BAB VIII
AL-AF’AL
A.
Klasifikasi Af’al Nabi (Perbuatan-Perbuatan Nabi)
1. Perbuatan Jibillah
Jenis perbuatan yang semata-mata
bersumber dari Rasulullah ini merupakan bentuk sifat kemanusiaan Nabi Saw.,
yang pada dasarnya tidak ada hubungannya dengan tasyri' (pembentukkan
hukum) walaupun ada kemungkinan masuk ke dalam aspek qurbah (pendekatan
diri kepada Tuhan) dan ibadah. Perbuatan jibillah dibagi menjadi dua
bentuk:
Pertama, idhthiarary (spontanitas) yaitu perbuatan yang terjadi secara spontan seperti tarikan
napas, gerakan tubuh dan anggota tubuh yang terjadi tanpa disengaja, juga dapat
dimisalkan dengan perubahan wajah Nabi Saw., apabila gembira maka wajahnya
berseri-seri; dan apabila dia tidak menyukai sesuatu maka kelihatan pula di wajahnya;
pun dengan kesukaan dan ketidak-sukaannya terhadap sesuatu. Perbuatan yang
terjadi secara spontan seperti ketidaksukaannya memakan daging biawak. Dan
didapati riwayat yang menyatakan bahwa dia menyukai manisan dan madu; juga
minuman yang disukainya adalah minuman manis yang dingin; makanan yang
disukainya adalah roti; dan dia tidak menyukai bau hana' (Ibn al Qayyim,
IV: 295 & 340). Semua perbuatan ini termasuk yang bersumber dari Nabi Saw.
secara jibilah, tidak termasuk perintah yang harus diikuti dan/atau
larangan yang harus ditinggalkan, di dalamnya tidak terdapat uswah (aspek
keteladanan), karena perbuatan tersebut terjadi tanpa disengaja, maka ia tidak
termasuk tuntutan taklif (pembebanan ibadah).
Kedua, ikhtiyary (diusahakan), perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan dengan kehendak
dimana perbuatan tersebut merupakan tabiat kemanusiaan, seperti berdiri, duduk,
makan, minum, tidur, berjalan, buang air (besar dan kecil), menghuni rumah,
menggunakan pakaian dan tikar, berobat dari penyakit, mempergauli isteri dan
lainnya yang termasuk perbuatan jibillah. Perbuatan semacam ini
diklasifikasikan oleh para ulama antara memiliki aspek qurbah dan yang
memiliki kaitan dengan ibadah. Setiap perbuatan memiliki hukum yang khusus,
inilah bentuk sunnah fi'liyah -adat kebiasaan dari perbuatan Nabi Saw.-
yang harus diperhatikan dalam pemahamannya sehingga layak menjadi sumber hukum
untuk diterapkan.
Sebagian besar kaum “awam” menyimpang dari kebenaran
dalam persoalan ini dan berlebihan dalam persoalan kebiasaan Nabi Saw., mereka
menjustifikasinya sebgai sunnah tasyri'iyah (pembentukan hukum).
Satu contoh berupa pengharusan atau minimal penganjuran orang Islam memakai
sorban dan mengulurkan jambulnya. Mereka berpendapat perbuatan tersebut adalah sunnah,
sementara tidak ada satu hadis shahih pun yang menyatakan keutamaan
sorban. Karena Nabi Saw. memakainya berdasarkan kebiasaan kaumnya di negari
yang panas layaknya semenanjung Arab. Adapun riwayat yang berasal dari Ibn
Umar: Nabi Saw. apabila memakai sorban, maka mereka mengulurkan ujung sorban
di antara pundaknya (Al-Tirmidziy, 1963, Kitâb al-Libâs: No. 1736). Tidak
terdapat dalil yang mengindikasikan kesunnahan pemakaian sorban (Al
Syawkany, 1327 H, II: 109).
Para ahli memberi pengecualian dari
perbuatan Nabi Saw. ini dalam bentuk khusus dan senantiasa dilakukannya atau
menegaskannya dengan perkataan yang mengindikasikan peralihan dari perbuatan
bawaan ke aspek qurbah, seperti hadis tentang makan dengan tangan kanan,
contoh lain misalnya hadis tentang pernyataan apabila dia akan minum, maka dia
bernafas tiga kali dan bersabda: sesungguhnya itu lebih sedap dan lebih
sehat.Di lain waktu beliau tidur atas bagian badan yang kanan, selain itu
dia tidak menyukai berbaring di atas perut dan menyatakan bahwa itu adalah
cara tidurnya syaitan dan hadis yang shahih yang menyatakan bahwa
dia suka memulai pekerjaan dari kanan semisal dalam menggunakan sandal,
berjalan dan di setiap keadaan.
Pendapat yang dipegang oleh para ahli
hadis dan sekelompok ahli ushul alfiqh (dasar-dasar fiqih) sebagaimana
dikemukakan oleh Al-Syayrazy dan AlZarkasyi dan pendapat ini didukung oleh
Al-Subkiy bahwa perbuatan itu mustahab dan nadb maka kepada umat
Islam diminta untuk mencontoh Nabi Saw. dalam perbuatan tersebut (Al-Zarkasyi :
II/248 & Al-Syawkany, 1327 H : 72).
2. Perbuatan yang Berhubungan dengan
Ibadah
Allah berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ
اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ
وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah. (QS.
Al-Ahzab [33]: 21)
Perbuatan yang berasal dari Nabi Saw.
ketika melaksanakan ibadah, sarananya, sebelum atau sesudahnya. Seperti ketika
Nabi Saw. turun dengan al Mihshab pada malam nafar dari Mina,
contoh lain ketika beliau duduk istirahat setelah rakaat pertama dan ketiga,
memakai harum-haruman ketika akan ber ihram, bertumpu pada busur dan
tongkat pada saat khutbah, duduk antara dua khutbah, masuk Makkah dari Kuday,
masuk ke Masjid al-Haram dari pintu Bani Syaybah, wuquf di Arafah di atas unta,
dan kembali dari shalat „id tidak melalui jalan ketika
pergi (Al-Asqalani, 1959: I/494).
Dari perbuatan Rasulullah jenis kedua
ini dapat bagi menjadi beberapa bagian:
Pertama, Perbuatan yang menonjol Aspek Qurbah-nya. Di kalangan ahli fiqh
dan ahli hadis, perbuatan bentuk ini terdiri dari beberapa tingkatan sesuai
dengan munculnya aspek qurbah (usaha pendekatan diri kepada Tuhan) dalam
perbuatan atau ketidak-munculannya, menurut kebanyakan ahli hukumnya mustshab
(dianjurkan untuk mengikuti). Contohnya duduk antara dua khutbah, Nabi Saw.
berbuka dengan ruthab (kurma basah) dengan jumlah ganjil, dia
memindahkan serbannya dalam do'a istisqa (shalat sunat meminta hujan)
dan dia menunaikan shalat di dalam Ka'bah (Ibn al-Qayyim,: II/296). Aspek
ibadah dalam perbuatan di atas lebih menonjol ketimbang perbuatan bawaan.
Kedua, Perbuatan Antara Syar‟iy
dan Jibilliy adalah perbuatan
yang mengandung kemungkinan antara bawaan atau ibadah. Klasifikasi perbuatan
ini dipersoalkan di kalangan salaf (ulama klasik). Contohnya berbaring
sesudah shalat dua rakaat sunat fajar, menurut Ibn Hazm perbuatan tersebut
adalah wajib. Menurut Al-Syafi'i perbuatan tersebut mustahab, sebagian sahabat semisala Ibn Mas'ud, Ibrahim al-Nakh'iy, Al-Hasan al-Bashri dan Ibn
Umar berpendapat, perbuatan tersebut hukumnya makruh (dibenci).
Ketiga, Perbuatan yang menonjol aspek bawaannya, contohnya, Nabi Saw. berpaling
dalam shalat dalam keadaan bahaya; dia berjalan dalam shalat ketika membuka
pintu buat Aisyah; dia bersandar di tiang dalam shalat malam ketika sudah
berumur tua; dia duduk pada tempat berdiri dalam shalat karena sakit dan lain
sebagainya. Tidak diragukan lagi bahwa perbuatan ini tidak lebih hanya
mengindikasikan kebolehan atau keringanan dalam keadaan darurat.
Keempat, Perbuatan Nabi Saw. dalam kegiatan eksperimen dan kehidupan adalah
perbuatannya dalam rangka mengelola urusan kehidupan yang bersumber dari diri
Nabi Saw. sendiri dan bersifat inisiatif dengan tujuan mengambil manfaat dan
menolak mudharat dalam persoalan harta misalnya, badan atau tubuh dan
urusan masyarakat muslim secara umum dalam perdagangan, industri dan pertanian,
dan pengaturan perang serta administrasi. Perbuatan bentuk seperti manajemen
urusan perang misalnya ketika Nabi Saw. merealisasikan penggunaan busur, anak
panah, dan pedang; melatih kuda dan mengkandangkannya untuk perang; membuat
parit; meluruskan shaf (barisan) dalam persiapan perang dan memanah
tentara, dan beliau menempati tempat khusus dalam perang.
Dalam manajemen urusan negara
contohnya ketika Nabi Saw. mempergunakan wali, tulisan, penjaga, hijab dan
utusan, simbol dan lambang, hubungan dengan Raja Parsi (Persia) dan Rum atau
Bizantium (Romawi); mengadakan perjanjian dengan orang Yahudi kemudian
pengusiran mereka dari Madinah dan lainnya. Pada manajemen urusan kehidupan
seperti tindakan Nabi Saw. dalam bidang perdagangan, industri, dan pertanian.
Kasus yang popular tentang Nabi Saw. antara lain ta‟bir al-nakhl (penyerbukan kurma) terceermin seperti pada hadis: Riwayat dari
Rafi‟ ibn Khudaij r.a., dia berkata: “Nabi Saw. tiba di al-Madinah, sementara
penduduknya menyerbukkan kurma. Nabi Saw bertanya: “Apa yang kamu perbuat?”
mereka menjawab: “Kami biasa melakukannya”. Nabi berkata: “Jika kamu tidak
melakukannya maka itu lebih baik”. Maka mereka tidak melakukannya. Ternyata
hasil perkebunan mereka tidak baik. Kemudian mereka menyampaikan permasalahan
tersebut kepadanya. Maka dia menjawab: “Aku juga manusia biasa, apabila aku
memerintahkan sesuatu tentang agama kamu, maka perpegangilah dan apabila aku
memerintahkan sesuatu yang berasal dari pendapatku maka sesungguhnya aku juga
manusia” (Muslim, 1956, Kitab alFadha'il: No. 2362).
Dalam riwayat lain Thalhah ibn
Ubaidillah dinyatakan: Jika apa yang biasa mereka lakukan bermanfaat
bagi mereka maka lakukanlah, maka sesungguhnya aku hanya menduga maka janganlah
saya dihukum karena dugaan tersebut, akan tetapi jika aku menyampaikan sesuatu
dari Allâh maka perpegangilah, sesungguhnya aku tidak akan pernah berdusta atas
nama Allah (Muslim, 1956, Kitab al-Fadha'il: No. 2362).
Dalam bidang kedokteran dan
pengobatan misalnya ketika Nabi Saw. memberikan beragam bentuk pengobatan dan
obat, seperti bekam. Nabi Saw. sendiri juga pernah dibekam di bagian tengah
kepalanya. Beliau dibekam karena penyakit yang dideritanya (Al-Asqalani, 1959,
X:152-153).
3. Perbuatan yang Khusus Bagi Nabi Saw
Perbuatan yang diperbolehkan buat
Nabi Saw. secara khusus atau wajib baginya dan bukan untuk umatnya atau
perbuatan yang haram secara khusus buatnya yang bersumber dari Nabi Saw.
(Sulaiman: I/262). Menurut mayoritas ulama, riwayat yang shahih tentang
perbuatan Nabi Saw. yang khusus baginya maka ia menjadi kekhususannya dan
hukumnya tidak berlaku bagi tiap orang (umat Islam) (Al-Amidiy, 1332 H, I: 228;
Al-Syawkaniy, 1327 H: 72; AshShiddieqy, 1954: 170).
Persoalan ini berkisar pada ketetapan
pengkhususan dengan dalil yang shahih kemudian dikemukakan dengan tegas.
Tidak semua yang disebutkan oleh para ahli fikih dan ahli hadis tentang bab
kekhususan Nabi Saw. dengan sanad yang shahih menjadi dalil
kekhususannya dengan dalil yang tegas, tetapi ada yang tidak. Kebanyakan
riwayat yang dikemukakan oleh Al-Suyuthi dalam kitab AlKhasha‟is al-Kubra yang dinilai shahih sanad-nya hanya klaim pengkhususan yang tidak
ada sanad-nya, seperti klaimnya bahwa terkabulnya doanya merupakan
kekhususannya.
Mayoritas para ulama, seperti Imam
al-Haramayn, Al-Ghazali, Ibn Subkiy, Syaikh al-Islam Zakariya al-Anshariy dan
Al-Syawkaniy berpendapat bahwa, tidak dapat dinilai mengikuti Nabi Saw.,
apabila kita melakukan perbuatan yang khusus bagi Nabi saw., karena kebanyakan
riwayat yang diriwayatkan dari Nabi Saw., beliau jelaskan yang menjadi
kewajiban kita, seperti anjuran melaksanakan shalat sunat dhuha, witir dan
tahajjud dengan dalil qawliy (bersumber dari perkataan), maka tidak ada
alasan untuk mewajibkannya kepada kita (Al-Ghazali, 2000, II: 49; Al-Suyuthi,
II: 97; Al-Syawkani, 1327 H: 72; dan Al-Juwayni, 1998, I: 326).
Ulama lain yakni, Abu Syamah
membedakan antara wajib dan mubah, menurutnya tidak seorang pun yang
harus mengikuti Nabi Saw. dalam perbuatan yang boleh baginya, seperti menikah
lebih dari empat isteri, dan dianjurkan untuk mengikutinya dalam perbuatan yang
wajib baginya, seperti shalat dhuha dan witir, dan demikian pula perbuatan yang
diharamkan baginya, seperti memakan makanan yang berbau tidak sedap, maka
mengikuti Nabi Saw. dalam perbuatan pertama sangat dianjurkan sementara dalam
perbuatan kedua dalam rangka pensucian.
Berkaitan dengan perbuatan khusus
Nabi Saw. tetapi tidak mengikat untuk yang lainnya, sekelompok guru atau ahli
sufi yang “sesat” usahanya di kehidupan dunia ini mengklaim bahwa perbuatan
khusus Nabi Saw. juga menjadi khusus buat mereka, dengan klaim bahwa mereka
mewarisi rahasia kenabian. Wilayah ini mungkin dapat diqiyaskan pada nubuwwah.
Mereka menerapkan pada muridmuridnya perbuatan yang dikhususkan buat Nabi Saw.
Sebagaimana sekelompok ekstrim, mereka yang berpendapat bahwa dibolehkan ber-tabarruk
dengan makanan dan minuman sisa guru, sebagaimana shahabat ber-tabarruk dengan
makanan dan minuman sisa Nabi Saw. perbuatan tersebut temasuk kekhususan Nabi
Saw. dan kita tidak terikat pada hal itu.
Para ulama sependapat bahwa perbuatan
tersebut termasuk perbuatan khusus Nabi Saw. karena kemulian posisi kenabian dan
generasi sesudahnya tidak boleh mengharuskan untuk dirinya. Para shahabat Nabi
Saw. sebenarnya adalah “wali Allah”, mereka tidak ber-tabarruk dengan
orang yang paling mulia di antara mereka atau mensucikan mereka. Namun lain
halnya pada generasi sesudah Nabi Saw. tidak ada yang lebih utama dibanding Abu
Bakar, Umar, Utsman dan „Ali. Tidak terdapat riwayat dari salah
seorang mereka, bahwa shahabat ber-tabarruk dengan sisa makanan dan
minuman mereka. (Al-Syathibi, II: 11). Misalnya prilaku para “guru sufi”,
perbuatan tersebut untuk diri mereka serta murid mereka, dan mengklaim bahwa
mereka berpegang dengan lentera Nabi Saw. dan Nabi Saw. mengkhususkan mereka
apa yang dikhususkan buat Nabi Saw., karena mereka adalah pewarisnya, padahal
ini tidak diwariskan untuk seluruh makhluk.
Di antara mereka ada yang menjadikan
diri mereka sebagai berhala yang “disembah” dari selain Allah. Dia meminta
disembah oleh makhluk dan dibebankan dengan bentuk-bentuk tabarruk dan
pensucian, seperti meminum air sisa cuci kakinya, duduk dengan kehinaan dan
ketundukan di hadapannnya, dan menyerahkan harta yang paling berharga kepada
mereka dalam rangka mendekatkan diri dan meraih ridhanya. Penulis
mengingatkan pembaca untuk tidak bertawassul tanpa mengerti maksud dan
tujuan yang jelas dengan mereka dan tidak layak meyakini ke-ma‟sum-an mereka, karena hal itu
dalam klaim mereka termasuk mendahului mereka dan perbuatan tersebut tidak
dibolehkan terhadap mereka sebagaimana tidak dibenarkan mendahului Nabi n.
Lain halnya dengan perbuatan Nabi
Saw.yang menjadi penjelas urusan syar‟i, ini merupakan perbuatan Nabi Saw.
yang terjadi sebagai penjelas bagi kata yang musykil (maknanya sulit)
atau tafsir bagi kata yang mujmal (umum) dalam Al-Qur'an atau hadis. Para ulama
mensyaratkan perbuatan tersebut diiringi dengan qarinah (tanda) yang
mengindikasikan bahwa ia merupakan penjelas bukan awal (Al-Ghazaliy, 2000: 275;
Al-Juwayniy, 1998, II: 322).
Dalam kitab Al-Mahshul ditegaskan
bahwa qarinah dalam perbuatan tersebut ada tiga macam, yaitu: pertama,
yang dapat dikenal secara langsung dari tujuannya; kedua, perkataan,
atau; ketiga, dalil aqli. Caranya dengan menyebutkan kata yang mujmal,
waktu dibutuhkan untuk mengamalkannya, kemudian dia melakukan perbuatan
tersebut, maka perbuatan ini dapat dijadikan penjelas. (AlRazy, III: 178).
Tentang tata cara haji bagi orang
Islam pada haji wada, contoh lain bahwa Nabi Saw. memotong tangan orang yang
mencuri sampai pergelangan dan mengajarkan tayammum kepada Amar ibn Yasir (Abu
Dawud, 150: 311; Muslim, 2007: 368)
Perbuatan Rasulullah Saw. di atas dan
yang sebentuk dengannya termasuk perbuatan yang dijelaskan Rasulullah Saw.
untuk hukum yang global dalam Al-Qur'an maupun dalam sunnah. Para ulama sependapat bahwa penjelasan
dalam hal ini mengikuti yang dijelaskan dalam kewajiban atau anjuran dan
kebolehan (Al-Subkiy, II: 177; Al-Juwayniy, 1998, I: 322). Secara rinci,
perbuatan Nabi Saw. terkadang menjadi penjelasan untuk suatu kewajiban dan
berhubungan dengan bagiannya, yakni sunnah dan mandub,
sebagaimana penjelasan Nabi Saw. terhadap manasik (pelaksanaan ibadah
haji) haji dan shalat, tidak setiap perbuatan Nabi Saw. yang menjelaskan
kewajiban itu menjadi wajib, sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Qudamah, bahwa
kebanyakan perbuatan Nabi Saw. dalam shalat hukumnya sunnah tidak wajib
(Ibn Qudamah, I: 553).
Menurut Al-Subkiy tentang sabda Nabi
Saw tidak menunjukkan pada sesuatu yang khusus darinya, karena manasik secara
umum di dalamnya terdapat perbuatan yang wajib dan mandub. Apabila hadis
tersebut dijadikan hujjah untuk suatu perbuatan yang khusus maka
penerapannya harus ditolak untuk yang umum, seperti berjalan-jalan cepat, idhthiba‟ dan seluruh perbuatan sunnah (Al-Asyqar, I: 297).
4. Perbuatan Nabi Saw sebagai Hukum
Bersama
Perbuatan ini dinamakan al-fi‟l al-muta‟addiy, seperti hukuman, interaksi dan pemutusan perkara di antara masyarakat
yang berhubungan dengan orang lain. Para ulama seperti Abu al-Hasan al-Bashriy,
Al-Zarkasyi, Al-Syawkany dan lain-lain mengkategorikannya bagian perbuatan Nabi
Saw. yang berhubungan dengan orang lain semisal hukuman -hadd, ta‟zir, dan gharamah- yang diterapkan oleh
Nabi Saw. terhadap seseorang dan yang menjadi sebabnya adalah kemaksiatan,
contoh lain seperti Nabi Saw. mengeksekusi mati Abdullah ibn Khathal, meskipun
dia memohon perlindungan dengan Ka‟bah, karena perbuatan maksiat yang
mengharuskan hukuman hadd. Nabi Saw. “menghalalkan” darahnya, karena dia
membunuh sahayanya, kemudian dia kembali menjadi musyrik dan memiliki dua orang
-untuk berzina- penyanyi perempuan (AlAsqalani, 2000, IV: 61).
B.
IQRAR
NABI SAW
1. Pengertian iqrar
Iqrar secara
bahasa adalah mengakui. Secara istilah iqrar atau taqrir adalah
Nabi saw diam (tidak mengingkari) atas sebuah perkataan atau perbuatan. Menurut
sebagian pendapat, iqrar juga mencakup perbuatan yang dilakukan di depan
atau di masa hidup Nabi saw dan Beliau mengetahuinya. Karena hal ini
diposisikan sama dengan perbuatan Nabi saw.
. Iqrar
(pengakuan) pemilik syariah atas ucapan dari seseorang, statusnya adalah
sebagaimana ucapan pemilik syariah. Artinya menyamai ucapan pemilik syariat.
Sedangkan iqrar pemilik syariah atas perbuatan seseorang, statusnya
adalah sebagaimana perbuatan pemilik syariah. Karena beliau terjaga dari
memberi pengakuan pada seseorang atas kemunkaran. Sudah menjadi pengatahuan bersama bahwa setiap Nabi dan Rasul
dijaga oleh Allah SWT dari kesalahan dan dosa (Maksum), termasuk Nabi
Muhammad SAW.
Kesalahan kecil
dan tidak berarti bagi kaum awam tidaklah pernah mengkhawatirkan mereka, namun
bagi maqam para nabi dan rasul maka hal tersebut bisa menjadi masalah besar
dalam kaitannya dengan kredibilitasnya (muru'ah). Hal itu tidak lain karena
perbedaan sikap dan pandangan (maqam) dalam melihat substansi
sebuah kesalahan dan perbedaan kualitas pribadi masing-masing jiwa.
Allah SWT
menjaga kemaksuman
Nabi Muhammad SAW secara fisik maupun non fisik. Terlahir dalam keadaan
tersunat, penjagaan atas keterbukaan auratnya di mata masyarakat, terlindungi
dari kemaksiyatan dan keburukan perilaku kaumnya, dan keterjagaan fisiknya
terjatuh dalam kemungkaran merupakan beberapa bentuk penjagaan Allah SWT secara
fisik terhadap Muhammad SAW.
Sedangkan
penjagaan non fisik dianugerahkan oleh Allah SWT dalam bentuk ketundukan hawa
nafsu pada bimbingan ilahi, pembersihan hatinya dari sifat tercela melalui
pembedahan dadanya, dan kegemaran hatinya pada tradisi khalwat sebagai bentuk
persiapan hati dan ibadah sebelum datangnya wahyu pertama.
Demikianlah
Allah SWT menjaga kemaksuman nabi tercintanya, sebab kemaksuman tersebut
dipersiapkan dalam rangka menerima wahyu, sehingga sesuatu yang suci harus
diturunkan kepada pribadi yang suci.
Lebih dari itu,
kemaksuman memberikan penegasan bahwa jika manusia pada umumnya mendapat
pengajaran dan bimbingan manusia melalui madrasah insaniyah, maka madrasah para
nabi dan rasul adalah madrasah rabbaniyah, sehingga kendati mereka secara fisik
sama dengan manusia pada umumnya, tetapi SDM yang terdapat di dalam tubuhnya
sungguh benar-benar berbeda dengan manusia biasa.
Contoh dari iqrar-iqrar
إِقْرَارُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبَا
بَكْرٍ عَلَى قَوْلِهِ بِإِعْطَاءِ سَلْبِ الْقَتِيْلِ لِقَاتِلِهِ
Artinya : “ Pengakuan nabi saw pada
Abu Bakar atas pernyataannya memberikan harta salb (harta hasil lucutan) dari
musuh yang terbunuh, kepada pembunuhnya.”
Contoh lain,
إِقْرَارُهُ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيْدِ عَلَى أَكْلِ الضَّبِّ
Artinya : “ Pengakuan nabi pada
Khalid ibn Walid atas perbuatannya memakan hewan dhab (biawak arab). “
Keduanya
diriwayatkan muttafaq alaih.
Perbuatan yang dilakukan semasa nabi saw hidup di selain majlis
nabi dan nabi mengetahui serta tidak mengingkarinya, maka hukumnya seperti
perbuatan yang dilakukan di majlis beliau.
Contohnya :
عِلْمِهِ بِحَلْفِ
أَبِى بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ لاَ يَأْكُلُ الطَّعَامَ فِى وَقْتِ
غَيْظِهِ ثُمَّ أَكَلَ لَمَّا رَأَى الْأَكْلَ خَيْرًا لَهُ
Artinya : “Mengetahuinya nabi
saw tentang sumpah Abu Bakar ra untuk tidak memakan makanan saat dalam keadaan
emosi, dan kemudian Abu Bakar (kembali) makan setelah menyadari bahwa makan
lebih baik baginya. “
Sebagaimana keterangan yang
dikutip dari HR. Muslim dalam bab Ath’imah.
2.
Syarat-
syarat iqrar
Syarat-syaratnya adalah sebagai berikut;
a. Nabi saw
mengetahui. Jika Nabi saw tidak mengetahuinya, maka tidak dapat menjadi hujjah.
b. Kondisi Nabi saw
mampu mengingkarinya.
c. Orang yang diakui ucapan atau perbuatannya termasuk mereka yang tunduk dan
taat syariat. Jika orang tersebut kafir atau munafiq maka iqrar tidak
menunjukkan bolehnya perbuatan yang dilakukan
3.
Ikrar itu
Hujjah yang terbatas
Ikrar itu adalah hujjah yang
terbatas, ia tidak melampaui selain orang yang berikrar. Seandainya ia berikrar
mengenai orang lain, maka ikrarnya mengenai orang lain ini tidak di
perkenankan. Hal itu berada dengan bukti, karena ia menjadi hujjah yang
mengenai orang lain pula.
Seandainya seorang pendakwa
mendakwakan hutang pada orang lain, sedang dari sebagian mereka mengakui dan
sebagian lain mengingkari, maka pengakuan ( kikrar) itu tidak mengenai kecuali
terhadap orang yang mengikrarnya. Dan seandainya pendakwa mengajukan dakwaan
yang demikian ini denga disertai bukti, maka bukti ini mengenai terhadap semua
orang yang terdakwa
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakr
Muhammad ibn ahmad
ibn Abi Sahl al-Sarakhsiy. Al-Muharrar fi
Ushul al-Fiqh, Hadisnya di-takhrij
dan di-ta‟liq oleh
Abu Abd al-Rahman Shalah ibn
Muhammad ibn Uwaidah,
Beirut: Dar al-Kutub
al-„Ilmiyah, 1996
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali. Al-Mushtashfa fi „Ilm
al-Ushul, Naskah ditashhih oleh Muhammad `Abd al-salam `Abd
al-Tsani, Makkah: Abbas Ahmad al-Baz, 2000.
Abu Muhammad ibn Isa ibn Surah al-Tirmidziy. Al-Jami' al-Shahih li
al-Tirmizi (Sunan al-Tirmidziy). Beirut: Dar al-Fikr, 1963
Darul azka dkk. 2016. Syarah
Al-Waraqat. Kediri: santri salaf press.
Dra. Siti Nurjanah. 2013. Ulum
Al-Qur’an.Jakarta: Rajawali Pers.
Muhammad ibn Ali al-Syawkaniy. Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haqq min „Ilm
al-Ushul. Naskah di-tahqiq oleh Muhammad Hasan Muhammad Hasan Ismail
al-Syafi'I, Mesir: t.t, 1327 H
Pradja, H. Juhaya S.. 2014. Ushul Fiqh
Perbandingan. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Syihabuddin Ahmad
ibn Ali Ibn
Hajar al-Asqalani.
Fath al-Bariy. Kairo: Mushthafa al-Babi al-Halabiy, 1378 H/1959
M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar