Selasa, 30 Mei 2017

makalah Korupsi



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilannya dalam melaksanakan pembangunan. Pembangunan sebagai suatu proses perubahan yang direncanakan mencakup semua aspek kehidupan masyarakat. Efektifitas dan keberhasilan pembangunan terutama ditentukan oleh dua faktor, yaitu sumberdaya manusia, dan pembiayaan. Diantara dua faktor tersebut yang paling dominan adalah faktor manusianya. Indonesia merupakan salah satu negara terkaya di Asia dilihat dari keanekaragaman kekayaan sumber daya alamnya. Tetapi ironisnya, negara tercinta ini dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia bukanlah merupakan sebuah negara yang kaya, namun termasuk negara yang miskin. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya kualitas sumber daya manusianya. Kualitas tersebut bukan hanya dari segi pengetahuan tetapi juga menyangkut kualitas moral dan kepribadiannya. Rapuhnya moral dan rendahnya tingkat kejujuran dari apara tpenyelenggara negara menyebabkan terjadinya korupsi.
Korupsi di Indonesia dewasa ini sudah merupakan patologi social (penyakit social) yang sangat berbahaya dan mengancam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Korupsi telah mengakibatkan kerugian keuangan negara yang sangat besar. Namun, yang lebih memprihatinkan lagi adalah terjadinya perampasan dan pengurasan keuangan negara yang dilakukan secara kolektif oleh kalangan anggota legislatif dengan dalih studi banding, uang pesangon dan lain sebagainya diluar batas kewajaran. Bentuk perampasan dan pengurasan keuangan negara demikian terjadi hampir diseluruh wilayah tanah air. Hal itu merupakan cerminan rendahnya moralitas dan rasa malu, sehingga yang menonjol adalah sikap kerakusan
Jikalau kita ingin maju, maka tidak ada pilihan lain selain memberantas korupsi. Jika  tidak berhasil memberantas korupsi, atau paling tidak mengurangi sampai pada titik nadir yang paling rendah maka jangan harap Negara ini akan mampu mengejar ketertinggalannya dibandingkan negara lain untuk menjadi sebuah negara yang maju. Karena korupsi membawa dampak negatif yang cukup luas dan dapat membawa negara kejurang kehancuran.

B.     Rumusan Masalah
1.    Apakah Pengertian Dari Korupsi? 
2.    Apa sajakah Macam-Macam Korupsi?
3.    Bagaimana Kebijakan Pemerintah Dalam Menanggapi Korupsi?
4.    Bagamana Prinsip-Prinsip Antikorupsi?
5.    Apa Yang Menjadi Sebab Terjadinya Korupsi?
6.    Apakah Dampak Negatif Korupsi?
7.    Apa Tindakan Yang Dapat Dilakukan Untuk Memberantas Korupsi?

C.    Tujuan Makalah
1.    Mengetahui Pengertian Dari Korupsi.
2.    Mengetahui Macam-Macam Korupsi.
3.    Mengetahui Kebijakan Pemerintah Dalam Menanggapi Korupsi.
4.    Mengetahui Prinsip-Prinsip Antikorupsi.
5.    Mengetahui Sebab Terjadinya Korupsi.
6.    Mengetahui Dampak Negatif Korupsi.
7.    Mengetahui Tindakan Yang Dapat Dilakukan Untuk Memberantas Korupsi.









BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Korupsi menurut Huntington (1968) adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi.
Dalam bahasa arab korupsi disebut riswah yang berarti penyuapan. Riswah juga dimaknai sebagai uang suap. Korupsi sebagai sebuah tindakan yang merusak dan berkhianat juga disebut fasad dan ghulul. Ketiga istilah ini memiliki rujukan teologis baik dalam hadis maupun Al-quran. Sementara dalam terminologis korupsi diartikan sebagai pemberian dan penerimaan suap. Defenisi korupsi ini lebih menekankan pada praktik pemberian suap atau penerimaaan suap. Dengan demikian baik yang menerima maupun memberi keduanya termasuk korupsi.
David M Chalmers menguraikan pengertian korupsi sebagai tindakan-tindakan manipulasi keuangan yang membahayakan ekonomi.
JJ Senturia dalam Encyclopedia of social sciens mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekusaan pemerintahan untuk keuntungan pribadi. Definisi ini dianggap sangat spesifik dan konvensional karena meletakan persoalan korupsi sebagai ranah pemerintah semata.
Menurut Dr. Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum. Selanjutnya, dengan merujuk definisi Huntington diatas, Heddy Shri Ahimsha-Putra (2002) menyatakan bahwa persoalan korupsi adalah persoalan politik pemaknaan.[1])
Menurut Prof. Subekti, korupsi adalah suatu tindak perdana untuk memperkaya diri yang secara langsung merugikan negara atau perekonomian negara. Jadi, unsur dalam perbuatan korupsi meliputi dua aspek. Aspek yang memperkaya diri dengan menggunakan kedudukannya dan aspek penggunaan uang negara untuk kepentingannya. Sementara itu, Syed Hussen Alatas memberi batasan bahwa korupsi merupakan suatu transaksi yang tidak jujur yang dapat menimbulkan kerugian uang, waktu, dan tenaga dari pihak lain. Korupsi dapat berupa penyuapan ( bribery ), pemerasan (extortion) dan nepotisme. Disitu ada istilah penyuapan, yaitu suatu tindakan melanggar hukum, melalui tindakan tersebut si penyuap berharap mendapat perlakuan khusus dari pihak yang disuap.
Istilah korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk tujuan pribadi. Definisi ini tidak hanya menyangkut korupsi moneter yang konvensional, akan tetapi menyangkut pula korupsi politik dan administratif. Seorang administrator yang memanfaatkan kedudukannya untuk menguras pembayaran tidak resmi dari para investor (domestik maupun asing), memakai sumber pemerintah, kedudukan, martabat, status, atau kewenangannnya yang resmi, untuk keuntungan pribadi dapat pula dikategorikan melakukan tindak korupsi.[2])

B.     Macam-macam Korupsi
Korupsi telah didefinisikan secara jelas oleh UU No 31 Tahun 1999 dan UU No 20 Tahun 2001 dalam pasal-pasalnya. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, terdapat 33 jenis tindakan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi. 33 tindakan tersebut dikategorikan kedalam 7 kelompok yakni :
1.         Korupsi yang terkait dengan merugikan keuangan Negara
2.         Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap
3.         Korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan
4.         Korupsi yang terkait dengan pemerasan
5.         Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang
6.         Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan
7.         Korupsi yang terkait dengan gratifikasi.[3])
C.    Kebijakan Pemerintah Dalam Menanggapi Korupsi
Mewujudkan keseriusan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi, Telah di keluarkan berbagai kebijakan. Di awali dengan penetapan anti korupsi sedunia oleh PBB pada tanggal 9 Desember 2004, Presiden susilo Budiyono telah mengeluarkan instruksi Presiden Nomor 5tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, yang menginstruksikan secara khusus Kepada Jaksa Agung Dan kapolri:
1.         Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan atau Penuntutan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menelamatkan uang negara.
2.         Memberikan sanksi tegas terhadap penyalah gunaan wewenang yg di lakukan oleh jaksa (Penuntut Umum)/ Anggota polri dalam rangka penegakan hukum.
3.         Meningkatkan Kerjasama antara kejaksaan dgn kepolisian Negara RI, selain denagan BPKP,PPATK,dan intitusi Negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi
Kebijakan selanjutnya adalah menetapkan Rencana aksi nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) 2004-2009. Langkah-langkah pencegahan dalam RAN-PK di prioritaskan pada :
1.      Mendesain ulang layanan publik .
2.      Memperkuat transparasi, pengawasan, dan sanksi pada kegiatan pemerintah yg berhubungan Ekonomi dan sumber daya manusia.
3.      Meningkatkan pemberdayaan perangkat-perangkat pendukung dalam pencegahan korupsi[4])

D.    Prinsip-Prinsip Antikorupsi
Prinsip-prinsip anti korupsi pada dasarnya merupakan langkah-langkah antisipatif yang harus dilakukan agar laju pergerakan korupsi dapat dibendung bahkan diberantas. Pada dasarnya Prinsip-prinsip anti korupsi terkait dengan semua objek kegiatan publik yang menuntut adanya integritas, objektivitas, kejujuran, keterbukaaan, tanggung gugat dan meletakkan kepentingan publik diatsa kepentingan individu. Dalam konteks korupsi ada beberapa prinsip yang harus ditegakkan untuk mencegah terjadinya korupsi, yaitu prinsip akuntabilitas, transparansi, kewajaran dan adanya aturan maen yang dapat membatasi ruang gerak korupsi, serat kontrol terhadap aturan maen tersebut.
1.         Akuntanbilitas
Prinsip akuntabilitas merupakan pilar penting dalam rangka mencegah terjadinya korupsi. Prinsip ini pada dasarnya dimaksudkan agar segenap kebijakan dan langkah-langkah yang  yang dijalankan sebuah lembaga dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna. Akuntabilitas mensyaratkan adanya sebuah kontrak aturan maen baik yang teraktualisasidalam bentuk konvensi maupun konstruksi, baik pada level budaya (individu dengan individu) maupun pada level lembaga.Melalui aturan maen itulah sebuah kebijakandapatdipertanggungjawabkan. Oleh kaerena itu prinsip akuntabilitas sebagai prinsip pencegahan tindak korupsi membutuhkan perangkat-perangkat pendukung, baik berupa perundang-undangan maupun dalam bebtuk komitmen dan dukungan masyarakat.
Keberadaan undang-undang maupun peraturansecara otomatis mengaharuskan adanya akuntabilitas.Hal ini berlansung pada seluruh level kelembagaan, baik pada level negara maupun komunitas tertentu. Sebagai prinsip akuntabilitas undang-undang negara juga menyebutkan adanya kewajiban ganti rugi yang diberlakukan atas mereka yang karena kelengahan itu telah merugikan negara.
2.         Transparansi
Transparansi merupakan prinsip yang mengaharuskan semua kebijakan dilakukan secara terbuka sehingga segala bentuk penyimpangan dapat diketahui oleh publik. Transparansi menjadi pintu masuk, sekaligus kontrol bagi seluruh bagi seluruh proses dinamika struktural kelembagaan seluruh sektor kehidupan publik mensyaratkan adanya transparansi sehingga tidak terjadi distorsi dan penyelewengan yang merugikan masyarakat. Dalam bentuk yang paling sederhana keterikatan interaksi antar dua individu atau lebih mengharuskan adanya keterbukaan, keterbukaan dalam konteks ini merupakan bagian dari kejujuran untuk saling menjujung kepercayaan yang terbina antar  individu. 
Sektor-sektor yang harus melibatkan masyarakat adalah sebagai berikut:
a.         Proses penganggaran yang bersifat dari bawah ke atas, mulai dari perencanaan, implementasi, laporan pertanggungjawaban dan penilaian terhadap kinerja anggran. Hal ini perlu dilakukan untuk memudahkan masyarakat melkukan kontrol terhadappengelolaan anggaran.
b.        Proses penyusunan kegiatan atau proyek
c.         Proses pembahasan tentang pembuatan rancangan peraturan yang berkaitan dengan strategi penggalangan dana.
d.        Proses tentang tata cara dan mekanisme pengelolaan proyek mulai dari proses tender, pengerjaan teknis, pelaporan finansial dan pertanggungjawaban secara teknis dari proyek yang dikerjakan oleh pimpinan proyek atau kontraktor.
3.      Fairness
Fairness merupakan salah satu Prinsip-prinsip anti korupsi yang mengedepankan kepatutan atau kewajaran. Prinsip Fairness sesungguhnya lebih ditujukan untuk mencegah terjadinnya manipulasi dalam penganggaran proyek pembangunan, baik dalam bebtuk mark up maupun ketidakwajaran kekuasaan lainnya. Jika mempelajari definisi korupsi sebelumya, maka dalam korupsi itu sendiri terdapat unsur-unsur manipulasi dan penyimpangan baik dalam bentuk anggaran, kebijkan dan lainnya. Berdasarkan kondisi tersebut, maka para perumus kebijakan pembangunan menekankan pentingnya prinsip fairness dalam proses pembangunan hingga pelaksanaanya. Haze Croall dalam bukunya White Collar Crime (kejahatan kerah putih) merumuskan kejahatan kerah putih atau koruptor sebagai kejahatan orang-orang yang menyukai cara-cara licik, menipu dan jauh dari sifat-sifat fairness.
Untuk menghindari  pelanggaran terhadap prinsip fairness, khususnya dalam proses penganggaran, diperlukan  beberapa langkah sebagai berikut:
a.         Komprehensif dan disiplin
b.        Fleksibilitas
c.         Terprediksi
d.        Kejujuran
e.         Informatif
4.      Kebijakan Anti Korupsi
Kebijakan merupak sebuah upaya untuk mengatur tata interaksi dalam ranah social. Korupsi sebagai bentuk kejahatan  luar biasa yang mengancam tata kehidupan berbagai telah memaksa setiap negara membuat undang-undang untuk mencegahnya. Korupsi sebagai bagian dari nilai-nilaiyang ada dalam diri seseorang dapat dikendalikan dan dikontrol oleh peraturan. Kebikjakan anti korupsi dapat dilihat dalam beberapa perspektif, yaitu: isi kebijkan, pembuatan kebijakan, penegakkan kebijakan, hukum kebijakan.
5.      Kontrol Kebijakan
Mengapa perlu kontrol kebijakan? Jawaban yang pasti atas pertanyaan ini adalah karena tradisi pembangunan yang dianut selama ini lebih bersifat sentralistik. Menurut David Korten lebih dari tiga dasawarsa, pembangunan diasumsikan dari pemerintah dan untuk pemerintah sendiri. Ini berarti bahwa fungsi peran, dan kewenangan pemerintah teramat dominan hingga terkesan bahwa proses kenegaraan hanya menjadi tugas pemerintah dan sama sekali tidak perlu melibatkan masyarakat seolah-olah pemerintah paling mengetahui seluk beluk kehidupan masyarakat di negarannya. Itulah sebabnya, ditengah arus demokratisasi, paradigma tersebut harus direkonstruksi sehingga tumbuh tradisi baru berupa kontrol kebijakan. Paling tidak terdapat tiga model kontrol terhadap kebijakan pemerintah, yaitu oposisi, penyempurnaan dan perubahan terhadap pemerintah. Penggunaaan tiga metode kontrol tersebut tergantung pada bentuk perumusan dan pelaksanaan kebijakanpemerintah serta pilihan politik yang hendak dibangun.[5])
.
E.     Sebab-sebab Terjadinya Korupsi
Penyebab adanya tindakan korupsi sebenarnya bervariasi dan beraneka ragam. Akan tetapi, secara umum dapatlah dirumuskan, sesuai dengan pengertian korupsi diatas yaitu bertujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi /kelompok /keluarga/ golongannya sendiri. Faktor-faktor secara umum yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan korupsi antara lain yaitu :
1.         Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberi pengaruh tingkah laku yang menjinakkan korupsi.
2.         Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika.
3.         Kolonialisme, suatu pemerintahan asing tidaklah menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi.
4.         Kurangnya pendidikan.
5.         Adanya banyak kemiskinan.
6.         Tidak adanya tindakan hukum yang tegas.
7.         Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi.
8.         Struktur pemerintahan.
9.         Perubahan radikal, suatu sistem nilai yang mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai penyakit transisional.
10.     Keadaan masyarakat yang semakin majemuk.

Dalam teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne atau sering disebut GONE Theory, bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi meliputi :
1.         Greeds (keserakahan) : berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada di dalam diri setiap orang.
2.         Opportunities (kesempatan) : berkaitan dengankeadaan organisasi atau instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan.
3.         Needs (kebutuhan) : berkaitan dengan faktor-faktor yamg dibutuhkan oleh individu-individu untuk menunjang hidupnya yang wajar.
4.         Exposures (pengungkapan) : berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan.
Menurut Komisi IV DPR-RI, terdapat tiga indikasi yang menyebabkan meluasnya korupsi di Indonesia, yaitu :
1.         Pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi.
2.         Penyalahgunaan kesempatan untuk memperkaya diri.
3.         Penyalahgunaan kekuasaan untuk memperkaya diri.[6])

F.     Dampak Negatif Korupsi
1.         Terhadap demokrasi
Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
2.         Terhadap perekonomian
a.         Korupsi dapat mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan.
b.        Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor private, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran illegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan “lapangan perniagaan”. Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
c.         Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sector publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.
3.         Terhadap kesejahteraan umum negara
Korupsi politis terdapat dibanyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah yang sering menguntungkan pemberi sogok, dibandingkan rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil. Politikus-politikus “pro-bisnis” ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.[7])
G.    Tindakan Yang Dapat Dilakukan Untuk Memberantas Korupsi
Jika korupsi dibiarkan secara terus menerus tanpa upaya menanggulanginya, maka akan terbiasa dan menjadi subur serta akan menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu mencari jalan pintas dan menghalalkan segala cara (the end justifies the means). Meskipun berbagai upaya belum tentu dapat menghilangkan korupsi, tapi paling tidak dapat menguranginya. Untuk itu, korupsi perlu ditanggulangi secara tuntas.
Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam memberantas tindak korupsi di Indonesia, antara lain sebagai berikut :
1.      Upaya Pencegahan (Preventif)
a.       Menanamkan semangat nasional yang positif dengan mengutamakan pengabdian pada bangsa dan negara melalui pendidikan formal, informal dan agama.
b.      Melakukan penerimaan pegawai berdasarkan prinsip keterampilan teknis.
c.       Para pejabat dihimbau untuk mematuhi pola hidup sederhana dan memiliki tang-gung jawab yang tinggi.
d.      Para pegawai selalu diusahakan kesejahteraan yang memadai dan ada jaminan masa tua.
e.       Menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur dan disiplin kerja yang tinggi.
f.       Sistem keuangan dikelola oleh para pejabat yang memiliki tanggung jawab tinggi dan dibarengi sistem kontrol yang efisien.
g.      Melakukan pencatatan ulang terhadap kekayaan pejabat yang mencolok.
h.      Berusaha melakukan reorganisasi dan rasionalisasi organisasi pemerintahan mela-lui penyederhanaan jumlah departemen beserta jawatan di bawahnya.

2.      Upaya Penindakan (Kuratif)
Upaya penindakan, yaitu dilakukan kepada mereka yang terbukti melanggar dengan dibe-rikan peringatan, dilakukan pemecatan tidak terhormat dan dihukum pidana. Beberapa contoh penindakan yang dilakukan oleh KPK :
a.       Dugaan korupsi dalam pengadaan Helikopter jenis MI-2 Merk Ple Rostov Rusia milik Pemda NAD (2004).
b.      Menahan Konsul Jenderal RI di Johor Baru, Malaysia, EM. Ia diduga melekukan pungutan liar dalam pengurusan dokumen keimigrasian.
c.       Dugaan korupsi dalam Proyek Program Pengadaan Busway pada Pemda DKI Jakarta (2004).
d.      Dugaan penyalahgunaan jabatan dalam pembelian tanah yang merugikan keuang-an negara Rp 10 milyar lebih (2004).
e.       Dugaan korupsi pada penyalahgunaan fasilitas preshipment dan placement deposito dari BI kepada PT Texmaco Group melalui BNI (2004).
f.       Kasus korupsi dan penyuapan anggota KPU kepada tim audit BPK (2005).
g.      Kasus penyuapan panitera Pengadilan Tinggi Jakarta (2005).
h.      Kasus penyuapan Hakim Agung MA dalam perkara Probosutedjo.
i.        Menetapkan seorang bupati di Kalimantan Timur sebagai tersangka dalam kasus korupsi Bandara Loa Kolu yang diperkirakan merugikan negara sebesar Rp 15,9 miliar (2004).
j.        Kasus korupsi di KBRI Malaysia (2005).

3.      Upaya Edukasi Masyarakat/Mahasiswa
a.       Memiliki tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial terkait dengan kepentingan publik.
b.      Tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh.
c.       Melakukan kontrol sosial pada setiap kebijakan mulai dari pemerintahan desa hingga ke tingkat pusat/nasional.
d.      Membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang penyelenggaraan peme-rintahan negara dan aspek-aspek hukumnya.
e.       Mampu memposisikan diri sebagai subjek pembangunan dan berperan aktif dalam setiap pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat luas
.
4.      Upaya Edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)
a.       Indonesia Corruption Watch (ICW) adalah organisasi non-pemerintah yang meng-awasi dan melaporkan kepada publik mengenai korupsi di Indonesia dan terdiri dari sekumpulan orang yang memiliki komitmen untuk memberantas korupsi me-lalui usaha pemberdayaan rakyat untuk terlibat melawan praktik korupsi. ICW berdiri di Jakarta pada tanggal 21 Juni 1998 ditengah-tengah gerakan reformasi yang meng-hendaki pemerintahan pasca-Soeharto yang bebas korupsi.
b.      Transparency International (TI) adalah organisasi internasional yang bertujuan memerangi korupsi politik dan didirikan di Jerman sebagai organisasi nirlaba se-karang menjadi organisasi non-pemerintah yang bergerak menuju organisasi yang demokratik. Publikasi tahunan oleh TI yang terkenal adalah Laporan Korupsi Global. Survei TI Indonesia yang membentuk Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2004 menyatakan bahwa Jakarta sebagai kota terkorup di Indonesia, disusul Surabaya, Medan, Semarang dan Batam. Sedangkan survei TI pada 2005, Indonesia berada di posisi keenam negara terkorup di dunia. IPK Indonesia adalah 2,2 sejajar dengan Azerbaijan, Kamerun, Etiopia, Irak, Libya dan Uzbekistan, serta hanya lebih baik dari Kongo, Kenya, Pakistan, Paraguay, Somalia, Sudan, Angola, Nigeria, Haiti & Myanmar. Sedangkan Islandia adalah negara terbebas dari korupsi.
Selain beberapa upaya diatas, para ahli memberikan beberapa pendapatnya mengenai upaya pemberantasan korupsi. Para ahli yang masing-masing memandang dari berbagai segi dan pandangan. Caiden (dalam Soerjono, 1980) memberikan langkah-langkah untuk menanggulangi korupsi sebagai berikut :
1.    Membenarkan transaksi yang dahulunya dilarang dengan menentukan sejumlah pembayaran tertentu.
2.    Membuat struktur baru yang mendasarkan bagaimana keputusan dibuat.
3.    Melakukan perubahan organisasi yang akan mempermudah masalah pengawasan dan pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi penugasan, wewenang yang saling tindih organisasi yang sama, birokrasi yang saling bersaing, dan penunjukan instansi pengawas adalah saran-saran yang secara jelas diketemukan untuk mengurangi kesempatan korupsi.[8])
Korupsi adalah persoalan nilai. Nampaknya tidak mungkin keseluruhan korupsi dibatasi, tetapi memang harus ditekan seminimum mungkin, agar beban korupsi organisasional maupun korupsi sestimik tidak terlalu besar sekiranya ada sesuatu pembaharuan struktural, barangkali mungkin untuk mengurangi kesempatan dan dorongan untuk korupsi dengan adanya perubahan organisasi. Cara yang diperkenalkan oleh Caiden diatas membenarkan (legalized) tindakan yang semula dikategorikan kedalam korupsi menjadi tindakan yang legal dengan adanya pungutan resmi.
Di lain pihak, celah-celah yang membuka untuk kesempatan korupsi harus segera ditutup, begitu halnya dengan struktur organisasi haruslah membantu kearah pencegahan korupsi, misalnya tanggung jawab pimpinan dalam pelaksanaan pengawasan melekat, dengan tidak lupa meningkatkan ancaman hukuman kepada pelaku-pelakunya.
Selanjutnya, Myrdal (dalam Lubis, 1987) memberi saran penaggulangan korupsi yaitu agar pengaturan dan prosedur untuk keputusan-keputusan administratif yang menyangkut orang perorangan dan perusahaan lebih disederhanakan dan dipertegas, pengadakan pengawasan yang lebih keras, kebijaksanaan pribadi dalam menjalankan kekuasaan hendaknya dikurangi sejauh mungkin, gaji pegawai yang rendah harus dinaikkan dan kedudukan sosial ekonominya diperbaiki, lebih terjamin, satuan-satuan pengamanan termasuk polisi harus diperkuat, hukum pidana dan hukum atas pejabat-pejabat yang korupsi dapat lebih cepat diambil. Orang-orang yang menyogok pejabat-pejabat harus ditindak pula. Persoalan korupsi beraneka ragam cara melihatnya, oleh karena itu cara pengkajiannya pun bermacam-macam pula. Korupsi tidak cukup ditinjau dari segi deduktif saja, melainkan perlu ditinaju dari segi induktifnya yaitu mulai melihat masalah praktisnya (practical problems), juga harus dilihat apa yang menyebabkan timbulnya korupsi.
Kartono (1983) menyarankan penanggulangan korupsi sebagai berikut :
1.      Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial, dengan bersifat acuh tak acuh.
2.      Menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan nasional.
3.      Para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan menindak korupsi.
4.      Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum tindak korupsi.
5.      Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui penyederhanaan jumlah departemen, beserta jawatan dibawahnya.
6.      Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement” dan bukan berdasarkan sistem “ascription”.
7.      Adanya kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demi kelancaran administrasi pemerintah.
8.      Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur
9.      Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis tinggi, dibarengi sistem kontrol yang efisien.
10.  Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok dengan pengenaan pajak yang tinggi.[9]


















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Korupsi berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Korupsi dikategorikan kedalam 7 kelompok yakni korupsi yang terkait dengan merugikan keuangan negara, korupsi yang terkait dengan suap-menyuap, korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan, korupsi yang terkait dengan pemerasan, korupsi yang terkait dengan perbuatan curang, korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan, dan korupsi yang terkait dengan gratifikasi
Prinsip-Prinsip Antikorupsi diantaranya adalah Akuntanbilitas, Transparansi, Fairness, Kebijakan Anti Korupsi dan Kontrol Kebijakan
Faktor-faktor yang menyebabkan tindakan korupsi adalah kelemahan kepemimpinan, kelemahan pengajaran agama dan etika, kolonialisme, kurangnya pendidikan, adanya banyak kemiskinan, tidak adanya tindakan hukum yang tegas, kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi, struktur pemerintahan, perubahan radikal dan keadaan masyarakat yang semakin majemuk.
Korupsi berdampak negatif terhadap demokrasi, perekonomian dan kesejahteraan umum negara. Upaya yang dapat ditempuh dalam memberantas tindak korupsi di indonesia antara lain adalah upaya pencegahan (preventif), upaya penindakan (kuratif,) upaya edukasi masyarakat/mahasiswa, upaya edukasi lsm (lembaga swadaya masyarakat)
B.     Saran
Sudah selayaknya bagi kita untuk senantiasa menghindari kasus korupsi, Baik dalam bentuk besar ataupun kecil. Kerena semua itu akan merugikan diri sendiri dan orang lain


DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Jurandi. 2005. pemberantasan korupsi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Lamintang, Djisman. 1985. Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Sinar Baru.
Mochtar. 2009. “Efek Treadmill” Pemberantasan Korupsi : Kompas
Muzadi, H. 2004. Strategi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Malang: Bayumedia Publishing.
Projo, Dikoro wirdjono. 2005. tindak pidana tertentu di Indonesia.  Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Saleh, Wantjik. 1978. Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Santoso, Joko Budi. 2006. Pendidikan kewarganegaraan.  Jakarta: Erlangga.
UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
         


[1]) Djisman Lamintang., Hukum Pidana Indonesia, Bandung : Sinar Baru, 1985. Hlm 41
[2]) Dikoro wirdjono Projo, tindak pidana tertentu di Indonesia,  Jakarta:  Grafindo Persada, 2005. Hlm 50
[3]) Joko Budi Santoso, Pendidikan kewarganegaraan, Jakarta: Erlangga, 2006. Hlm 76
[4]) Mochtar, “Efek Treadmill” Pemberantasan Korupsi : Kompas, 2009.
[5]) Jurandi Hamzah,  pemberantasan korupsi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005. Hlm. 94-97
[6]) Wantjik Saleh, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1978. Hlm 88-89
[7]) Ibid., hlm 90-91
[8]) H. Muzadi, Strategi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Malang: Bayumedia Publishing, 2004. Hlm 105-107
[9] ) UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar