Minggu, 14 Mei 2017

Makalah Fiqh-Gadai



BAB I
PENDAHULUAN


A.     Latar Belakang
Islam sebagai agama yang sempurna telah meletakkan kaedah-kaedah dasar dan aturan dalam semua aspek kehidupan manusia baik dalam urusan ibadah ataupun urusan mu’amalah. Setiap orang pasti memerlukan interaksi sosial dengan makhluk lain untuk senantiasa memenuhi kebutuhan dan saling tolong menolong diantara satu dengan yang lain. Karena sebab itu, sangat perlu sekali bagi kita mengetahui aturan islam dalam kehidupan kita sehari-hari. Terutama mengenai perpindahan harta dari satu tangan ketangan yang lainnya seperti hutang piutang
Dewasa ini, banyak fenomena ketidakpercayaan diantara manusia sehingga orang meminta jaminan benda atau barang berharga dalam meminjamkan hartanya atau biasa disebut dengan Rahn. Para ulama berpendapat bahwa Rahn atau gadai  boleh dilakukan dan tidak termasuk riba jika memenuhi syarat dan rukunnya. Akan tetapi banyak orang yang melalaikan masalah tersebut sehingga banyak yang melakukan gadai asal-asalan. Oleh karena itu perlu adanya menjelaskan tentang gadai dan hukumnya

B.     Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian gadai atau rahn ?
2.    Apa dasar hukum gadai atau rahn ?
3.    Apa syarat dan rukun gadai atau rahn ?
4.    Apa akibat hukum terhadap harta yang digadaikan ?
5.    Bagaimana Implementasi rahn  terhadap lembaga syari’ah ?
6.    Bagaimana pemanfaatan barang gadai?


C.     Tujuan Makalah
1.    Mengetahui pengertian Gadai  atau Rahn.
2.    Mengetahui Dasar Hukum gadai atau Rahn.
3.    Mengetahui Rukun dan Syarat Gadai atau Rahn.
4.    Mengetahui akibat hukum terhadap harta yang digadaikan.
5.    Mengetahui Implementasi rahn  terhadap lembaga syari’ah.
6.    Mengetahui pemanfaatan barang gadai.




















BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Gadai
Gadai (al rahn) secara bahasa dapat diartikan sebagai (al stubut,al habs) yaitu penetapan dan penahanan. Sedangkan secara istilah dapat diartikan menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syara’ sebagai jaminan atas adanya 2 kemungkinan, untuk mengembalikan uang itu atau mengambil sebagian benda itu.
Gadai adalah menjadikan suatu barang menjadi peneguh atau penguat kepercayaan dalam utang piutang. Barang itu boleh dijual jika hutang tidak dibayar, tetapi penjualan itu hendaklah dengan keadilan ( dengan harga yang berlaku diwaktu itu)
Sedangkan,dalam dunia perbankan syari`ah biasa disebut dengan agunan. Agunan adalah jaminan tambahan,baik berupa benda bergerak maupun tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik agunan kepada bank syari`ah.[1])
B.     Dasar hukum gadai
       Dasar hukum gadai dapat kita ketahui dalam firman Allah dalam Qs.Al-baqarah; 283
وَإِن كُنتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ ۖ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَه وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ ۗ وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ ۚ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ ۗ
Artinya: "Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah secara tidak tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh piutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) ". (Al-Baqarah: 283). [2])
Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah dari Anas ra. Ia berkata  :
“Dari Anas Ia berkata :Rosululloh SAW merungguhkan baju besi beliau kepada seorang yahudi di Madinah sewaktu beliau mengutang sya’ir (gandum) dari seorang yahudi untuk ahli rumah beliau” (HR.Ahamad,Bukhari ,dan lainya )
     Dari hadits tersebut dijelaskan bahwa agama Islam dalam urusan muamalat tidak membedakan antara pemeluknya dengan yang lain. Wajib atas muslimin membayar hak pemeluk agama lain seperti terhadap sesama mereka. [3])
C.     Rukun dan syarat gadai
Rukun adalah hal-hal yang harus ada didalam suatu urusan yang dimaksud. Adapun rukun gadai meliputi :
1.    Lafaz ( akad )
Kalimat akad misalnya ’’saya rungguhkan ini kepada engkau atas utangku yang sekian  kepada engkau”. Jawab yang berpiutang “ Saya terima rungguhan  ini”.
2.    Aqid,
yaitu yang menggadaikan (rahin) dan yang menerima gadai (murtahin). Adapun syarat keduanya adalah baligh, berakal dan hendaknya keduanya adalah ahli tasarruf (berhak membelanjakan hartanya).
3.    Barang yang digadaikan (marhun)
Barang yang digadaikan hendaklah sudah ada diwaktu akad gadai dan bisa diserahkan oleh penggadai serta tidak rusak sebelum sampai janji hutang harus dibayar.
4.    Adanya hutang.
Disyaratkan keadaan utang telah tetap. Apaila utang telah tetap, yang punya barang tidak boleh menghilangkan miliknya dari barang tersebut. Baik dengan jalan dijual, diberikan dan sebagainya. Kecuali dengan izin yang berpiutang.[4])
D.    Akibat hukum terhadap harta yang digadaikan.
Bila marhun (barang yang digadaikan) dibawah penguasaan murtahin (orang yang menerim gadai) ,maka murtahin tidak wajib menggantinya ,kecuali bila rusak atau hilangnya itu karena kelalaian murtahin atau karena disia-siakan. Umpamanya murtahin bermain-main dengan api ,lalu terbakar barang gadaian itu, atau gudang tidak dikunci ,lalu barang-barang itu hilang diambil orang.
Murtahin diwajibkan memelihara sebagaimana layaknya ,bila tidak demikian ketika ada cacat atau kerusakan apalagi hilang ,maka menjadi tangung jawab murtahin.
Menurut Hanafi, murtahin yang memegang marhun menanggung risiko kerusakan marhun atau kehilangan marhun ,bila marhun itu rusak atau hilang, baik karena kelalaian (disia-siakan) maupun tidak. Sedangkan menurut Syafi’iyah, murtahin menanggung risiko kehilangan atau kerusakan bila marhun itu rusak  atau hilang karena disia-siakan murtahin.
Adapun resiko yang mungkin terdapat pada rahn apabila diterapkan sebagai produk adalah sebagai berikut,
1.    Risiko tidak terbayarnya utang nasabah (wanprestasi)
2.    Resiko penurunan nilai aset yang ditahan atau rusak. [5])

E. Implementasi Rahn Dalam Pegadaian Syariah
Implementasi operasional pegadaian syariah hampir sama dengan pegadaian konvensional. Prosedur untuk memperoleh kredit gadai syariah sangat sederhana, masyarakat hanya menunjukkan bukti identitas diri dan barang bergerak sebagai jaminan, uang pinjamanpun dapat diperoleh dalam waktu yang cukup singkat. Begitupun untuk melunasi pinjaman, nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah uang dan surat bukti rahn saja.
Namun disamping beberapa kemiripan dari beberapa segi, jika ditinjau dari aspek landasan konsep, teknik transaksi, dan pendanaan, pegadaian syariah memiliki ciri tersendiri yang implementasinya sangat berbeda dengan pegadaian konvensionsal. Sesuai dengan landasan konsep rahn, pada dasarnya pegadaian syariah berjalan di atas dua akad transaksi syariah yaitu:
1.    Akad Rahn. Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Dengan akad ini pegadaian menahan barang bergerak sebagai jaminan atas utang nasabah.
2.    akad Ijarah, yaitu akad pemindahan hak guna atas barang dan jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendiri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi pegadaian untuk menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakukan akad. [6])
Adapun teknis pelayanan dalam pegadaian syariah adalah sebagai berikut:
1.    Nasabah menjaminkan barang kepada pegadaian syariah untuk mendapatkan pembiayaan. Kemudian pegadaian menaksir barang jaminan untuk dijadikan dasar dalam memberikan pembiayaan.
2.    Pegadaian syariah dan nasabah menyepakati akad gadai. Akad ini meliputi jumlah pinjaman, pembebanan biaya Jasa Simpan dan biaya Administrasi, dan jatuh tempo pengembalin pinjaman, yaitu 120 hari (4 bulan).
3.    Pegadaian syariah menerima biaya Administrasi dan biaya Jasa Simpan oleh nasabah.
4.    Nasabah menebus barang yang digadaikan setelah jatuh tempo. Apabila pada saat jatuh tempo nasabah belum dapat mengembalikan  uang pinjaman, dapat diperpanjang 1(satu) kali masa jatuh tempo, demikian seterusnya.
5.    Apabila nasabah tidak dapat mengembalikan uang pinjaman dan tidak memperpanjang akad gadai, selanjutnya pegadaian melakukan kegiatan pelelangan untuk menjual barang tersebut dan mengambil pelunasan uang pinjaman oleh nasabah dari hasil penjualan barang gadai.
6.    Manfaat ar Rahn (Gadai)
Manfaat yang diambil oleh bank dari prinsip ar rahn adalah:
a.       Menjaga kemungkinan nasabah lalai atau bermain-main dengan fasilitas pembiayaan yang diberikan oleh bank.
b.      Memberikan keamanan bagi segenap penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak akan hilang jika nasabah peminjam ingkar atau lalai karena ada suatu asset /barang jaminan yang dipegang bank.
c.       Jika rahn ditetapkan dalam mekanisme pegadaian, maka barang sudah tentu akan sangat membantu saudara kita yang kesulitan dana terutama di daerah-daerah. [7])

E.     Pemanfaatan Barang Gadai
Pemilik barang tetap berhak mengambil manfaat dari barang yang digadaikan, bahkan semua manfaat tetap kepunyaan penggadai. Kerusakan barang pun tetap menjadi tanggungannya. Sabda Rosululloh SAW :
“Rungguhan tidak menutup pemiliknya dari manfaat baraang itu, faedahnya kepunyaan dia, dan dia wajib membayar dendanya” (H.R Syafi’i dan Daruqutni)[8])
Orang yang menerima rungguhan juga dapat mengambil manfaat barang dengan sekedar mengganti kerugiannya, untuk menjaga barang tersebut.
Sabda Rosululloh SAW :
Apabila seekor kambing dirungguhkan, maka yang memegang rungguhan boleh mengambil atau meminum susunya sekadar sebanyak makanan yang diberikannya pada kambing itu, maka jika dilebihkannya dari sebanyak itu, lebihnya itu menjadi riba” (H.R Hammad bin Salmah)[9])













BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Gadai adalah suatu barang yang dijadikan peneguh atau penguat kepercayaan dalam utang piutang. Barang itu boleh dijual jika hutang tidak dibayar, tetapi penjualan itu hendaklah dengan keadilan. Rukun gadai meliputi lafaz (akad), aqid, barang yang digadaikan (marhun), hutang.

B.     Saran
Sudah seharusnya semua dikembalikan kapada apa yang sudah diajarkan syara’ yang sesuai dengan dalil-dalil yang sudah disampaikan melalui al-Qur’an dan as-sunah. Karena sesuatu yang baru atau diada-adakan belum tentu benar menurut syara” dan bahkan seringkali menyesatkan.












DAFTAR PUSTAKA

Raja Abdullah bin Abdul aziz ali sa’ud, Al-Qur’an dan Terjemahannya
Rasjid, Sulaiman. 2001. Fiqh Islam. Bandung : Sinar Baru Algensindo.
Sabiq, Sayyid, 2001. Fikih Sunnah, Jakarta: Grafindo Persada.
Sarwat, ahmad, 2002, Fikih Sehari-hari. Jakarta: Gramedia
Suhendi, Hendi. 2000. Fiqh Muam,lah. Jakarta: Grafindo Persada.
Sutedi, andrian, 2011, Hukum Gadai Syariah. Bandung: Alfabeta.
Syafe’i, Rachmat. 2001. Fiqih muamalah. Bandung : Pusaka Setia
Zuhdi, Masyfuk. 1997. Masail Fiqhiyyah. Jakarta: Hajimasagung.



[1] ) Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jakarta: Grafindo Persada, 2001. hlm. 139.
[2] ) Raja Abdullah bin Abdul aziz ali sa’ud, Al-Qur’an dan Terjemahannya. hlm. 71
[3])  Prof. Drs. H. Masyfuk zuhdi. Masail fiqhiyah, Jakarta: Haji masagung, 1997. hlm.122
[4])  H. Hendi suhendi, Fiqh muamalah, jakarta: Grafindo persada, 2000.  hlm.105
[5] ) Prof. DR. H. Rachmat Syafe’i, M. A. Fiqih muamalah, Bandung : Pusaka Setia, 2001,
hlm.78
[6] ) Andrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah, Bandung: Alfabeta. 2011, hal 135

[7] ) Ahmad Sarwat, Fikih Sehari-hari. Jakarta: PT Gramedia, 2002,  hal 93
[8] ) H.Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2001, hal 310
[9] ) Ibid., hlm 311

Tidak ada komentar:

Posting Komentar