; Al-Juwayniy, 1998, II: 322).
Dalam kitab Al-Mahshul ditegaskan bahwa qarinah dalam perbuatan tersebut ada tiga macam, yaitu: pertama, yang dapat dikenal secara langsung dari tujuannya; kedua, perkataan, atau; ketiga, dalil aqli. Caranya dengan menyebutkan kata yang mujmal, waktu dibutuhkan untuk mengamalkannya, kemudian dia melakukan perbuatan tersebut, maka perbuatan ini dapat dijadikan penjelas. (Al­Razy, III: 178).
Tentang tata cara haji bagi orang Islam pada haji wada, contoh lain bahwa Nabi Saw. memotong tangan orang yang mencuri sampai pergelangan dan mengajarkan tayammum kepada Amar ibn Yasir (Abu Dawud, 150: 311; Muslim, 2007: 368)
Perbuatan Rasulullah Saw. di atas dan yang sebentuk dengannya termasuk perbuatan yang dijelaskan Rasulullah Saw. untuk hukum yang global dalam Al-Qur'an maupun dalam sunnah. Para ulama sependapat bahwa penjelasan dalam hal ini mengikuti yang dijelaskan dalam kewajiban atau anjuran dan kebolehan (Al-Subkiy, II: 177; Al-Juwayniy, 1998, I: 322). Secara rinci, perbuatan Nabi Saw. terkadang menjadi penjelasan untuk suatu kewajiban dan berhubungan dengan bagiannya, yakni sunnah dan mandub, sebagaimana penjelasan Nabi Saw. terhadap manasik (pelaksanaan ibadah haji) haji dan shalat, tidak setiap perbuatan Nabi Saw. yang menjelaskan kewajiban itu menjadi wajib, sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Qudamah, bahwa kebanyakan perbuatan Nabi Saw. dalam shalat hukumnya sunnah tidak wajib (Ibn Qudamah, I: 553).
Menurut Al-Subkiy tentang sabda Nabi Saw tidak menunjukkan pada sesuatu yang khusus darinya, karena manasik secara umum di dalamnya terdapat perbuatan yang wajib dan mandub. Apabila hadis tersebut dijadikan hujjah untuk suatu perbuatan yang khusus maka penerapannya harus ditolak untuk yang umum, seperti berjalan-jalan cepat, idhthiba‟ dan seluruh perbuatan sunnah (Al-Asyqar, I: 297).

4.      Perbuatan Nabi Saw sebagai Hukum Bersama
Perbuatan ini dinamakan al-fi‟l al-muta‟addiy, seperti hukuman, interaksi dan pemutusan perkara di antara masyarakat yang berhubungan dengan orang lain. Para ulama seperti Abu al-Hasan al-Bashriy, Al-Zarkasyi, Al-Syawkany dan lain-lain mengkategorikannya bagian perbuatan Nabi Saw. yang berhubungan dengan orang lain semisal hukuman -hadd, ta‟zir, dan gharamah- yang diterapkan oleh Nabi Saw. terhadap seseorang dan yang menjadi sebabnya adalah kemaksiatan, contoh lain seperti Nabi Saw. mengeksekusi mati Abdullah ibn Khathal, meskipun dia memohon perlindungan dengan Ka‟bah, karena perbuatan maksiat yang mengharuskan hukuman hadd. Nabi Saw. “menghalalkan” darahnya, karena dia membunuh sahayanya, kemudian dia kembali menjadi musyrik dan memiliki dua orang -untuk berzina- penyanyi perempuan (Al­Asqalani, 2000, IV: 61).



B.     IQRAR NABI SAW
1.      Pengertian iqrar
Iqrar secara bahasa adalah mengakui. Secara istilah iqrar atau taqrir adalah Nabi saw diam (tidak mengingkari) atas sebuah perkataan atau perbuatan. Menurut sebagian pendapat, iqrar juga mencakup perbuatan yang dilakukan di depan atau di masa hidup Nabi saw dan Beliau mengetahuinya. Karena hal ini diposisikan sama dengan perbuatan Nabi saw.
. Iqrar (pengakuan) pemilik syariah atas ucapan dari seseorang, statusnya adalah sebagaimana ucapan pemilik syariah. Artinya menyamai ucapan pemilik syariat. Sedangkan iqrar pemilik syariah atas perbuatan seseorang, statusnya adalah sebagaimana perbuatan  pemilik syariah. Karena beliau terjaga dari memberi pengakuan pada seseorang atas kemunkaran. Sudah menjadi pengatahuan bersama bahwa setiap Nabi dan Rasul dijaga oleh Allah SWT dari kesalahan dan dosa (Maksum), termasuk Nabi Muhammad SAW.
Kesalahan kecil dan tidak berarti bagi kaum awam tidaklah pernah mengkhawatirkan mereka, namun bagi maqam para nabi dan rasul maka hal tersebut bisa menjadi masalah besar dalam kaitannya dengan kredibilitasnya (muru'ah). Hal itu tidak lain karena perbedaan sikap dan pandangan (maqam) dalam melihat substansi sebuah kesalahan dan perbedaan kualitas pribadi masing-masing jiwa.
Allah SWT menjaga kemaksuman Nabi Muhammad SAW secara fisik maupun non fisik. Terlahir dalam keadaan tersunat, penjagaan atas keterbukaan auratnya di mata masyarakat, terlindungi dari kemaksiyatan dan keburukan perilaku kaumnya, dan keterjagaan fisiknya terjatuh dalam kemungkaran merupakan beberapa bentuk penjagaan Allah SWT secara fisik terhadap Muhammad SAW.
Sedangkan penjagaan non fisik dianugerahkan oleh Allah SWT dalam bentuk ketundukan hawa nafsu pada bimbingan ilahi, pembersihan hatinya dari sifat tercela melalui pembedahan dadanya, dan kegemaran hatinya pada tradisi khalwat sebagai bentuk persiapan hati dan ibadah sebelum datangnya wahyu pertama.
Demikianlah Allah SWT menjaga kemaksuman nabi tercintanya, sebab kemaksuman tersebut dipersiapkan dalam rangka menerima wahyu, sehingga sesuatu yang suci harus diturunkan kepada pribadi yang suci.
Lebih dari itu, kemaksuman memberikan penegasan bahwa jika  manusia pada umumnya mendapat pengajaran dan bimbingan manusia melalui madrasah insaniyah, maka madrasah para nabi dan rasul adalah madrasah rabbaniyah, sehingga kendati mereka secara fisik sama dengan manusia pada umumnya, tetapi SDM yang terdapat di dalam tubuhnya sungguh benar-benar berbeda dengan manusia biasa.
Contoh dari iqrar-iqrar
إِقْرَارُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبَا بَكْرٍ عَلَى قَوْلِهِ بِإِعْطَاءِ سَلْبِ الْقَتِيْلِ لِقَاتِلِهِ
Artinya : “ Pengakuan nabi saw pada Abu Bakar atas pernyataannya memberikan harta salb (harta hasil lucutan) dari musuh yang terbunuh, kepada pembunuhnya.”
Contoh lain,
إِقْرَارُهُ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيْدِ عَلَى أَكْلِ الضَّبِّ
Artinya : “ Pengakuan nabi pada Khalid ibn Walid atas perbuatannya memakan hewan dhab (biawak arab). “
Keduanya diriwayatkan muttafaq alaih.
Perbuatan yang dilakukan semasa nabi saw hidup di selain majlis nabi dan nabi mengetahui serta tidak mengingkarinya, maka hukumnya seperti perbuatan yang dilakukan di majlis beliau.
Contohnya :
عِلْمِهِ بِحَلْفِ أَبِى بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ لاَ يَأْكُلُ الطَّعَامَ فِى وَقْتِ غَيْظِهِ ثُمَّ أَكَلَ لَمَّا رَأَى الْأَكْلَ خَيْرًا لَهُ
Artinya : “Mengetahuinya nabi saw tentang sumpah Abu Bakar ra untuk tidak memakan makanan saat dalam keadaan emosi, dan kemudian Abu Bakar (kembali) makan setelah menyadari bahwa makan lebih baik baginya.
Sebagaimana keterangan yang dikutip dari HR. Muslim dalam bab Ath’imah.
2.      Syarat- syarat iqrar
Syarat-syaratnya adalah sebagai berikut;
a.       Nabi saw mengetahui. Jika Nabi saw tidak mengetahuinya, maka tidak dapat menjadi hujjah.
b.      Kondisi Nabi saw mampu mengingkarinya.
c.        Orang yang diakui ucapan atau perbuatannya termasuk mereka yang tunduk dan taat syariat. Jika orang tersebut kafir atau munafiq maka iqrar tidak menunjukkan bolehnya perbuatan yang dilakukan
3.      Ikrar itu Hujjah yang terbatas
Ikrar itu adalah hujjah yang terbatas, ia tidak melampaui selain orang yang berikrar. Seandainya ia berikrar mengenai orang lain, maka ikrarnya mengenai orang lain ini tidak di perkenankan. Hal itu berada dengan bukti, karena ia menjadi hujjah yang mengenai orang lain pula.
Seandainya seorang pendakwa mendakwakan hutang pada orang lain, sedang dari sebagian mereka mengakui dan sebagian lain mengingkari, maka pengakuan ( kikrar) itu tidak mengenai kecuali terhadap orang yang mengikrarnya. Dan seandainya pendakwa mengajukan dakwaan yang demikian ini denga disertai bukti, maka bukti ini mengenai terhadap semua orang yang terdakwa


DAFTAR PUSTAKA


Abu  Bakr  Muhammad  ibn  ahmad  ibn  Abi  Sahl al-Sarakhsiy. Al-Muharrar  fi Ushul  al-Fiqh,  Hadisnya  di-takhrij  dan  di-ta‟liq  oleh  Abu  Abd  al-Rahman Shalah  ibn  Muhammad  ibn  Uwaidah,  Beirut:  Dar  al-Kutub  al-„Ilmiyah, 1996
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali. Al-Mushtashfa fi Ilm al-Ushul, Naskah di­tashhih oleh Muhammad `Abd al-salam `Abd al-Tsani, Makkah: Abbas Ahmad al-Baz, 2000.
Abu Muhammad ibn Isa ibn Surah al-Tirmidziy. Al-Jami' al-Shahih li al-Tirmizi (Sunan al-Tirmidziy). Beirut: Dar al-Fikr, 1963
Darul azka dkk. 2016. Syarah Al-Waraqat. Kediri: santri salaf press.
Dra. Siti Nurjanah. 2013. Ulum Al-Qur’an.Jakarta: Rajawali Pers.
Muhammad ibn Ali al-Syawkaniy. Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haqq min Ilm al-Ushul. Naskah di-tahqiq oleh Muhammad Hasan Muhammad Hasan Ismail al-Syafi'I, Mesir: t.t, 1327 H
Pradja, H. Juhaya S.. 2014. Ushul Fiqh Perbandingan. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Syihabuddin  Ahmad  ibn  Ali  Ibn  Hajar al-Asqalani.  Fath  al-Bariy.  Kairo: Mushthafa al-Babi al-Halabiy, 1378 H/1959 M.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar