BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia dalam hidupnya membutuhkan
berbagai macam pengetahuan. Sumber dari pengetahuan tersebut ada dua macam
yaitu Aqli dan Naqli. Sumber naqli ini merupakan pilar sebagian besar
ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh manusia. Dan sumber yang sangat otentif
bagi ummat Islam dalam hal ini adalah Al-Quran dan Hadits.
Hadits dan Sunnah, baik secara
struktural maupun fungsional disepakati oleh mayoritas kaum Muslim dari
berbagai madzhab Islam sebagai sumber ajaran Islam. karena dengan adanya hadits
dan sunnah itulah ajaran Islam menjadi jelas, rinci, dan spesifik.
Sepanjang sejarahnya, hadits-hadits yang
tercantum dalam dalam berbagai kitab hadits yang ada telah melalui proses penelitian
ilmiah yang rumit, sehingga menghasilkan kualitas hadits yang diinginkan oleh
para penghimpunnya..
Dalam penelitiannya, para ulama
hadits itu menggunakan dua pendekatan, yaitu kritik sanad dan matan, sehingga
melahirkan teori-teori yang berkaitan dengannya. Kedua pendekatan tersebut bukan
suatu yang baru dalam pendekatan studi hadits karena bila ditelusuri ke zaman
sahabat, pendekatan ini sudah digunakan.
Secara garis besar menurut kajian
muta’akhirin ilmu hadis terbagi menjadi dua, yaitu ilmu hadist Riwayah dan ilmu
hadist Dirayah.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa Pengertian
Ilmu Hadits Riwayah?
2.
Apa Klasifikasi Ilmu Hadis Riwayah?
3.
Apa Pengertian Ilmu Hadits Dirayah?
4.
Apa Kitab-Kitab Hadits Riwayah Dan
Tingkatan-Tingkatannya?
C. Tujuan
Makalah
1.
Mengetahui Pengertian
Ilmu Hadits Riwayah.
2.
Mengetahui Klasifikasi
Ilmu Hadis Riwayah.
3.
Mengetahui Pengertian
Ilmu Hadits Dirayah.
4.
Mengetahui Kitab-Kitab
Hadits Riwayah Dan Tingkatan-Tingkatannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Ilmu Hadits Riwayah
Menurut
bahasa riwayah berarti Kata riwayah artinya
periwayatan atau cerita. Ilmu hadis riwayah, secara bahasa, berarti ilmu hadis
yang berupa periwayatan.
Para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan ilmu hadis riwayah, namun yang
paling terkenal diantara definisi-definisi tersebut adalah definisi Ibnu
Al-Akhfani, yaitu ilmu hadis riwayah adalah ilmu yang membahas ucapan-ucapan
dan perbuatan-perbuatan Nabi SAW, periwayatannya, pencatatannya, dan penelitian
lafazh-lafazhnya.
Sedangkan
ilmu hadits riwayah menurut istilah sebagaimana pendapat Dr. Subhi Asshalih,
ilmu hadits riwayah adalah ilmu yang mempelajari tentang periwayatan secara
teliti dan berhati-hati bagi segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan dan sifat serta segala
segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabiin.
Menurut Ibn
al-Akfani, sebagaimana yang dikutip oleh Al-Suyuthi, bahwa yang dimaksud Ilmu
Hadis Riwayah adalah Ilmu Hadis yang khusus berhubungan dengan riwayah adalah
ilmu yang meliputi pemindahan (periwayatan) perkataan Nabi saw dan
perbuatannya, serta periwayatannya, pencatatannya, dan penguraian
lafaz-lafaznya
Ilmu hadits
Riwayah ialah ilmu yang membahas perkembangan hadits Dari segi kelakuan para
Perawinya, mengenai kekuatan hapalan dan keadilan mereka dan dari segi keadaan sanad.
Ilmu hadits riwayah ini berkisar pada bagaimana cara-cara penukilan hadits yang
dilakukan oleh para ahli hadits, bagaimana cara menyampaikan kepada orang lain
dan membukukan hadits dalam suatu kitab.[1])
Objek kajian ilmu hadits riwayah adalah segala sesuatu yang dinisbatkan
kepada Nabi SAW, sahabat, dan tabi’in, yang meliputi
1.
Cara periwayatannya
yakni cara penerimaan dan penyampaian hadis seorang periwayat (rawi) kepada
periwayat lain
2.
Cara pemeliharaan
yakni penghafalan, penulisan, dan pembukuan hadits.Ilmu hadits riwayah
bertujuan agar umat Islam menjadikan Nabi SAW sebagai suri teladan melalui
pemahaman terhadap riwayat yang berasal darinya dan mengamalkannya.Pada masa
Nabi Muhammad saw. para sahabat dilarang menulis hadits.[2])
Dengan demikian hadits hanya tersimpan dalam hafalan para sahabat. Periwayatan hadits oleh para sahabat, tabi`in dan
tabi`it tabi`in dilakukan dengan dua cara, yaitu
periwayatan dengan lafal (riwayah hi
al-lafzi); dan periwayatan dengan makna (riwayah hi al-ma`na).
1.
Periwayatan dengan
lafal (riwayah hi al-lafzi)
Adalah periwayatan
yang disampaikan sesuai dengan lafal yang diucapkan oleh Nabi Muhammad SAW..
Ciri-ciri hadits yang diriwayatkan secara lafal ini, antara lain dalam bentuk muta’ahad (sanadnya memperkuat hadits
lain yang sama sanadnya), misalnya hadits tentang adzan dan syahadat. hadits-hadits tentang doa dan tentang kalimat yang
padat dan memiliki pengertian yang mendalam (jawaami`
al-kalimah)
2.
Periwayatan dengan
makna (riwayah hi al-ma`na)
Adalah hadits yang diriwayatkan
sesuai dengan makna yang dimaksudkan oleh Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian
dari segi redaksinya ada perubahan. Sebagian besar hadits Nabi SAW diriwayatkan
dengan cara demikian. Sebab beliau memberi isyarat diperbolehkannya
meriwayatkan hadits dengan riwayah hi al-ma`na.
Syarat-syarat yang
ditetapkan dalam meriwayatkan hadits secara makna ini cukup ketat, yaitu
periwayat haruslah seorang muslim, baligh, adil, dan dhobit (cermat dan kuat).
Periwayat hadits tersebut haruslah benar-benar memahami isi dan kandungan
hadits yang dimaksud. periwayat hadits haruslah memahami secara luas
perbedaan-perbedaan lafal sinonim dalam bahasa Arab. meskipun si pelafal lupa
lafal atau redaksi hadits yang disampaikan Nabi Muhammad saw., namun harus
ingat maknanya secara tepat.[3])
Adapun
tujuan dan urgensi ilmu hadis riwayah ini adalah agar tidak lenyap dan sia-sia,
serta terhindar dari kekeliruan dan kesalahan dalam proses periwayatannya atau
dalam penulisan dan pembukuannya. Dengan demikian, hadis-hadis Nabi SAW dapat
terpelihara kemurniannya dan dapat diamalkan hukum-hukum yang terkandung
didalamnya.
Fokus
pembahasan ilmu hadist riwayah atau penekanan pembahasannya mempelajari
periwayatan yang mengakumulasi apa, siapa, dan dari siapa berita itu
diriwayatkan tanpa mempersyaratkan shahih atau tidaknya periwayatan. Dengan
demikian pembahasan ilmu hadist riwayah adalah matan yang diriwayatkan itu
sendiri karena memang perbuatan dan perkataan Rosul itu adanya pada matan.
Namun matan ini tidak mungkin muncul dengan sendirinya tanpa ada sanadnya,
bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa rukun hadist itu terdiri dari sanad dan
matan.
B. Klasifikasi Ilmu Hadis Riwayah
1.
Hadits Riwayah Bil-Lafdzi
Hadits Riwayah Bil-Lafdzi adalah
meriwayatkan hadits sesuai dengan lafadz yang mereka terima dari Nabi saw dan
mereka hafal benar lafadz dari Nabi tersebut. Atau dengan kata lain
meriwayatkan dengan lafadz yang masih asli dari Nabi saw. Riwayat hadits dengan
lafadz ini sebenarnya tidak ada persoalan, karena sahabat menerima langsung
dari Nabi baik melalui perkataan maupun perbuatan, dan pada saat itu sahabat
langsung menulis atau menghafalnya.
2.
Hadits Riwayah Bil-Ma’na
Hadits
Riwayah Bil-Ma’na adalah meriwayatkan hadits dengan maknanya saja sedangkan
redaksinya disusun sendiri oleh orang yang meriwayatkan. Atau dengan kata lain
apa yang diucapkan oleh Rasulullah hanya dipahami maksudnya saja, lalu
disampaikan oleh para sahabat dengan lafadz atau susunan redaksi mereka
sendiri. Hal ini dikarenakan para sahabat tidak sama daya ingatannya, ada yang
kuat dan ada pula yang lemah. Di samping itu kemungkinan masanya sudah lama,
sehingga yang masih ingat hanya maksudnya sementara apa yang diucapkan Nabi
sudah tidak diingatnya.
Menukil atau
meriwayatkan hadits secara makna ini hanya diperbolehkan ketikan hadits-hadits
belum terkodifikasi. Adapun hadits-hadits yang sudah terhimpun dan dibukukan
dalam kitab-kitab tertentu (seperti sekarang), tidak diperbolehkan merubahnya
dengan lafadz/matan yang lain meskipun maknanya tetap.
Adapun
contoh hadits ma’nawi adalah sebagai berikut
“Ada seorang
wanita datang menghadap Nabi saw, yang bermaksud menyerahkan dirinya (untuk
dikawin) kepada beliau. Tiba-tiba ada seorang laki-laki berkata: Ya Rasulullah,
nikahkanlah wanita tersebut kepadaku, sedangkan laki-laki tersebut tidak
memiliki sesuatu untuk dijadikan sebagai maharnya selain dia hafal sebagian
ayat-ayat Al-Qur’an. Maka Nabi saw berkata kepada laki-laki tersebut: Aku
nikahkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar (mas kawin) berupa
mengajarkan ayat Al-Qur’an.”
Dalam satu
riwayat disebutkan: “Aku kawinkan engkau
kepada wanita tersebut dengan mahar berupa (mengajarkan) ayat-ayat Al-Qur’an”. Dalam
riwayat lain disebutkan: “Aku kawinkan
engkau kepada wanita tersebut atas dasar mahar berupa (mengajarkan) ayat-ayat
Al-Qur’an”. Dan dalam riwayat lain disebutkan: “Aku jadikan wanita tersebut milik engkau dengan mahar berupa
(mengajarkan) ayat-ayat Al-Qur’an”. (Al-Hadits).[4])
C. Pengertian Ilmu Hadits Dirayah
Menurut bahasa, Dirayah berarti pengetahuan. Ilmu Hadits Dirayah juga sering
disebut-sebut sebagai pengetahuan tentang ilmu hadits atau pengantar ilmu
hadits. Ilmu hadits dirayah adalah ilmu pengetahuan tentang rawi dan yang
diriwayahkan atau sanad dan matannya baik juga berkaitan dengan pengetahuan
tentang syarat-syarat periwayahan, macam-macamnya atau hukum-hukumnya.
Ulama lain berpendapat, ilmu hadits
dirayah adalah ilmu yang dapat mengetahui keadaan sanad dan matan. Menurut imam
Assyuthi, Ilmu Hadits Dirayah adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat
periwayatan, syarat-syaratnya, macam-macamnya dan hukum-hukumnya, keadaan para
perawi, syarat-syarat mereka, macam-macam periwayatan, dan hal-hal yang
berkaitan dengannya.
Obyek atau sasaran Ilmu Hadits Dirayah adalah sanad dan matan hadits,
sehubungan dengan keshahihan, hasan, dan dha'ifnya. Kajian terhadap
masalah-masalah yang bersangkutan dengan sanad disebut naqd as-sanad (kritik sanad) atau kritik ekstern. Pokok bahasan naqd as-sanad adalah sebagai berikut:
1.
Ittishal as-sanad (persambungan sanad) .
2.
Tsiqat as-sanad, yakni sifat ‘adl (adil) , dhabit
(cermat dan kuat), tsiqah (terpercaya) yang harus dimiliki seoarang periwayat.
3.
Syadz, yakni kejanggalan yang terdapat atau bersumber
dari sanad.
4.
‘Illat, yakni cacat yang tersembunyi pada
suatu hadis yang kelihatannya baik atau sempurna.
Sedangkan
pembahasan mengenai matan adalah meliputi segi ke-shahih-an atau ke
dhaifan-nya. Hal tersebut dapat dilihat dari kesejalanannya dengan makna dan
tujuan yang terkandung didalam Al-Qur’an :
1.
Dari kejanggalan redaksi (Rakakat al-Faz).
2.
Dari cacat atau kejanggalan dari
maknanya (Fasad al-Ma’na).
3.
Dari kata-kata asing (Gharib), yaitu kata-kata yang tidak bisa
dipahami berdasarkan maknanya yang umum dikenal. [5])
Tujuan dan
urgensi Ilmu hadits Dirayah adalah untuk
mengetahui dan menetapkan hadits-hadits yang Maqbul (yang dapat diterima sebagai dalil atau untuk diamalkan) dan
yang Mardud (yang ditolak).
Dari Kedua
Ilmu Tersebut Banyak bermunculan cabang-cabang ilmu mengenai keduanya. Berikut
diantara ilmu-ilmu yang bermunculan dari berbagai ragam topik ilmu dirayah
1. Ilmu Jarah Wa Al-Ta’dil
Ilmu ini
membahas para rawi, sekiranya masalah yang membuat mereka tercela atau bersih
dalam menggunakan lafad-lafad tertentu. Ini adalah buah ilmu tersebut dan
merupakan bagian terbesarnya.
2. Ilmu
Tokoh-Tokoh Hadits
Dengan ilmu
ini dapat diketahui apakah para rawi layak menjadi perawi atau tidak. Orang
yang pertama dibidang ini adalah al-bukhari.
3. Ilmu
Mukhtalaf Al-Hadits
Ilmu ini
membahas hadits-hadits yang secara lahiriyah bertentangan, namun ada kemungkinan
dapat diterima dengan syarat. Jelasnya, umpamanya ada dua hadits yang yang
makna lahirnya bertentangan, kemudian dapat diambil jalan tengah, atau salah
satunya ada yang di utamakan. Misalnya sabda rasulullah SAW, “tiada penyakit menular ” dan sabdanya
dalam hadits lain berbunyi, “Larilah dari
penyakit kusta sebagaimana kamu lari singa”. Kedua hadits tersebut
sama-sama shahih. Lalu diterapkanlah jalan tengah bahwa sesungguhnya penyakit
tersebut tidak menular dengan sendirinya. Akan tetapi Allah SWT menjadikan
pergaulan orang yang sakit dengan yang sehat sebagai sebab penularan penyakit.
4. Ilmu
Gharib Al-Hadits
Ilmu ini
membahas tentang kesamaran makna lafad hadits. Karena telah berbaur dengan
bahasa arab pasar. Ulama yang terdahulu menyusun kitab tentang ilmu ini adalah
abu hasan al-nadru ibn syamil al-mazini, wafat pada tahun 203 H.
5. ilmu
Nasikh Wa Al-Mansukh Al-Hadits
ilmu nasikh
wa al-mansukh al-hadits adalah ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang
bertentangan yang hukumnya tidak dapat dikompromikan antara yang satu dengan
yang lain.yang datang dahulu disebut mansukh (hadits yang dihapus) dan yang
datang kemudian disebut nasikh (hadits yang menghapus).[6])
D. Kitab-Kitab Hadits Riwayah Dan
Tingkatan-Tingkatannya
1.
Kitab
Jami’
Menurut etimologinya, al-Jami’ artinya
“yang menghimpun” sehingga dapat dipahami bahwa kitab al-Jami’ adalah kitab
yang menghimpun banyak hal. Karena
itulah, menurut istilah ulama hadis, pengertian kitab al-Jami’ ada dua macam,
yaitu:
a.
Dilihat dari segi pokok kandungan
hadis yang dihimpunnya, pengertian kitab al-Jami’ adalah kitab hadis yang
disusun dan dibukukan oleh pengarangnya terhadap semua pembahasan agama. Diantaranya
masalah iman, thaharah, ibadah,
mu’amalah, pernikahan, sirah, riwayat hidup, tafsir, adab, penyucian jiwa,
fitnah dan lain sebagainya. Inilah yang
membedakan antara kitab al-jami’ dan kitab al-Musannaf. Karena hanya disusun
berdasarkan permasalahan tertentu dan umumnya adalah mengenai persoalan fikih,
sedangkan al-Jami’ lebih umum.
b.
Dilihat dari segi sumber rujukan hadis-hadis yang dihimpunnya, pengertian
kitab al-Jami’ adalah kitab yang menghimpun hadis-hadis yang berasal dari
kitab-kitab hadis yang telah ada.
Sebagai
contoh kitab al-Jami’ adalah kitab Sahih al-Bukhari (194-256 H),
kitab tersebut ia beri nama “al-Jami’ al-Musnad al-Sahih al-Mukhtasar min
umuri Rasulillahi Sallallahu ‘alaihi wa sallama wa sunanihi wa ayyamihi. kitab
tersebut dinamakan al-Jami’ karena di dalamnya mencakup masalah yang
beraneka ragam, termasuk persoalan hukum, politik, dan sebagainya.
2.
Kitab Shahih
Kitab hadist shahih ialah kitab yang berisi hadist- hadist shahih saja.
Seperti kitab hadist yang
terkenal yaitu shahih Al Bukhary dan Shahih Muslim. Shahih Al Bukhary adalah kitab yang mula- mula yang membukukan hadist-
hadist shahih. Kebanyakan ulama hadist sepakat menetapkan bahwa shahih Bukhary
itu adalah seshahih- shahih kitab sesudah Al- Qur’an.[7])
3.
Kitab
Sunan
Yang
dimaksud dengan kitab Sunan adalah kitab yang ditulis dengan mengikuti urutan
bab fiqh, seperti Iman, Thaharah, salat, zakat, dan seterusnya, dan kebanyakan
berisi hadits marfu’, sedikit dan jarang sekali memuat khabar mauquf.
a.
Sunan Abu Dawud
Penulisnya
adalah Sulaiman bin al-Asy’ats bin Ishaq bin Basyir bin Syiddad bin Amar bin
Azdi as Sijistani atau lebih dikenal dengan Abu Dawud as-Sijistani
rahimahullahu, seorang Imam dan tokoh ahli hadits dari Sijistan, Bashrah. Beliau
juga memiliki banyak karya diantaranya adalah al-Marasil, kitab
al-Qodar, an-nasikh wal Mansukh, Fadha’ilul ’Amal, Kitab az-Zuhd, Dalailun
Nubuwah, Ibtda’ul Wahyi dan Akhbarul Khowarij.
Al-Imam Abu
Dawud didalam menulis kitab ini tidak hanya memuat hadits shahih saja, namun
beliau juga memasukkan hadits hasan dan dhaif yang tidak dibuang oleh ulama
hadits. Namun, ribuan hadits yang shahih dalam Sunan Abu Dawud dinilai keabsahannya sebagai kitab hadits ketiga
setelah Shahih Bukhari dan Muslim yang dijadikan mashdar oleh kaum
muslimin dan kitab Sunan yang paling diutamakan diantara kitab sunan lainnya.
Jumlah hadits dalam Sunan Abu Dawud adalah sebanyak 4.800 hadits, sebagian
ulama menghitungnya sebanyak 5.274 hadits. Perbedaan ini dikarenakan sebagian
orang menghitung hadits yang diulang sebagai satu hadits dan sebagian lagi
menghitungnya sebagai dua hadits. Abu Dawud membagi Sunannya dalam beberapa
kitab dan tiap kitab dibagi menjadi beberapa bab. Jumlah kitab sebanyak 35 buah
diantaranya ada 3 kitab yang tidak dibagi dalam bab-bab. Sedangkan jumlah
babnya ada 1.871 bab.[8])
b.
Sunan an-Nasa’i
Penulisnya adalah Abu Abdurrahman Ahmad bin Ali bin Syu’aib bin Ali bin
Sinan al-Khurasani. Beliau adalah ulama hadits terkemuka dimasanya, seorang
yang sangat teliti dan memiliki persyaratan yang ketat didalam menerima hadits.
Beliau memiliki beberapa karya dinataranya as-Sunanul Kubra, as-Sunanus Shughra
(juga dikatakan al-Mujtaba), al-Khashaish, Fadhailus Shahabah dan
al-Manasik.
Imam Nasa’i sangat cermat didalam menyusun Sunanus Shughra ini, yang beliau tulis setelah menyusun Sunanul Kubra. Beliau berupaya hanya
menghimpun yang shahih saja didalam kitab Sunan-nya ini.
Sunan an-Nasa’i ini menghimpun sejumlah 51 kitab dan haditsnya berjumlah
5774 hadits. Adapun mengenai syarah an-Nasa’i, sesungguhnya masih sangat
sedikit sekali walaupun kitab ini sudah berumur hampir 600 tahun.
c. Sunan at-Tirmidzi
Penulisnya adalah al-Imam Abu Isa Muhammad bin Musa bin ad-Dhahhak
as-Sulami at-Turmudzi dari Tirmidz, Iran Utara. Beliau adalah seorang imam ahli
hadits yang kuat hafalannya, amanah dan teliti. Beliau memiliki beberapa
karangan diantaranya adalah Kitabul Jami’ (lebih dikenal dengan Sunan
at-Turmudzi), al-’Illat, at-Tarikh, asy-Syamail an-Nabawiyah, az-Zuhd dan
al-Asma’ wal Kuna.
d. Sunan Ibnu Majah
Penulisnya
adalah Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah ar-Rabi’i al-Qazwini dari desa
Qazwin, Iran. Beliau adalah muhaddits ulung,
mufassir dan seorang alim. Beliau memiliki beberapa karya diantaranya adalah Kitabus
Sunan, Tafsir dan Tarikh Ibnu Majah.
Beliau menyusun kitabnya dengan sistematika fikih, yang tersusun atas 32
kitab dan 1500 bab dan jumlah haditsnya sekitar 4.000 hadits. Syaikh Muhammad
Fuad Abdul Baqi menghitung ada sebanyak 4241 hadits di dalamnya. Sunan Ibnu
Majah ini berisikan hadits yang shahih, hasan, dhaif bahkan maudhu’.[9])
4.
Kitab Al-
Mushannaf
Pengertian Musannaf adalah sebuah kitab hadis yang disusun berdasarkan
bab-bab permasalahan tertentu. Misalnya saja bab-bab fikih yang mencakup
hadis-hadis marfu’, mauquf, dan maqtu’, atau didalamnya
terdapat hadis Nabi SAW, perkataan
sahabat, fatwa-fatwa tabi’in, dan terkadang fatwa tabi’ut tabi’in. Diantara kitab-kitab Musannaf tersebut adalah;
Al-Musannaf karya Imam Zaid bin Ali al
Washithi Abu Khalid (w. 72 H.). Zaid menyusun hadis Nabi berdasarkan persoalan
fikih dan hukum. Kitabnya sering dinakaman dengan musnad karena semua riwayat yang disebutkan semuanya disandarkan pada Imam Zaid,
sering pula dinamakan al-Majmu’ karena kitab tersebut mengumpulkan
hadis, perkataan dan beberapa fatwa. Hanya saja perlu diketahui bahwa semua
hadis yang terdapat di dalamnya semuanya bersumber dari jalur Zaid dari
bapaknya dari kakeknya dari Ali bin
Abi Thalib.
Al-Musannaf karya Abdurrazzaq bin Hammam
bin Nafi’ al Humairi al Shan’ani (126-211 H). Sesuai dengan namanya, kitab ini
tersusun berdasarkan bab-bab fikih sehingga ia diawali dengan pembahasan
thaharah dan seterusnya, di mana jumlahnya terdiri atas 136 bab. Di dalamnya
juga terdapat hadis shahih dan dhaif serta hadis yang memiliki kecacatan.
Al-Musannaf karya Abu Bakar Abdullah bin
Muhammad bin Abi Syaibah al-Kufi. Kitab ini termasuk kitab Syarh al-Atsar,
karena di dalamnya dicantumkan banyak hadis dan atsar shahabat. Hanya saja Ibnu
Abi Syaibah tidak terlalu selektif dalam menghimpun hadis-hadis dan atsar-atsar
shahabat. Hampir semua hadis dan atsar shahabat dimasukkan ke dalamnya, baik
yang berstatus shahih, hasan, maupun dhaif. Akan tetapi, tentu saja ia tidak
memasukkan hadis-hadis dan atsar-atsar shahabat yang jelas-jelas palsu. Kitab
ini pun disusun berdasarkan bab-bab fikih karena memang Ibnu Abi Syaibah hidup
di sebuah masa ketika fikih sedang mengalami kejayaan. Pada masa tersebut,
banyak mahdzab fikih bermunculan. Karenanya, di dalam kitabnya, ia sering
mengutip pendapat atau pernyataan para ulama mengenai persoalan tertentu, tanpa
melalui seleksi yang ketat. Sehingga di dalamnya ditemukan ada hadis dan atsar
yang berkualitas munqati’, mu’dal, ma’lul dan mursal.[10])
5.
Kitab Musnad
Menurut etimologi, musnad berarti “sesuatu yang disandarkan pada
sumbernya” Sehingga di sini dipahami bahwa kitab musnad merupakan
kumpulan hadis yang semuanya tersusun dengan sebuah sandaran tertentu.
Sedangkan menurut terminologinya, Kitab Musnad adalah sebuah kitab hadis
yang disusun berdasarkan nama perawi pertama.
Metodologi
urutan nama perawi pertama tersebut berbeda-beda sesuai dengan keinginan
penyusun setiap kitab musnad, ada yang berdasarkan menurut tertib kabilah
misalnya dengan mendahulukan Bani Hasyim kemudian kabilah-kabilah yang lebih
dekat dengan Nabi dari aspek nasab dan keturunannya. Ada yang berdasarkan nama
sahabat menurut urutan waktu dalam memeluk Islam, termasuk di antaranya adalah
Musnad Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H), di mana ia memulai menyusun kitabnya
yang diawali dengan sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga, kemudian ahlu
bait dan seterusnya. Adapula yang menyusun kitab musnad berdasarkan urutan
huruf alfabet setiap nama sahabat, termasuk di dalamnya kitab musnad yang
dikarang oleh Baqi bin Makhlad al Qurthubi (w. 276 H). Adapula yang menyusun
kitab musnad berdasarkan daerah tempat tinggal sahabat, termasuk di dalamnya
adalah Musnad al-Syamiyyin karya Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub Abu
al-Qasim al-Thabrani. Adapula yang hanya membatasi pada seoprang sahabat saja,
termasuk di antaranya adalah Musnad ‘Aisyah karya Ibnu Abi Daud, Musnad Umar bin
Khattab karya Ibn al-Najjad.
Musnad-musnad
yang terdapat dalam kitab musnad tersebut tidak hanya berisi kumpulan hadis
shahih saja, tetapi mencakup semua hadis shahih, hasan, dan dhaif, dan tidak
berurutan berdasarkan bab-bab fikih, karena urutan tersebut harus menggabungkan
musnad setiap sahabat tanpa melihat obyek pembahasan riwayatnya.
Diantara
keistimewaan yang dimiliki oleh kitab musnad adalah kitab tersebut hanya
mencakup hadis-hadis yang berasal dari nabi, artinya tidak terdapat didalamnya
perkataan sahabat atau tabi’in apalagi fatwa tabi’ut tabi’in kecuali sedikit
saja. Kedua, didalam kitab musnad
sudah tidak ada ditemukan tambahan-tambahan dari penulisnya kecuali sedikit
saja.[11])
6.
Kitab Mustadrak
Kitab Hadis yang mengumpulkan Hadis-hadis yang tidak disebutkan oleh
seseorang pengarang sebelumnya secara sengaja atau tidak. Contohnya kitab
Mustadarak al-Hakim setebal 4 jilid di mana Hadis-hadis tersebut dikumpul
menepati syarat-syarat yang digunakan oleh Bukhari dan Muslim.
Kitab ini tidak boleh dibaca begitu saja, tetapi mesti bersama dengan
takhrijnya oleh al-Zahabi. Antara contoh kitab-kitab mustadrak yang lain adalah
seperti Mustadrak Hafiz Ahmad al-Maliki. Tujuan penyusunan kitab
Mustadarak ialah: Supaya kita tidak menganggap Hadis sahih hanyalah apa
yang terkandung di dalam Sahih al-Bukhari dan Muslim sahaja.
7.
Kitab Mustakhraj
Mengumpulkan Hadis-hadis yang sama dalam satu kitab tetapi sanadnya
berlainan di mana sanadnya bertemu dengan syeikh kitab asalnya (gurunya)
seperti Hadis tentang niat. Contoh kitab Mustakhraj ialah Mustakhraj Abu ‘Awanah `Ala Sahih Muslim.
Ada juga yang hanya membawa Hadis-hadis tersebut tetapi tidak membawa
sanadnya. Beliau cuma menyebut kitab-kitab yang menyebut tentang perawinya.
Tujuannya adalah: Supaya Hadis-hadis tersebut akan lebih meyakinkan dengan
banyaknya para perawi yang meriwayatkan Hadis tersebut. Contoh lain juga ialah Mustakhraj al Sahihain:
a.
Mustakhraj atas kitab Sahih Muslim oleh Abu Ja`far bin Hamdan, Abu Bakar
al-Jauzaqi, Abi Imran Musa bin Abbas, Abi Said bin Utsman dan sebagainya.
b.
Mustkhraj atas Bukhari saja seperti karangan al-Ismaili, Abu Abdillah dan
lain-lain.
Ada juga Mustakhraj atas al-Tirmizi oleh Abi Ali al-Tusi, Mustakhraj
atas Abu Daud, Kitab al-Tauhid karangan Ibn Khuzaimah. Bagaimanapun
mereka tidak beriltizam tentang kesahihannya. Dan ada yang mentakrifkan Mustakhraj yang mana sanadnya bertemu dengan tabi`in tetapi
ada iktilaf mengenainya.[12]).
Kitab
mewarisi banyak sekali kitab hadits. Itulah warisan peninggalan islam yang
agung yang akan tetap di pelihara ileh para ulama' dan cendekiawan Muslim. Jumlah
hadis yang sangat banyak itu dihimpun dalam berbagai kitab, ditulis pada kurun
waktu yang berlainan, sehingga tidak mungkin melihat sumber yang sama. Oleh
karena itu para Ulama' membagi kitab-kitab hadis dalam beberapa tingkatan yaitu
shahih, hasan, dan dha'if.
Thabaqat
pertama terbatas hanya pada Shahih al-Bukhari dan Muslim, serta Muwatha' Malik
ibnu Anas. Disana diberikan klasifikasi hadis yang Muwatir, yang shahih ahad
dan yang hasan.
Thabaqat
kedua terdiri dari jami' Imam at-Tirmidzi, sunan Abu daud, Musnadnya Imam Ahmad
bin Hanbal, dan Mujtaba Imam Nasa;i. tingkatan tersebut tentu dibawah Shahih
Bukhari dan Muslim, serta Muwatha'. Tetapi para penulisnya menolaknya sekalipun
tidak terlepas dari kelemahan, kitab-kitab tersebut menelurkan serta
menjabarkan banyak ilmu dan hukum. Secara khusus para ahli hadis sama
berorientasi pada kedua thabaqat tersebut. Dari keduanya merekamerumuskan
dasar-dasar akidah dan syari'at.
Thabaqat
ketiga terdiri dari beberapa kitab yang mengandung banyak kelemahan, yaitu berupa
keganjilan, kemungkaran dan keragu-raguan. Disamping keadaan para tokohnya yang
tertutup. Lagi pula tidak ada upaya mengatasi semua kelemahan tadi, seperti
misalnya Musnad ibnu Aby Syaibat, Musnad At-thayali, Musnad Abdu ibnu Humaid
serta kitab-kitab Al-baihaqi lainnya. Thabaqat ketiga ini belumdapat
diorientasikan serta dijabarkan dari segi ilmu dan hokum.
Thabaqat
keempat terdiri dari karangan-karangan yang ditulis tidak dengan sungguh-sungguh,
pada abad-abad terakhir. Yaitu dari sumber cerita dari mulut ke mulut, dari
orang-orang yang senang menasehati, kaum sufi dan para sejarawan yang tidak
adil, suka membuat bid'ah dan menurut nafsu. Di dalamnya termasuk
tulisan-tulisan Ibnu Mardawih, ibnu Syahin dan Ubay Asy-Syaikh. Tentunya
thabaqat keempat ini tidak akan dijadikan sebagai pedoman oleh seseorang yang
memahami hadis Nabi, karena merupakan sumber nafsu dan bid'ah.[13])
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ilmu hadits
Riwayah ialah ilmu yang membahas perkembangan hadits Dari segi kelakuan para
Perawinya, mengenai kekuatan hapalan dan keadilan mereka dan dari segi keadaan
sanad. Objek kajian ilmu hadits riwayah adalah
segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi SAW, sahabat, dan tabi’in, yang
meliputi cara periwayatannya dan cara pemeliharaan
Periwayatan hadits oleh para sahabat, tabi`in
dan tabi`it
tabi`in dilakukan dengan dua cara, yaitu periwayatan dengan lafal (riwayah hi al-lafzi); dan periwayatan
dengan makna (riwayah hi al-ma`na).
Klasifikasi Ilmu Hadis Riwayah dibagi menjadi dua yaitu hadits riwayah
bil-lafdzi dan hadits riwayah bil-ma’na
Ilmu hadits
dirayah adalah ilmu pengetahuan tentang rawi dan yang diriwayahkan atau sanad
dan matannya baik juga berkaitan dengan pengetahuan tentang syarat-syarat
periwayahan, macam-macamnya atau hukum-hukumnya. Obyek
atau sasaran Ilmu Hadits Dirayah adalah sanad dan matan hadits, sehubungan
dengan keshahihan, hasan, dan dha'ifnya.
Kitab-Kitab
Hadits Riwayah diantaranya adalah Kitab
Jami’, Kitab Shahih, Kitab Sunan, Kitab Al- Mushannaf, Kitab Musnad dan Kitab Mustakhraj
B. Saran
Umat Islam agar kiranya
untuk lebih memahami ‘Ulumul Hadits lebih mendalam agar bertambah pula
iman kita. Dan mengamalkan ajaran-ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an dan
Al-Hadits.
DAFTAR PUSTAKA
Agus,
M. Solahudin. 2008. Ulumul Hadis.
Bandung: Pustaka Setia.
Ahmad, Muhammad. 2004. Ulumul Hadits. Bandung:Pustaka Setia.
Alfatih, M.Suryadilaga, ddk. 2010. Ulumul
Hadits, Yogyakarta: Teras.
Maslani. dan
Ratu Suntiah. 2012. Ikhisar ulumul hadits. Bandung: Sega Arsy.
Mudasir. 1999. Ilmu Hadis.
Bandung: Pustaka Setia.
Nawir,
Yuslem. 2001. Ulumul Hadits. Jakarta: Mutiara sumber widya.
Rahman, Factur. 1985. Ikhtisar
Musthalahul Hadits. Bandung:
Al-Ma’rif.
Ranuwijaya,
Utang. 1996. Ilmu Hadis . Jakarta:
Gaya Media Pratama.
Soetari, Endang. 2005. Ilmu Hadits. Bandung: Mimbar Pustaka,
Suparta, Munzier. Ilmu
Hadits. 2003. Jakarta : Raja Grafindo persada.
Syuhudi,
M. Ismail. 1987. Pengantar Ilmu Hadits. Bandung: Bandung,
Thahan,
Mahmud. 2013. Ilmu Hadits Praktis. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.
Zarkasih. 2012. Pengantar Studi Hadis.Yogyakarta:
Aswaja Presindo.
[1]) DR.Nawir Yuslem. MA, ulumul
Hadits, Jakarta: Mutiara sumber widya. 2001, hal 3
[6]) Drs.
Maslani,M.Ag. dan Ratu Suntiah,M.Ag. ikhisar ulumul hadits. Bandung:
Sega Arsy. 2012, hal 66-67
[7])
Drs. M.Agus Solahudin, M.Ag, Ulumul
Hadis, Bandung:Pustaka Setia, 2008. Hal 110
[10]) Mahmud, Thahan, Ilmu Hadits
Praktis, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2013. hal. 9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar