Kamis, 14 Desember 2017

Perkawinan Usia Dini



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Perkawinan Usia Dini
Pada dasarnya, menikah adalah sesuatu yang disunnahkan. Menikah merupakan sebuah ikatan seorang wanita dengan seorang laki-laki dengan ucapan-ucapan tertentu (ijab dan qobul) yang memenuhi syarat dan rukunnya. QS.Al-Hujurat: 13
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“ sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal ”.
Namun, Dalam kehidupan selalu muncul hal-hal baru (aktual) yang berkaitan dengan permasalahan hukum pernikahan (fiqh al-Munakahat), diantara kasus-kasus terjadi adalah kontroversi nikah muda atau nikah dini.
Pengertian perkawinan usia dini adalah sebuah bentuk ikatan/pernikahan yang salah satu atau kedua pasangan berusia di bawah 18 tahun. Jadi sebuah pernikahan disebut pernikahan dini, jika kedua atau salah satu pasangan masuk berusia di bawah 18 tahun (masih berusia remaja).[1])
Hal ini telah menjadi perhatian komunitas internasional mengingat risiko yang timbul akibat pernikahan yang dipaksakan, hubungan seksual pada usia dini, kehamilan pada usia muda, dan infeksi penyakit menular seksual. Kemiskinan bukanlah satu-satunya faktor penting yang berperan dalam pernikahan usia dini, bahkan ada faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya perkawinan usia dini diantaranya faktor pendidikan, lingkungan, sosial dan agama. 
Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu risiko komplikasi yang terjadi di saat kehamilan dan saat persalinan pada usia muda, sehingga berperan meningkatkan angka kematian ibu dan bayi. Selain itu, pernikahan di usia dini juga dapat menyebabkan gangguan perkembangan kepribadian dan menempatkan anak yang dilahirkan berisiko terhadap kejadian kekerasan dan keterlantaran. Masalah pernikahan usia dini ini merupakan kegagalan dalam perlindungan hak anak. Dengan demikian diharapkan semua pihak termasuk dokter anak, akan meningkatkan kepedulian dalam menghentikan praktek pernikahan usia dini.
B.     Pandangan para ulama dan landasannya
Jumhur fuqaha` membolehkan dan mengesahkan pernikahan dini bahkan lebih jauh lagi membolehkan pernikahan anak-anak. Dalam hal ini Ibnu al-Mundzir seperti dikutip oleh Ibnu Qudamah al-Maqdisi menyatakan :
قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ أَجْمَعَ كُلُّ مَنْ نَحْفَظُ عَنْهُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ ، أَنَّ نِكَاحَ الْأَبِ ابْنَتَهُ الْبِكْرَ الصَّغِيرَةَ جَائِزٌ ، إذَا زَوَّجَهَا مِنْ كُفْءٍ ، وَيَجُوزُ لَهُ تَزْوِيجُهَا مَعَ كَرَاهِيَتِهَا وَامْتِنَاعِهَا 
“Ibnu al-Mundzir berkata, “ semua orang yang kami anggap ahli ilmu telah sepakat, bahwa seorang ayah menikahkan anak gadisnya yang masih kecil hukumnya jaiz ( boleh), jika ia menikahkannya dengan pria yang sekufu, dan boleh baginya menikahkannya walau ia tidak suka dan menolaknya ( dengan tanpa persetujuannya)”.[2])
Landasan normatif-teologis yang menjadi dasar pembolehan dan pengesahan pernikahan anak-anak ini di antaranya merujuk pada :
1.      At-Thalaq ayat 4
وَاللائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولاتُ الأحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. …
Cara mengambil istinbath hukum dari ayat diatas adalah, iddah atau masa tunggu wanita yang sudah menopause ketika dicerai adalah tiga bulan, demikian pula wanita yang belum pernah atau sudah tidak haid lagi. Wanita yang belum haid tidak  diragukan lagi adalah wanita yang belum balighah atau dengan perkataan lain wanita yang masih anak-anak. Dan perlu disadari bahwa ketentuan iddah bagi wanita tentunya berkaitan dengan wanita yang sudah menikah dan diceraikan. Ini secara tidak langsung ( mafhumnya ) , al-Qur`an mengakui keabsahan terjadinya pernikahan wanita yang masih anak-anak. Demikian wajah istidlal dari jumhur fuqaha`.

2.      An-Nisa : 127
قال الله تعالى : وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ وَمَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ فِي يَتَامَى النِّسَاءِ اللاتِي لا تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ
“Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah : “Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Qur’an   tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa  yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka  dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan  supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya.”



3.      Hadis Bukhari,Muslim, Abu Dawud, Nasa`I, Baihaqi
عَنْ عَائِشَةَ { أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَهَا وَهِيَ بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ ، وَأُدْخِلَتْ عَلَيْهِ وَهِيَ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ وَمَكَثَتْ عِنْدَهُ تِسْعًا } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
“Dari Aisyah ra (menceritakan) bahwasannya Nabi SAW menikahinya pada saat beliau masih anak berumur 6 tahun dan Nabi SAW menggaulinya sebagai istri pada umur 9 tahun dan beliau tinggal bersama pada umur 9 tahun pula” (Hadis Shohih Muttafaq ‘alaihi).[3])
Dari hadis tersebut diatas, secara sharih menjelaskan usia Aisyah saat akad dengan Nabi SAW masih anak-anak yakni usia 6 tahun, dan diajak membina rumah tangga tatkala telah mencapai usia 9 tahun. Hal ini dipahami sebagai sebuah kebolehan dan keabsahan pernikahan wanita yang masih kanak-kanak.
Perkataan Aisyah ra : “Diapun ingin menikahinya…Maka terlarang bagi wali itu untuk menikahi perempuan yatim kecuali mampu bersikap adil pada mereka….” menunjukkan bolehnya (masyru’iyah) pernikahan pada usia dini bagi gadis yang belum baligh. Karena pengertian yatim itu diberkan bagi yang belum baligh
4.      Perbuatan Sahabat
Dalam catatan Ibnu Qudamah, ada beberapa sahabat yang menikahkan atau menikahi anak perempuan yang masih anak-anak seperti yang diriwayatkan oleh al-Atsram :
Menurut penuturan Ibnu Qudamah di atas, bahwasanya Qudamah bin Mazh’un menikahi anak perempuan Zubair ketika masih kecil, terus dikatakan kepadanya, maka ia menjawab, “ anak perempuan Zubair jika aku mati ia mewarisiku, jika aku hidup maka ia adalah istriku”. Imam Ali Karramallahu wajhah menikahkan putrinya Ummi Kultsum ketika masih kecil dengan Umar bin al-Khattab ra.
Dengan empat argumen di atas, jumhur fuqaha` merasa yakin akan kebolehan menikahkan anak-anak walaupun belum baligh.
C.    Hukum Pernikahan Dini di Kalangan Fuqaha`
Pernikahan dini, atau bahkan pernikahan anak-anak dalam pandangan jumhur ulama hukumnya boleh dan sah dilakukan oleh ayah atau wali walau tanpa seizin anaknya itu. Kebolehan nikah dini ini, secara implisit, juga dapat dibaca dalam syarat-syarat calon mempelai laki-laki dan perempuan. Nyaris tak satupun kitab-kitab fiqh yang mensyaratkan umur tertentu, kecuali hal ini baru ditemukan dalam berbagai perundangan di berbagai negeri  muslim.
Ibnu Syubrumah, Abu Bakar al-Ashamm dan Usman al-Butti menandaskan ketidakbolehan pernikahan yang dilakukan pasangan yang masih di bawah umur atau belum baligh. Sementara itu Ibnu Hazm menyatakan boleh menikahkan anak perempuan yang di bawah umur, sedang bagi anak laki-laki tidak boleh dinikahkan sampai ia baligh. 
Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Muhalla mengutip pendapat Ibnu Syubrumah sbb :
Ibnu Syubrumah berkata, “ Seorang ayah tidak boleh menikahkan putrinya yang masih kecil sampai ia balighah dan dimintai persetujuannya. Ibnu Syubrumah memandang masalah pernikahan Siti ‘Aisyah sebagai khususiyah bagi Nabi SAW, seperti kebolehan bagi Nabi menikahi wanita tanpa mahar, juga kebolehan bagi Nabi menikah lebih dari empat”.
Imam Nawawi ra dalam syarh sahih muslimnya menjelaskan, bahwa kaum muslimin telah berijma’ dibolehkannya menikahkan gadis yang masih kecil/anak-anak dan jika sudah besar/balighah tidak ada khiyar untuk fasakh baginya menurut Imam Malik dan Imam asy-Syafi’I dan seluruh fuqaha Hijaz. Sedang fuqaha`  Iraq menyatakan ia boleh melakukan khiyar jika telah balighah.
Sungguhpun para fuqaha` klasik dan tengah pada umumnya membolehkan pernikahan dini atau anak-anak, namun kecenderungan fuqaha` dan legislator di masa modern ini cenderung tidak membolehkannya, atau sekurangnya membatasinya, dengan memperhatikan berbagai faktor, apalagi kalau pernikahan anak-anak tadi dilakukan secara paksa tanpa ridha dari anak yang mau menjalani.
Adalah sebuah ‘kemajuan’ di kalangan ulama Saudi yang selama ini dikenal bersikap rigid dan ketat dalam berpegang pada nash, di mana mufti-mufti besarnya sudah tidak membolehkan lagi kawin paksa termasuk bagi anak-anak, seperti yang difatwakan oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Syaikh Muhammad ash-Shalih al-‘Utsaimin, dan Syaikh Muhammad bin Ibrahim Ali asy-Syaikh. [4])

D.    Pandangan KHI dan UU Perkawinan
Beberapa ulama memakruhkan praktik pernikahan usia dini. Makruh artinya boleh dilakukan namun lebih baik ditinggalkan.Anak perempuan yang masih kecil belum siap secara fisik maupun psikologis untuk memikul tugas sebagai istri dan ibu rumah tangga,meskipun dia sudah aqil baligh atau sudah melalui masa haid.Karena itu menikahkan anak perempuan yang masih kecil dinilai tidak maslahat bahkan bisa menimbulkan mafsadah (kerusakan). Pertimbangan maslahat-mafsadah ini juga diterima dalam madzab Syafii.
Dalam kontek Indonesia, kita punya undang-undang yang mengatur penetapan usia nikah. Undang-undang itu merupakan hasil ijtihad para ulama atau ahli fikih setempat atau kita sebut sebagai ijtihad jama'i,yakni ijtihad yang dilakukan bersama-sama oleh ulama pada suatu tempat dan pada suatu masa.Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa batasminimal usia perkawinan untuk perempuan adalah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun.Lalu juga ada pasal lain yang menyebutkan bahwa pernikahan di bawah usia 21 hanya bisa dilangsungkan dengan persyaratan tambahan.Aturan mengenai usia nikah itu juga ditegaskan kembali dalam PP No 9 tahun 75 dan Instruksi Presiden No 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Salah satu prinsip yang dianut dalam UU perkawinan di Indonesia adalah calon suami istri harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berpikir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Maka dari itu, usia pernikahan perlu ditentukan batas minimalnya.
Di Indonesia, UU yang mengatur masalah perkawinan adalah UU Nomor 1 Tahun 1974 yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974. Ketentuan usia minimal kawin diatur dalam pasal 7 yang berbunyi :
Ayat 1 : Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
Ayat 2 : Dalam hal penyimpangan terhadap ayat 1 pasal itu dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.[5])



[1]) Nugroho Kampono. Pernikahan Dini tingkatkan Resiko Kanker Servic. Semarang: Kelud Raya. 2007. Hlm 98
[2]) Moh. Thalib, Fiqh Sunnah Terjemah, Bandung : Al-Ma’arif, 1981, hlm 77
[3]) Sayuti Talib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta; UI Press, 1986. Hlm 104
[4])Prof. H. Mahmud Junus, Hukum Perkawinan Dalam Islam,Jakarta:Pustaka Mahmudiah, 1964. Hlm 82
[5]) M. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Peradilan Agama dan Perkawinan Islam, Jakarta : Hill.Co., 1984. Hlm 135

HUKUM PERNIKAHAN DAN MEMILIH



BAB III
HUKUM PERNIKAHAN DAN MEMILIH

A.    Hukum Pernikahan
1.         Wajib
Sekiranya seseorang sudah merasa mampu membiayai rumah tangga,ada keinginan untuk bekeluarga  dan takut terjerumus ke dalam perbuatan zina,maka kepada orang tersebut  di wajibkan nikah.sebab menjaga diri jatuh keadalam perbuatan haram, wajib hukumnya. Hal ini tidak terwujud, kecuali dengan jalan berumah tangga.
Menurut al-qurtubi orang yang lelah mampu dan takut pula akan merusak jiwanya dan agamanya harus bekeluarga. Apabila hasrat untuk menikah telah begitu mendesak, sedangkan biaya tidak ada atau dipandang kurang mencukupi, maka  ulatkan saja fikiran untuk menikah mudah-mudahan Allah memberi kelapangan sebagai mana firman Nya:
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ
Dan orang orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia Nya.”
Bila tidak memungkinkan juga,di sarankan memperbanyak puasa untuk mengurangi tekanan hawa nafsu demikian petuntuk yang diberikan Rasulullah. Sementara itu Allah SWT. telah menjanjikan hamba-Nya yang fakir akan kaya.
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ  إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ  وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika  mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (Pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Nur [24]: 32).
Hukum nikah menjadi wajib apabila terpenuhi empat syarat, yaitu:
a)      Ada keyakinan terjadi zina apabila tidak menikah.
b)      Tidak mampu berpuasa, atau mampu akan tetapi puasanya tidak bisa menolak terjadinya zina.
c)      Tidak mampu memiliki budak perempuan (amal) sebagai ganti dari isteri.
d)      Mampu membayar mahar dan memberi nafkah.

2.      Sunah
Sekiranya seseorang telah mampu membiayai rumah tangga dan ada juga keinginan berumah tangga, tetapi keinginan nikah itu tidak di khawatirkan mrnjerumus keperbuatan zina (haram), maka sunat baginya menikah supaya lebih tenang lagi beribadah dan berusaha. Kalau sudah mampu sebaiknya menikah, karena agama islam tidak membenarkan seseorang hidup seperti pendeta.
Hukum nikah akan menjadi sunnah apabila terpenuhi syarat-syarat berikut:
a)      Ada keinginan menikah.
b)      Memiliki biaya untuk mahar dan mampu memberi nafkah.
c)      Mampu untuk ijma’

3.      Haram
Orang yang belum mampu membiayai rumah tangga, atau diperkirakan tiadak dapat memenuhi nafkah lahir dan batin haram baginya menikah, sebab akan menyakiti wanita yang akan di nikahinya. Apabila ada tersirat niat menipu wanita itu atau menyakitinya.

4.      Makruh
Orang yang ingin menikah namun belum  dapat memenuhi hak istri. Baik  nafkah lahir ataupun batin, tetapi tidak sampai menyusahkan wanita itu.
Hukum menikah menjadi makruh apabila setelah menikah ada kehawatiran akan mencari nafkah dengan jalan haram.

5.       Mubah
Pada dasarnaya hukum nikah itu adalah mubah (boleh),karena tidak ada dorongan atau larangan untuk menikah. Hukum nikah menjadi mubah apabila tujuan menikah hanya ingin memenuhi kebutuhan syahwat saja, bukan karena hawatir akan melakukan zina.
B.     Melihat Pasangan Yang Dipilih
Bagi Laki-laki agar menahan atau membatasi pandangannya kepada wanita yang bukan mahramnya. Dasanya adalah firman Allah SWT :
قُل لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ
Katakanlah kepada orang-orang yang beriman bahwa haruslah mereka menahan pandangannya. (QS. An-Nur : 30).
Namun dalam konteks seseorang yang ingin menikah, maka memandang yang seharusnya dihindari justru diperbolehkan. Karena beralasan pada hadits :.
“Apabila salah seorang diantara kamu meminang seorang perempuan, maka tidak berhalangan atasnya untuk melihat perempuan itu. Asal saja melihatnya semata-mata untuk mencari perjodohan baik diketahui oleh perempuan itu ataupun tidak” (H.R Ahmad)
Sebagian ulama justru berpendapat bahwa hukumnya sunnah. Mereka beralasan pada hadits:
“Apabila diantara kamu meminang seseorang perempuan, sekiranya dia dapat melihat perempuan itu, hendaklah dilihatnya sehingga bertambah keinginannya pada pernikahan, maka lakukanlah” (H.R Ahmad Dan Abu Dawud)

C.    Kriteria memilih pasangan hidup
1.      Memilih Istri
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Wanita itu dinikahi karena empat hal : karena agamanya, nasabnya, hartanya dan kecantikannya. Maka perhatikanlah agamanya kamu akan selamat (HR. Bukhari, Muslim).
Yang pertama yaitu karena hartanya. Orang yang menikahi perempuan karena hartanya, maka Alloh akan melenyapkannya bersama kecantikannya
“Barang siapa menikahi seorang perempuan karena hartanya, niscaya Alloh akan melenyapkan harta dan kecantiannya. Dan barang siapa menikahi karena agamanya, niscaya Alloh akan memberi karunia kepadanyandengan harta dan kecantikannya” (Al-hadits)
Yang kedua, yaitu karena kebangsawanannya. Hal ini tidak akan memberi faedah sebagaimana yang diharapkannya, bahkan hanya akan membuatnya mendapat kehinaan
“barangsiapa menikahi seorang perempuan karena kebangsawanannya, niscaya Alloh tidak akan menambah kecuali kehinaan”
Yang ketiga, karena kecantikannya. Hal ini lebih baik karena kecantikan tidak akan hilang dengan cepat layaknya kebangsawanan atau hartanya. Asalkan ia tidak sombong akan kecantikannya
“Janganlah kamu menikahi perempuan itu karena kecantikannya, mungkin kecantikannya dapat membawa kerusakan bagi mereka sendiri. Dan janganlah kamu menikahi perempuan karena mengharap harta mereka, mungkin hartanya itu akan menyebabkan mereka sombong. Tetapi nikahilah mereka dengan  dasar agama. Dan sesungguhnya hamba sahaya yang hitam lebih baik, asal ia beragama”
Dari bererapa hal diatas menegaskan akan pentingnya aspek agama seorang wanita. Tentu saja yang dimaksud dengan sisi keagamaan bukan berhenti pada luasnya pemahaman agama saja, tetapi juga mencakup sisi kerohaniannya (ruhiyah) yang idealnya adalah tipe seorang yang punya hubungan kuat dengan Allah SWT. Secara rinci bisa dicontohkan antara lain Aqidahnya kuat, Ibadahnya rajin, Akhlaqnya mulia, Pakaiannya dan memenuhi standar busana muslimah, Menjaga kohormatan dirinya dengan tidak bercampur baur dan ikhtilath dengan lawan jenis yang bukan mahram, Tidak bepergian tanpa mahram atau pulang larut, Fasih membaca Al-Quran, Ilmu pengetahuan agamanya mendalam, Aktifitas hariannya mencerminkan wanita shalilhah, Berbakti kepada orang tuanya serta rukun dengan saudaranya, Pandai menjaga lisannya, Pandai mengatur waktunya serta selalu menjaga amanah yang diberikan kepadanya, Selalu menjaga diri dari dosa-dosa meskipun kecil, Pemahaman syariahnya tidak terbata-bata, Berhusnuzhan kepada orang lain, ramah dan simpatik.
2.      Memilih suami
Hadits mengenai calon suami memang tidak banyak ditemukan layaknya mencari calon istri. Namun, melihat kedudukan suami adalah imam dalam rumah tangga, hendaknya calon suami haruslah baik agamanya.
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita”(An-nisa 34)
BAB X
KEWAJIBAN SUAMI ISTRI

A.    Hak Suami Terhadap Istrinya
1.      Ditaati Dalam Hal Baik
2.      Dijaga Hartanya Oleh Istri Serta Istri Dapat Menjaga Dirinya Sendiri Dengan Baik.
3.      Mendapat Perlakuan Baik Berupa Tidak Bermuka Masam Kepada Suami
4.      Istri Tidak Menunjukkan Keadaan Yang Tidak Disenangi

B.     Kewajiban Suami
Kewajiban suami terhadap istri dibagi menjadi 2 :
1.      Kewajiban Suami yang bersifat kebendaan atau materiil
Kewajiban suami yang bersifat materiil meliputi kewajiban yang bersifat sekali saja dan ada yang terus menerus diberikan, kewajiban yang pertama adalah kewajiban suami untuk memberikan mahar, dimana mahar tersebut juga termasuk dalam rukun pernikahan. Hal inii didasarkan pada Firman Allah Ta'ala Surah An-Nisa : 24
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا [النساء : 24]
"Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah Telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang Telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah Mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu Telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana".
Sedangkan kewajiban yang bersifat materiil yang kedua ( yang bersifat terus menerus dan istimrar ) adalah pemberian nafkah kepada istri, dimana di sini suami wajib memberikan kebutuhan – kebutuhan baik berupa pakaian yang pantas dan dapat digunakan untuk menutup aurat bagi istri, pemberian makanan sehari – hari, tempat tinggal untuk berteduh dan juga kelengkapannya dan juga pengobatan. Hal – hal ini didasarkan pada firman Allah Ta'ala pada Surah Al-Baqarah : 233
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ [البقرة : 233]
"Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan".
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا [الطلاق : 7]
"Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan"

2.      kewajiban suami yang bersifat bukan kebendaan atau immaterial.
Kewajiban suami yang bersifat immaterial yang harus diberikan kepada istri adalah sebagai berikut : Dalam Surah An-Nisa : 19, Allah TA'ala telah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرً [النساء : 19]
"Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksaaan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang Telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak".
Azhar Basyir. Menyatakan bahwa dalam ayat ini terdapat hak – hak istri yang bersifat immaterial yang harus ditunaikan suami, atau dalam kata lain kewajiban suami yang harus ditunaikan yaitu bahwa suami harus menggauli istri dengan makruf dan bersabar dalam hal – hal yang tidak disenangi. Sedangkan menggauli istri dengan ma'ruf beliau membaginya menjadi tiga :
a.       Sikap menghargai, menghormati, dan perlakuan – perlakuan yang baik, serta meningkatkan taraf hidupnya dalam bidang – bidang agama, akhlaq, dan imu pengetahuan yang diperlukan.
b.      melindungi dan menjaga nama baik istri
c.       memenuhi kebutuuhan kodrat ( hajat ) biologis istri.
Hal – hal tersebut didasarkan pada Ayat Alqur'an Surah At-Tahrim :6
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا ..... الاية
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka".
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلَاقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ [البقرة : 223]
"Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan Ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman".
Hal – hal di atas disandarkan pula terhadap hadits – hadits sebagai berikut :
حدّثنا أبو كُرَيبٍ و موسى بن حِزامٍ قالا: حدَّثَنا حسينُ بن عليٍّ عن زائدةَ عن مَيسَرةَ الأشْجَعيِّ عن أبي حازمٍ عن أبي هريرةَ رضيَ الله عنه قال: قال رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: «استَوصوا بالنساءِ، فإِن المرأَةَ خُلقِتْ من ضِلَع، وإِن أعْوَجَ شيءٍ في الضلَع أعلاه، فإِن ذهبتَ تقيمه كَسَرْته، وإِن ترَكتَه لم يَزَل أعْوَج، فاستوصوا بالنساء».
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Bersikap baiklah kamu terhadap istri karena wawanita itu diciptakan dari tulang rusuk, sedangkan tulang rusuk yang paling bengkok adalah tulang rusuk yang paling atas, apabila kamu menginginkan untuk meluruskannya maka ia akan patah, dan apabila kamu biarkan maka akan tetap bengkok, maka bersikap baiklah kamu terhadap para istri". HR al-Bukhari (no.3261) Dari Abu Hurairah.( Dalam riwayat Muslim juga terdapat semisal itu (no.3602))
حدّثنا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ: حَدَّثَنَا مَرْوَانُ بْنُ مُعَاوِيَةَ عَنْ عُمَرَ بْنِ حَمْزَةَ الْعُمَرِيِّ. حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَـٰنِ بْنُ سَعْدٍ قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ ، يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللّهِ : «إِنَّ مِنْ أَشَرِّ النَّاسِ عِنْدَ اللّهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ، الرَّجُلَ يُفْضِي إِلَى امْرَأَتِهِ، وَتُفْضِي إِلَيْهِ ، ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا».
Rasulullah Shallallhu 'alaihi wa sallam bersabda : "Sesungguhnya orang yang termasuk paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah seorang laki – laki yang mengumpuli istrinya kemudian ia menyebarkan rahasianya". (HR. Muslim dari Abu Sa'id Al-Khudry)

C.    Hak dan Kewajiban Istri
1.      Hak Istri Terhadap Suami
Hak istri atas suami terdiri dari dua macam. Pertama hak finansial, yaitu mahar da nafkah. Kedua, hak nonfinansial, seperti hak untuk diperlukan secara adil (apabila sang suami menikahi perempuan lebih dari satu orang) dan hak untuk tidak disengsarakan.
a.       Hak Yang Bersifat Materi
                                             I.            Mahar
Islam telah melepaskan belenggu ini dari perempuan, menetapkan mahar kepadanya, dan menjadikan mahar sebagai haknya atas laki-laki. Ayahnya dan orang yang paling dekat dengannya tidak boleh mengambil sesuatu pun darinya, kecuali dengan ridha dan kehendaknya. Allah SWT berfirman:
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (Q.S An-Nisa’/4: 4)
                                          II.            Perlengkapan Rumah Tangga
Perlengkapan rumah tangga (Jihaz) dipersiapkan oleh istri dan keluarganya mempersiapkan prabotan dan melengkapi rumah dengan barang-barang. Ini merupakan salah satu cara untuk memberikan kebahagiaan kepada istrinya atas pernikahannya.
                                       III.            Nafkah
Maksud dari nafkah dalam hal ini adalah menyediakan kebutuhan istri, seperti makanan, tempat tinggal, pembantu, dan obat-obatan, meskipun dia kaya. Nafkah merupakan sesuatu yang wajib. Hal itu berdasarkan Al-Kitab, As-Sunnah, dan Ijma’. Sebagaimana Allah SWT berfirman:
Artinya: “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” (Q.S At-Thalaq/65: 6)

b.      Hak Yang Bersifat Nonmateri
I.         Mendapatkan pergaulan dengan sebaik-baiknya
Allah SWT berfirman:
Arinya: “Dan bergaullah dengan mereka secara patut.” (An-Nisa’:19)
Dan dijelaskan juga di dalam Tafsir Al-Thabari, III/282 “Wahai kaum laki-laki, berakhlaklah kepada istri-istri kalian, dan perlakukanlah mereka secara patut. Maksudnya adalah, dengan perlakuan seperti yang diperintahkan oleh Allah kepada kalian, yakni menjaga mereka dengan memberikan hak-hak mereka yang  telah diwajibkan oleh Allah  atas kalian, atau melepaskan mereka dengan cara yang baik.
II.      Perlindungan
Wajib atas suami melindungi dan menjaga istrinya dari segala sesuatu yang menodai kehormatannya, menjatuhkan harga dirinya, menghinakan kemuliaannya, dan mencoreng nama baiknya di mata manusia. Ini adalah bagaian dari kecemburuan yang disukai oleh Allah. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “ Sesungguhnya Allah bisa cemburu. Dan sesungguhnya orang mukmin bisa merasa cemburu. Kecemburuan Allah adalah ketika seorang hamba melakukan apa yang Dia diharamkan baginya.” (H.R Bukhari). 
III.   Persetubuhan dan hal-hal yang berkaitan dengannya
Dalam As-Sunnah disebutkan bahwa persetubuhan seorang laki-laki dengan istrinya adalah sedekah yang akan  diberikan balasannya oleh Allah. Raulullah SAW bersabda: “ Dan kamu mendapat pahala dalam persetubuhan dengan istrimu”.

2.      Kewajiban Istri Terhadap Suami
Di antara beberapa kewajiban seorang istri terhadap suami adalah sebagai berikut:
a.         Taat dan patuh kepada suami.
b.        Pandai mengambil hati suami melalui makanan dan minuman.
c.         Mengatur rumah dengan baik
d.        Menghormati keluarga suami
e.         Bersikap sopan, penuh senyum kepada suami.
f.         Tidak mempersulit suami, dan mendorong suami untuk maju
g.        Ridha dan syukur terhadap apa yang diberikan suami
h.        Selalu berhemat dan suka menabung
i.          Selalu berhias, bersolek untuk atau dihadapan suami
j.          Jangan selalu cemburu buta