NAMA : MUHAMMAD ASTORI MAHARTONI
NPM :
1601010163
KELAS : E
1. Ijtihad kontemporer dilakukan dengan berbagai
pendekatan, seperti menggunakan perangkat metodologis ushul fiqih dan
menggunakan perangkat metodologis ilmiah modern. Ijtihad kontemporer juga melibatkan
ilmu-ilmu sosial humaniora, sehingga harmonisasi teks-teks agama dengan
perkembangan dan realitas sosial tersebut dapat berjalan dengan lancar. Dengan
demikian, maka produk hukum yang dihasilkan benar-benar kontekstual dan dapat
menjawab permasalahan yang muncul dalam kehidupan masyarakat. Supaya hukum
islam tetap aktual untuk mengatur kehidupan umat Islam dimasa kini, diperlukan
hukum islam dalam bentuk yang baru dan tidak harus mengambil alih semua hukum
fiqih yang lama. Untuk mencapai itu tentu saja tidak akan bisa lepas dari peran
usul fiqih dengan ijtihadnya sebagai pondasi fiqih.
Hal tersebut
memberikan gambaran bahwa metode dan ijtihad harus kontekstual, dalam artian
harus memperhatikan perkembangan zaman dan perkembangan kehidupan sosial masyarakat.
Terkait model
ijtihad kontemporer ini, Yusuf al-Qaradawi meneyebutkan model dalam
melaksanakan ijtihad, yakni ijtihad intiqa’i, ijtihad insya’i, dan ijtihad.
Tentang ijtihad intiqa’i dimana dilakukan dengan memilih satu pendapat dari
beberapa pendapat terkuat yang terdapat pada khazanah fiqih Islam yang penuh
dengan fatwa dan keputusan hukum. Sementara ijtihad insya’i dilakukan dengan
usaha pengambilan konklusi hukum dari suatu persoalan yang belum pernah
dikemukakan oleh ulama terdahulu. Sedangkan yang ketiga adalah dengan memadukan
antara ijtihad intiqa’i dan ijtihad insya’i, yaitu memilih pendapat para ulama
terdahulu yang dipandang lebih relevan dan kuat, kemudian dalam pendapat
tersebut ditambah unsur-unsur ijtihad baru.
2. Bila dilihat dari sistem operasionalnya, maka
e-commerce menurut kacamata fiqh kontemporer sebenarnya merupakan alat, media,
metodhe teknis ataupun sarana (wasilah) yang dalam kaidah syari’ah bersifat
fleksibel, dinamis, dan variable. Hal ini termasuk persoalan teknis keduniawian
yang Rasulullah pasrahkan sepenuhnya selama dalam koridor syari’ah kepada umat
islam untuk menguasai dan memanfaatkan demi kemakmuran bersama.
Menurut kaidah
fiqh, prinsip dasar dalam transaksi muamalah dan persyaratannya yang terkait
dengannya adalah boleh selama tidak dilarang oleh syari’ah atau bertentangan
dengan dalil. Oleh karena itu, hukum transaksi dengan menggunakan media
e-commerce adalah boleh berdasarkan prinsip maslahah karena akan kebutuhan
manusia dengan kemajuan teknologi ini dengan berusaha memperbaiki dan
menghindari kelemahan dan penyimpangan teknik dari syari’ah.
Melihat dari
segi mekanisme yang dapat diperhatikan, transaksi e-commerce diperbolehkan.
Khususnya dianalogikan dalam jual beli pesanan. Namun ada pengecualian yaitu
tidak boleh dalam keadaan barang atau jasa yang diharamkan dalam islam.
Mengenai objek e-commerce harus memenuhi syarat objek akad yaitu Telah ada
waktu akad diadakan, Dibenarkan oleh syariah, Harus jelas dan diketahui Objek
akadnya dan Dapat diserahterimakan.
3. Hukum-hukum
Transplantasi
A. Hukum pencangkokan organ tubuh donor yang masih hidup.
Para ahli hukum
Islam berbeda pendapat mengenai maslah ini, di antaranya:
1.
Pendapat pertama mengatakan “haram”
وَلاَتُلْقُوا
بِاءَيْدِكُمْ اِلَى التَّهْلُكَةِ
Artinya: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirmu
sendiri ke dalam kebinasaan”
Ayat ini
mengingatkan manusia agar tidak gegabah dalam berbuat sesuatu yang bisa
berakibat fatal bagi dirinya, sekalipun mempunyai tujuan kemanusiaan yang
luhur. Sebab selain ia mengubah ciptaan Allah, ia juga menghadapi resiko
sewaktu-waktu mengalami ketidaknormalan dari pasangan organ tubuh yang tinggal
sebelah itu.
دَرْءُ
المَفَاسِدِ مُقَدَّمُ عَلَى جَلْبِ المَصَالِحِ
Artinya: “Menghindari kerusakan (resiko) di dahulukan
atas menarik kemaslahatan”.
اَلضَّرَرُ لاَ
يُزَالُ بِالضَّرَرِ
Artinya: “Bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya
lainnya”.
2.
Pendapat yang kedua mengatakan “boleh”, dengan syarat:
a.
Merupakan jalan terakhir.
b.
Dengan adanya pencangkokan itu diduga kuat menurut team medis si pasien
dapat disembuhkan.
c.
Adanya kerelaan dari pendonor. Hal
tersebut berdasarkan dalil
الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ اْلمَحْظُوْرَاتِ
Artinya: “kondisi darurat itu dapat membolehkan
Sesuatu yang diharamkan”.
B. Pencangkokan organ tubuh dari donor yang dalam keadaan
hidup koma atau diduga kuat akan meninggal.
Hadist Nabi
saw. Riwayat Malik dan Amir bin Yahya, riwayat al-Hakim, al- Baihaki dan
Daruquthni dari Abu Sa’id al-Khudri dan riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Abbas dan
Ubadah bin Shamit, Nabi saw, bersabda:
لاَ ضَرَرَ
وَلاَضِرَارَ
Artinya: “Tidak boleh membuat mudlarat kepada dirinya
dan tidak boleh pula membuat mudlarat kepada orang lain”. Misalnya, orang
yang mengambil organ tubuh dari seorang donor yang belum mati secara klinis dan
yuridis untuk transplantasi, berarti ia membuat mudlarat kepada donor yang
berakibat mempercepat kematiannya.
C. Hukum transplantasi (pencangkokan organ tubuh) dari
donor yang telah meninggal.
Pencangkokan
organ tubuh dari mayat kepada orang yang masih hidup, menurut kajian ulama
terdahulu ada yang mutlak “mengharamkan”, Pengharaman tersebut juga didasrkan
pada hadist:
اْنَّ كَسْرَ
عَظمِ المَيّتِ مِثْلُ كَسْرٍ عَظْمِهِ حَيًّا ( رواه احمد و ابو داود وابن ماجه
عن عا ئشة)
Artinya: “ sesungguhnya memecahkan tulang mayat itu seperti
memecahkannya di waktu ia masih hidup”. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu
Majah dari Aisyah).
Pendapat yang
lain adalah “boleh”, dengan syarat Karena
sangat membutuhkan, Tidak ditemukan (pengobatan) yang lain selain dari anggota
tubuh manusia, Antara resipien dan donor ada kesamaan agama, Orang yang diambil
organ ditubuhnya benar-benar telah meninggal, Proses pengambilan organ tubuh
harus dilakukan dengan cara halus, Harus mendapat izin dari yang punya organ
tubuh atau walinya (ahli warisnya), Resipien berada dalam keadaan darurat yang
mengancam jiwanya, Pencangkokan tidak akan menimbulkan komplikasi penyakit yang
lebih gawat bagi resipien dibandingkan dengan keadaan sebelum pencangkokan.
D. Pencangkokan organ tubuh binatang kepada manusia.
1. Imam Hanafi dan Imam Syafi’i mengharamkan dalam
keadaan yang tidak memaksa mempergunakannya, karena masih ada obat lain yang
suci sebagai penggantinya.
2. Imam Hanafi dan Imam Syafi’i membolehkan dalam keadaan
yang sangat diperlukan karena tidak ada obat lain yang dipakai untuk gantinya,
menurut nasehat seorang dokter muslim yang ahli.
4. Hukum operasi plastik ada yang mubah dan ada yang
haram.
A. Operasi Plastik yang mubah
Operasi plastik
yang mubah adalah yang bertujuan untuk memperbaiki cacat sejak lahir (al-uyub
al-khalqiyyah) seperti bibir sumbing, atau cacat yang datang kemudian (al-uyub
al-thari`ah) akibat kecelakaan, kebakaran, atau semisalnya, seperti wajah
yang rusak akibat kebakaran/kecelakaan.
Operasi plastik
untuk memperbaiki cacat yang demikian ini hukumnya adalah mubah, berdasarkan
keumuman dalil yang menganjurkan untuk berobat (al-tadawiy). Nabi SAW
bersabda, “Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, kecuali Allah
menurunkan pula obatnya.” (HR Bukhari, no.5246).
B. Operasi Plastik yang Diharamkan
Adapun operasi
plastik yang diharamkan, adalah yang bertujuan semata untuk mempercantik atau
memperindah wajah atau tubuh, tanpa ada hajat untuk pengobatan atau memperbaiki
suatu cacat. Contohnya, operasi untuk memperindah bentuk hidung, dagu, buah
dada, atau operasi untuk menghilangkan kerutan-kerutan tanda tua di wajah, dan
sebagainya.
Dalil
keharamannya firman Allah SWT (artinya) : “dan akan aku (syaithan) suruh
mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya”. (QS
An-Nisaa` : 119).
Ayat ini datang
sebagai kecaman (dzamm) atas perbuatan syaitan yang selalu mengajak
manusia untuk melakukan berbagai perbuatan maksiat, di antaranya adalah
mengubah ciptaan Allah (taghyir khalqillah). Operasi plastik untuk
mempercantik diri termasuk dalam pengertian mengubah ciptaan Allah, maka
hukumnya haram. (M. Al-Mukhtar asy-Syinqithi, Ahkam Jirahah Al-Thibbiyyah,
hal. 194).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar