BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan suatu negara sangat
ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilannya dalam melaksanakan pembangunan.
Pembangunan sebagai suatu proses perubahan yang direncanakan mencakup semua
aspek kehidupan masyarakat. Efektifitas dan keberhasilan pembangunan terutama
ditentukan oleh dua faktor, yaitu sumberdaya manusia, dan pembiayaan. Diantara dua
faktor tersebut yang paling dominan adalah faktor manusianya. Indonesia
merupakan salah satu negara terkaya di Asia dilihat dari keanekaragaman
kekayaan sumber daya alamnya. Tetapi ironisnya, negara tercinta ini
dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia bukanlah merupakan sebuah
negara yang kaya, namun termasuk negara yang miskin. Salah satu penyebabnya
adalah rendahnya kualitas sumber daya manusianya. Kualitas tersebut bukan hanya
dari segi pengetahuan tetapi juga menyangkut kualitas moral dan kepribadiannya.
Rapuhnya moral dan rendahnya tingkat kejujuran dari apara tpenyelenggara negara
menyebabkan terjadinya korupsi.
Korupsi di Indonesia dewasa ini
sudah merupakan patologi social (penyakit
social) yang sangat berbahaya dan mengancam semua aspek kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Korupsi telah mengakibatkan kerugian
keuangan negara yang sangat besar. Namun, yang lebih memprihatinkan lagi adalah
terjadinya perampasan dan pengurasan keuangan negara yang dilakukan secara
kolektif oleh kalangan anggota legislatif dengan dalih studi banding, uang
pesangon dan lain sebagainya diluar batas kewajaran. Bentuk perampasan dan
pengurasan keuangan negara demikian terjadi hampir diseluruh wilayah tanah air.
Hal itu merupakan cerminan rendahnya moralitas dan rasa malu, sehingga yang menonjol
adalah sikap kerakusan
Jikalau kita ingin maju, maka tidak
ada pilihan lain selain memberantas korupsi. Jika tidak berhasil memberantas korupsi, atau
paling tidak mengurangi sampai pada titik nadir yang paling rendah maka jangan
harap Negara ini akan mampu mengejar ketertinggalannya dibandingkan negara lain
untuk menjadi sebuah negara yang maju. Karena korupsi membawa dampak negatif
yang cukup luas dan dapat membawa negara kejurang kehancuran.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah Pengertian Dari Korupsi?
2.
Apa sajakah Macam-Macam Korupsi?
3.
Bagaimana Kebijakan Pemerintah Dalam Menanggapi
Korupsi?
4.
Bagamana Prinsip-Prinsip Antikorupsi?
5.
Apa Yang Menjadi Sebab Terjadinya Korupsi?
6.
Apakah Dampak Negatif Korupsi?
7.
Apa Tindakan Yang Dapat Dilakukan Untuk Memberantas
Korupsi?
C. Tujuan Makalah
1.
Mengetahui Pengertian Dari Korupsi.
2.
Mengetahui Macam-Macam Korupsi.
3.
Mengetahui Kebijakan Pemerintah Dalam Menanggapi
Korupsi.
4.
Mengetahui Prinsip-Prinsip Antikorupsi.
5.
Mengetahui Sebab Terjadinya Korupsi.
6.
Mengetahui Dampak Negatif Korupsi.
7.
Mengetahui Tindakan Yang Dapat Dilakukan Untuk
Memberantas Korupsi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk,
rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Korupsi menurut Huntington
(1968) adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang
diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka
memenuhi kepentingan pribadi.
Dalam bahasa arab korupsi disebut riswah yang berarti penyuapan. Riswah
juga dimaknai sebagai uang suap. Korupsi sebagai sebuah tindakan yang merusak
dan berkhianat juga disebut fasad dan
ghulul. Ketiga istilah ini memiliki
rujukan teologis baik dalam hadis maupun Al-quran. Sementara dalam terminologis
korupsi diartikan sebagai pemberian dan penerimaan suap. Defenisi korupsi ini
lebih menekankan pada praktik pemberian suap atau penerimaaan suap. Dengan
demikian baik yang menerima maupun memberi keduanya termasuk korupsi.
David M Chalmers menguraikan pengertian korupsi sebagai
tindakan-tindakan manipulasi keuangan yang membahayakan ekonomi.
JJ Senturia dalam Encyclopedia
of social sciens mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekusaan
pemerintahan untuk keuntungan pribadi. Definisi ini dianggap sangat spesifik
dan konvensional karena meletakan persoalan korupsi sebagai ranah pemerintah
semata.
Menurut Dr. Kartini Kartono, korupsi
adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna
mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum. Selanjutnya, dengan
merujuk definisi Huntington diatas, Heddy Shri Ahimsha-Putra (2002) menyatakan
bahwa persoalan korupsi adalah persoalan politik pemaknaan.[1])
Menurut Prof. Subekti, korupsi
adalah suatu tindak perdana untuk memperkaya diri yang secara langsung
merugikan negara atau perekonomian negara. Jadi, unsur dalam perbuatan korupsi
meliputi dua aspek. Aspek yang memperkaya diri dengan menggunakan kedudukannya
dan aspek penggunaan uang negara untuk kepentingannya. Sementara itu, Syed
Hussen Alatas memberi batasan bahwa korupsi merupakan suatu transaksi yang
tidak jujur yang dapat menimbulkan kerugian uang, waktu, dan tenaga dari pihak
lain. Korupsi dapat berupa penyuapan ( bribery
), pemerasan (extortion) dan nepotisme. Disitu ada istilah penyuapan, yaitu
suatu tindakan melanggar hukum, melalui tindakan tersebut si penyuap berharap
mendapat perlakuan khusus dari pihak yang disuap.
Istilah korupsi dapat pula mengacu
pada pemakaian dana pemerintah untuk tujuan pribadi. Definisi ini tidak hanya
menyangkut korupsi moneter yang konvensional, akan tetapi menyangkut pula
korupsi politik dan administratif. Seorang administrator yang memanfaatkan
kedudukannya untuk menguras pembayaran tidak resmi dari para investor (domestik
maupun asing), memakai sumber pemerintah, kedudukan, martabat, status, atau
kewenangannnya yang resmi, untuk keuntungan pribadi dapat pula dikategorikan
melakukan tindak korupsi.[2])
B. Macam-macam Korupsi
Korupsi telah didefinisikan secara
jelas oleh UU No 31 Tahun 1999 dan UU No 20 Tahun 2001 dalam pasal-pasalnya.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, terdapat 33 jenis tindakan yang dapat
dikategorikan sebagai korupsi. 33 tindakan tersebut dikategorikan kedalam 7
kelompok yakni :
1.
Korupsi yang terkait dengan merugikan keuangan Negara
2.
Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap
3.
Korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan
4.
Korupsi yang terkait dengan pemerasan
5.
Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang
6.
Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam
pengadaan
7.
Korupsi yang terkait dengan gratifikasi.[3])
C.
Kebijakan Pemerintah Dalam Menanggapi Korupsi
Mewujudkan keseriusan pemerintah dalam upaya
memberantas korupsi, Telah di keluarkan berbagai kebijakan. Di awali dengan
penetapan anti korupsi sedunia oleh PBB pada tanggal 9 Desember 2004, Presiden
susilo Budiyono telah mengeluarkan instruksi Presiden Nomor 5tahun 2004 tentang
Percepatan Pemberantasan Korupsi, yang menginstruksikan secara khusus Kepada
Jaksa Agung Dan kapolri:
1.
Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan atau Penuntutan
terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menelamatkan uang
negara.
2.
Memberikan sanksi tegas terhadap penyalah gunaan
wewenang yg di lakukan oleh jaksa (Penuntut Umum)/ Anggota polri dalam rangka
penegakan hukum.
3.
Meningkatkan Kerjasama antara kejaksaan dgn kepolisian
Negara RI, selain denagan BPKP,PPATK,dan intitusi Negara yang terkait dengan
upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak
pidana korupsi
Kebijakan
selanjutnya adalah menetapkan Rencana aksi nasional Pemberantasan Korupsi
(RAN-PK) 2004-2009. Langkah-langkah pencegahan dalam RAN-PK di prioritaskan
pada :
1.
Mendesain ulang layanan publik .
2.
Memperkuat transparasi, pengawasan, dan sanksi pada
kegiatan pemerintah yg berhubungan Ekonomi dan sumber daya manusia.
3.
Meningkatkan pemberdayaan perangkat-perangkat
pendukung dalam pencegahan korupsi[4])
D.
Prinsip-Prinsip
Antikorupsi
Prinsip-prinsip anti korupsi pada dasarnya merupakan langkah-langkah
antisipatif yang harus dilakukan agar laju pergerakan korupsi dapat dibendung
bahkan diberantas. Pada dasarnya Prinsip-prinsip anti korupsi terkait dengan
semua objek kegiatan publik yang menuntut adanya integritas, objektivitas,
kejujuran, keterbukaaan, tanggung gugat dan meletakkan kepentingan publik
diatsa kepentingan individu. Dalam konteks korupsi ada beberapa prinsip yang
harus ditegakkan untuk mencegah terjadinya korupsi, yaitu prinsip
akuntabilitas, transparansi, kewajaran dan adanya aturan maen yang dapat
membatasi ruang gerak korupsi, serat kontrol terhadap aturan maen tersebut.
1.
Akuntanbilitas
Prinsip akuntabilitas
merupakan pilar penting dalam rangka mencegah terjadinya korupsi. Prinsip ini
pada dasarnya dimaksudkan agar segenap kebijakan dan langkah-langkah yang
yang dijalankan sebuah lembaga dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna.
Akuntabilitas mensyaratkan adanya sebuah kontrak aturan maen baik yang
teraktualisasidalam bentuk konvensi maupun konstruksi, baik pada level budaya
(individu dengan individu) maupun pada level lembaga.Melalui aturan maen itulah
sebuah kebijakandapatdipertanggungjawabkan. Oleh kaerena itu prinsip
akuntabilitas sebagai prinsip pencegahan tindak korupsi membutuhkan
perangkat-perangkat pendukung, baik berupa perundang-undangan maupun dalam
bebtuk komitmen dan dukungan masyarakat.
Keberadaan undang-undang maupun peraturansecara otomatis mengaharuskan adanya akuntabilitas.Hal ini berlansung pada seluruh level kelembagaan, baik pada level negara maupun komunitas tertentu. Sebagai prinsip akuntabilitas undang-undang negara juga menyebutkan adanya kewajiban ganti rugi yang diberlakukan atas mereka yang karena kelengahan itu telah merugikan negara.
Keberadaan undang-undang maupun peraturansecara otomatis mengaharuskan adanya akuntabilitas.Hal ini berlansung pada seluruh level kelembagaan, baik pada level negara maupun komunitas tertentu. Sebagai prinsip akuntabilitas undang-undang negara juga menyebutkan adanya kewajiban ganti rugi yang diberlakukan atas mereka yang karena kelengahan itu telah merugikan negara.
2.
Transparansi
Transparansi merupakan
prinsip yang mengaharuskan semua kebijakan dilakukan secara terbuka sehingga
segala bentuk penyimpangan dapat diketahui oleh publik. Transparansi menjadi
pintu masuk, sekaligus kontrol bagi seluruh bagi seluruh proses dinamika struktural
kelembagaan seluruh sektor kehidupan publik mensyaratkan adanya transparansi
sehingga tidak terjadi distorsi dan penyelewengan yang merugikan masyarakat.
Dalam bentuk yang paling sederhana keterikatan interaksi antar dua individu
atau lebih mengharuskan adanya keterbukaan, keterbukaan dalam konteks ini
merupakan bagian dari kejujuran untuk saling menjujung kepercayaan yang terbina
antar individu.
Sektor-sektor yang
harus melibatkan masyarakat adalah sebagai berikut:
a.
Proses penganggaran yang bersifat dari bawah ke atas, mulai dari
perencanaan, implementasi, laporan pertanggungjawaban dan penilaian terhadap
kinerja anggran. Hal ini perlu dilakukan untuk memudahkan masyarakat melkukan
kontrol terhadappengelolaan anggaran.
b.
Proses penyusunan kegiatan atau proyek
c.
Proses pembahasan tentang pembuatan rancangan peraturan yang berkaitan
dengan strategi penggalangan dana.
d.
Proses tentang tata cara dan mekanisme pengelolaan proyek mulai dari proses
tender, pengerjaan teknis, pelaporan finansial dan pertanggungjawaban secara
teknis dari proyek yang dikerjakan oleh pimpinan proyek atau kontraktor.
3. Fairness
Fairness merupakan salah satu
Prinsip-prinsip anti korupsi yang mengedepankan kepatutan atau kewajaran.
Prinsip Fairness sesungguhnya lebih ditujukan untuk mencegah terjadinnya
manipulasi dalam penganggaran proyek pembangunan, baik dalam bebtuk mark up
maupun ketidakwajaran kekuasaan lainnya. Jika mempelajari definisi korupsi
sebelumya, maka dalam korupsi itu sendiri terdapat unsur-unsur manipulasi dan
penyimpangan baik dalam bentuk anggaran, kebijkan dan lainnya. Berdasarkan
kondisi tersebut, maka para perumus kebijakan pembangunan menekankan pentingnya
prinsip fairness dalam proses pembangunan hingga pelaksanaanya. Haze Croall
dalam bukunya White Collar Crime (kejahatan kerah putih) merumuskan kejahatan
kerah putih atau koruptor sebagai kejahatan orang-orang yang menyukai cara-cara
licik, menipu dan jauh dari sifat-sifat fairness.
Untuk
menghindari pelanggaran terhadap prinsip fairness, khususnya dalam
proses penganggaran, diperlukan beberapa langkah sebagai berikut:
a.
Komprehensif dan disiplin
b.
Fleksibilitas
c.
Terprediksi
d.
Kejujuran
e.
Informatif
4.
Kebijakan Anti Korupsi
Kebijakan merupak
sebuah upaya untuk mengatur tata interaksi dalam ranah social. Korupsi sebagai bentuk
kejahatan luar biasa yang mengancam tata kehidupan berbagai telah memaksa
setiap negara membuat undang-undang untuk mencegahnya. Korupsi sebagai bagian
dari nilai-nilaiyang ada dalam diri seseorang dapat dikendalikan dan dikontrol
oleh peraturan. Kebikjakan anti korupsi dapat dilihat dalam beberapa
perspektif, yaitu: isi kebijkan, pembuatan kebijakan, penegakkan kebijakan,
hukum kebijakan.
5.
Kontrol Kebijakan
Mengapa perlu kontrol
kebijakan? Jawaban yang pasti atas pertanyaan ini adalah karena tradisi
pembangunan yang dianut selama ini lebih bersifat sentralistik. Menurut David
Korten lebih dari tiga dasawarsa, pembangunan diasumsikan dari pemerintah dan
untuk pemerintah sendiri. Ini berarti bahwa fungsi peran, dan kewenangan
pemerintah teramat dominan hingga terkesan bahwa proses kenegaraan hanya
menjadi tugas pemerintah dan sama sekali tidak perlu melibatkan masyarakat
seolah-olah pemerintah paling mengetahui seluk beluk kehidupan masyarakat di
negarannya. Itulah sebabnya, ditengah arus demokratisasi, paradigma tersebut
harus direkonstruksi sehingga tumbuh tradisi baru berupa kontrol kebijakan. Paling
tidak terdapat tiga model kontrol terhadap kebijakan pemerintah, yaitu oposisi,
penyempurnaan dan perubahan terhadap pemerintah. Penggunaaan tiga metode kontrol
tersebut tergantung pada bentuk perumusan dan pelaksanaan kebijakanpemerintah
serta pilihan politik yang hendak dibangun.[5])
.
E.
Sebab-sebab Terjadinya Korupsi
Penyebab adanya tindakan korupsi sebenarnya bervariasi
dan beraneka ragam. Akan tetapi, secara umum dapatlah dirumuskan, sesuai dengan
pengertian korupsi diatas yaitu bertujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi
/kelompok /keluarga/ golongannya sendiri. Faktor-faktor secara umum yang
menyebabkan seseorang melakukan tindakan korupsi antara lain yaitu :
1.
Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam
posisi-posisi kunci yang mampu memberi pengaruh tingkah laku yang menjinakkan
korupsi.
2.
Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika.
3.
Kolonialisme, suatu pemerintahan asing tidaklah
menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi.
4.
Kurangnya pendidikan.
5.
Adanya banyak kemiskinan.
6.
Tidak adanya tindakan hukum yang tegas.
7.
Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti
korupsi.
8.
Struktur pemerintahan.
9.
Perubahan radikal, suatu sistem nilai yang mengalami
perubahan radikal, korupsi muncul sebagai penyakit transisional.
10.
Keadaan masyarakat yang semakin majemuk.
Dalam teori
yang dikemukakan oleh Jack Bologne atau sering disebut GONE Theory, bahwa
faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi meliputi :
1.
Greeds (keserakahan) : berkaitan dengan adanya
perilaku serakah yang secara potensial ada di dalam diri setiap orang.
2.
Opportunities (kesempatan) : berkaitan dengankeadaan
organisasi atau instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga terbuka
kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan.
3.
Needs (kebutuhan) : berkaitan dengan faktor-faktor
yamg dibutuhkan oleh individu-individu untuk menunjang hidupnya yang wajar.
4.
Exposures (pengungkapan) : berkaitan dengan tindakan
atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku
diketemukan melakukan kecurangan.
Menurut
Komisi IV DPR-RI, terdapat tiga indikasi yang menyebabkan meluasnya korupsi di
Indonesia, yaitu :
1.
Pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi.
2.
Penyalahgunaan kesempatan untuk memperkaya diri.
3.
Penyalahgunaan kekuasaan untuk memperkaya diri.[6])
F.
Dampak Negatif Korupsi
1.
Terhadap demokrasi
Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap
pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata
pemerintahan yang baik (good governance)
dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan
legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan
kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan
korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan
masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah,
karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau
dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi
mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan
toleransi.
2.
Terhadap perekonomian
a.
Korupsi dapat mempersulit
pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan.
b.
Korupsi juga
mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan
yang tinggi. Dalam sektor private, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena
kerugian dari pembayaran illegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan
pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan.
Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan
mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa
ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan
hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga
mengacaukan “lapangan perniagaan”. Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi
dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang
tidak efisien.
c.
Korupsi menimbulkan
distorsi (kekacauan) di dalam sector publik dengan mengalihkan investasi publik
ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak.
Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek
korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga
mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau
aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan
infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.
3.
Terhadap kesejahteraan umum negara
Korupsi politis terdapat dibanyak negara, dan
memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi politis berarti
kebijaksanaan pemerintah yang sering menguntungkan pemberi sogok, dibandingkan
rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang
melindungi perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil.
Politikus-politikus “pro-bisnis” ini
hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan
sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.[7])
G. Tindakan Yang Dapat Dilakukan Untuk Memberantas
Korupsi
Jika korupsi dibiarkan
secara terus menerus tanpa upaya menanggulanginya, maka akan terbiasa dan menjadi
subur serta akan menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu mencari jalan
pintas dan menghalalkan segala cara (the
end justifies the means). Meskipun berbagai upaya belum tentu dapat
menghilangkan korupsi, tapi paling tidak dapat menguranginya. Untuk itu,
korupsi perlu ditanggulangi secara tuntas.
Ada beberapa upaya yang dapat
ditempuh dalam memberantas tindak korupsi di Indonesia, antara lain sebagai
berikut :
1.
Upaya Pencegahan (Preventif)
a.
Menanamkan
semangat nasional yang positif dengan mengutamakan pengabdian pada bangsa dan
negara melalui pendidikan formal, informal dan agama.
b.
Melakukan
penerimaan pegawai berdasarkan prinsip keterampilan teknis.
c.
Para pejabat
dihimbau untuk mematuhi pola hidup sederhana dan memiliki tang-gung jawab yang tinggi.
d.
Para pegawai
selalu diusahakan kesejahteraan yang memadai dan ada jaminan masa tua.
e.
Menciptakan
aparatur pemerintahan yang jujur dan disiplin kerja yang tinggi.
f.
Sistem keuangan
dikelola oleh para pejabat yang memiliki tanggung jawab tinggi dan dibarengi
sistem kontrol yang efisien.
g.
Melakukan
pencatatan ulang terhadap kekayaan pejabat yang mencolok.
h.
Berusaha
melakukan reorganisasi dan rasionalisasi organisasi pemerintahan mela-lui
penyederhanaan jumlah departemen beserta jawatan di bawahnya.
2.
Upaya Penindakan (Kuratif)
Upaya penindakan, yaitu dilakukan kepada mereka yang terbukti melanggar
dengan dibe-rikan peringatan, dilakukan pemecatan tidak terhormat dan dihukum
pidana. Beberapa
contoh penindakan yang dilakukan oleh KPK :
a.
Dugaan korupsi
dalam pengadaan Helikopter jenis MI-2 Merk Ple Rostov Rusia milik Pemda NAD
(2004).
b.
Menahan Konsul
Jenderal RI di Johor Baru, Malaysia, EM. Ia diduga melekukan pungutan liar
dalam pengurusan dokumen keimigrasian.
c.
Dugaan korupsi
dalam Proyek Program Pengadaan Busway pada Pemda DKI Jakarta (2004).
d.
Dugaan
penyalahgunaan jabatan dalam pembelian tanah yang merugikan keuang-an negara Rp
10 milyar lebih (2004).
e.
Dugaan korupsi
pada penyalahgunaan fasilitas preshipment dan placement deposito
dari BI kepada PT Texmaco Group melalui BNI (2004).
f.
Kasus korupsi
dan penyuapan anggota KPU kepada tim audit BPK (2005).
g.
Kasus penyuapan
panitera Pengadilan Tinggi Jakarta (2005).
h.
Kasus penyuapan
Hakim Agung MA dalam perkara Probosutedjo.
i.
Menetapkan
seorang bupati di Kalimantan Timur sebagai tersangka dalam kasus korupsi
Bandara Loa Kolu yang diperkirakan merugikan negara sebesar Rp 15,9 miliar
(2004).
j.
Kasus korupsi
di KBRI Malaysia (2005).
3.
Upaya Edukasi
Masyarakat/Mahasiswa
a.
Memiliki tanggung
jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial terkait dengan
kepentingan publik.
b.
Tidak bersikap
apatis dan acuh tak acuh.
c.
Melakukan
kontrol sosial pada setiap kebijakan mulai dari pemerintahan desa hingga ke
tingkat pusat/nasional.
d.
Membuka wawasan
seluas-luasnya pemahaman tentang penyelenggaraan peme-rintahan negara dan
aspek-aspek hukumnya.
e.
Mampu
memposisikan diri sebagai subjek pembangunan dan berperan aktif dalam setiap
pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat luas
.
4.
Upaya Edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)
a.
Indonesia Corruption Watch (ICW) adalah organisasi
non-pemerintah yang meng-awasi dan melaporkan kepada publik mengenai korupsi di
Indonesia dan terdiri dari sekumpulan orang yang memiliki komitmen untuk
memberantas korupsi me-lalui usaha pemberdayaan rakyat untuk terlibat melawan
praktik korupsi. ICW berdiri di Jakarta pada tanggal 21 Juni 1998 ditengah-tengah
gerakan reformasi yang meng-hendaki pemerintahan pasca-Soeharto yang bebas
korupsi.
b.
Transparency
International (TI) adalah organisasi internasional yang bertujuan memerangi
korupsi politik dan didirikan di Jerman sebagai organisasi nirlaba se-karang
menjadi organisasi non-pemerintah yang bergerak menuju organisasi yang
demokratik. Publikasi tahunan oleh TI yang terkenal adalah Laporan Korupsi
Global. Survei TI Indonesia yang membentuk Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia
2004 menyatakan bahwa Jakarta sebagai kota terkorup di Indonesia, disusul
Surabaya, Medan, Semarang dan Batam. Sedangkan survei TI pada 2005, Indonesia
berada di posisi keenam negara terkorup di dunia. IPK Indonesia adalah 2,2
sejajar dengan Azerbaijan, Kamerun, Etiopia, Irak, Libya dan Uzbekistan, serta hanya lebih baik dari Kongo, Kenya, Pakistan, Paraguay,
Somalia, Sudan, Angola, Nigeria, Haiti & Myanmar. Sedangkan
Islandia adalah negara terbebas dari korupsi.
Selain beberapa upaya diatas, para ahli memberikan beberapa pendapatnya
mengenai upaya pemberantasan korupsi. Para ahli yang masing-masing memandang
dari berbagai segi dan pandangan. Caiden (dalam Soerjono, 1980) memberikan
langkah-langkah untuk menanggulangi korupsi sebagai berikut :
1.
Membenarkan transaksi yang dahulunya
dilarang dengan menentukan sejumlah pembayaran tertentu.
2.
Membuat struktur baru yang mendasarkan
bagaimana keputusan dibuat.
3.
Melakukan perubahan organisasi yang akan
mempermudah masalah pengawasan dan pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi
penugasan, wewenang yang saling tindih organisasi yang sama, birokrasi yang
saling bersaing, dan penunjukan instansi pengawas adalah saran-saran yang
secara jelas diketemukan untuk mengurangi kesempatan korupsi.[8])
Korupsi adalah persoalan nilai. Nampaknya tidak mungkin keseluruhan korupsi
dibatasi, tetapi memang harus ditekan seminimum mungkin, agar beban korupsi
organisasional maupun korupsi sestimik tidak terlalu besar sekiranya ada
sesuatu pembaharuan struktural, barangkali mungkin untuk mengurangi kesempatan
dan dorongan untuk korupsi dengan adanya perubahan organisasi. Cara yang
diperkenalkan oleh Caiden diatas membenarkan (legalized) tindakan yang semula dikategorikan kedalam korupsi
menjadi tindakan yang legal dengan adanya pungutan resmi.
Di lain pihak, celah-celah yang membuka untuk kesempatan korupsi harus
segera ditutup, begitu halnya dengan struktur organisasi haruslah membantu
kearah pencegahan korupsi, misalnya tanggung jawab pimpinan dalam pelaksanaan
pengawasan melekat, dengan tidak lupa meningkatkan ancaman hukuman kepada pelaku-pelakunya.
Selanjutnya, Myrdal (dalam Lubis, 1987) memberi saran penaggulangan korupsi
yaitu agar pengaturan dan prosedur untuk keputusan-keputusan administratif yang
menyangkut orang perorangan dan perusahaan lebih disederhanakan dan dipertegas,
pengadakan pengawasan yang lebih keras, kebijaksanaan pribadi dalam menjalankan
kekuasaan hendaknya dikurangi sejauh mungkin, gaji pegawai yang rendah harus
dinaikkan dan kedudukan sosial ekonominya diperbaiki, lebih terjamin,
satuan-satuan pengamanan termasuk polisi harus diperkuat, hukum pidana dan
hukum atas pejabat-pejabat yang korupsi dapat lebih cepat diambil. Orang-orang
yang menyogok pejabat-pejabat harus ditindak pula. Persoalan korupsi beraneka
ragam cara melihatnya, oleh karena itu cara pengkajiannya pun bermacam-macam
pula. Korupsi tidak cukup ditinjau dari segi deduktif saja, melainkan perlu
ditinaju dari segi induktifnya yaitu mulai melihat masalah praktisnya
(practical problems), juga harus dilihat apa yang menyebabkan timbulnya
korupsi.
Kartono (1983) menyarankan penanggulangan korupsi sebagai berikut :
1.
Adanya kesadaran rakyat untuk ikut
memikul tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial,
dengan bersifat acuh tak acuh.
2.
Menanamkan aspirasi nasional yang
positif, yaitu mengutamakan kepentingan nasional.
3.
Para pemimpin dan pejabat memberikan
teladan, memberantas dan menindak korupsi.
4.
Adanya sanksi dan kekuatan untuk
menindak, memberantas dan menghukum tindak korupsi.
5.
Reorganisasi dan rasionalisasi dari
organisasi pemerintah, melalui penyederhanaan jumlah departemen, beserta
jawatan dibawahnya.
6.
Adanya sistem penerimaan pegawai yang
berdasarkan “achievement” dan bukan
berdasarkan sistem “ascription”.
7.
Adanya kebutuhan pegawai negeri yang
non-politik demi kelancaran administrasi pemerintah.
8.
Menciptakan aparatur pemerintah yang
jujur
9.
Sistem budget dikelola oleh
pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis tinggi, dibarengi sistem
kontrol yang efisien.
10. Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok
dengan pengenaan pajak yang tinggi.[9]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Korupsi berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk,
rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Korupsi dikategorikan kedalam
7 kelompok yakni korupsi yang terkait dengan merugikan keuangan negara, korupsi
yang terkait dengan suap-menyuap, korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam
jabatan, korupsi yang terkait dengan pemerasan, korupsi yang terkait dengan
perbuatan curang, korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam
pengadaan, dan korupsi yang terkait dengan gratifikasi
Prinsip-Prinsip Antikorupsi diantaranya adalah Akuntanbilitas,
Transparansi, Fairness, Kebijakan
Anti Korupsi dan Kontrol Kebijakan
Faktor-faktor yang menyebabkan tindakan korupsi adalah
kelemahan kepemimpinan, kelemahan pengajaran agama dan etika, kolonialisme,
kurangnya pendidikan, adanya banyak kemiskinan, tidak adanya tindakan hukum
yang tegas, kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi,
struktur pemerintahan, perubahan radikal dan keadaan masyarakat yang semakin
majemuk.
Korupsi berdampak negatif terhadap demokrasi, perekonomian dan
kesejahteraan umum negara. Upaya yang dapat ditempuh dalam memberantas tindak
korupsi di indonesia antara lain adalah upaya
pencegahan (preventif), upaya
penindakan (kuratif,) upaya edukasi
masyarakat/mahasiswa, upaya edukasi lsm (lembaga swadaya masyarakat)
B.
Saran
Sudah
selayaknya bagi kita untuk senantiasa menghindari kasus korupsi, Baik dalam
bentuk besar ataupun kecil. Kerena semua itu akan merugikan diri sendiri dan
orang lain
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah, Jurandi. 2005.
pemberantasan korupsi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Lamintang,
Djisman. 1985. Hukum Pidana Indonesia.
Bandung : Sinar Baru.
Mochtar.
2009. “Efek Treadmill” Pemberantasan
Korupsi : Kompas
Muzadi, H.
2004. Strategi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Malang: Bayumedia
Publishing.
Projo, Dikoro wirdjono.
2005. tindak pidana tertentu di Indonesia. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Saleh,
Wantjik. 1978. Tindak Pidana Korupsi Di
Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Santoso, Joko Budi. 2006. Pendidikan kewarganegaraan. Jakarta: Erlangga.
UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
[2]) Dikoro
wirdjono Projo, tindak pidana tertentu di Indonesia,
Jakarta: Grafindo Persada, 2005. Hlm
50
[4]) Mochtar,
“Efek Treadmill” Pemberantasan Korupsi
: Kompas, 2009.
[5])
Jurandi Hamzah, pemberantasan korupsi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
Hlm. 94-97
[6])
Wantjik
Saleh, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia,
Jakarta : Ghalia Indonesia, 1978. Hlm 88-89
[7])
Ibid., hlm 90-91
[8]) H. Muzadi, Strategi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Malang: Bayumedia
Publishing, 2004. Hlm 105-107
[9] ) UU No. 20
Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar