Selasa, 23 Oktober 2018

UTS LAH MASA ENGGA


NAMA           : MUHAMMAD ASTORI MAHARTONI
NPM               : 1601010163
KELAS           : E

1.      Ijtihad kontemporer dilakukan dengan berbagai pendekatan, seperti menggunakan perangkat metodologis ushul fiqih dan menggunakan perangkat metodologis ilmiah modern. Ijtihad kontemporer juga melibatkan ilmu-ilmu sosial humaniora, sehingga harmonisasi teks-teks agama dengan perkembangan dan realitas sosial tersebut dapat berjalan dengan lancar. Dengan demikian, maka produk hukum yang dihasilkan benar-benar kontekstual dan dapat menjawab permasalahan yang muncul dalam kehidupan masyarakat. Supaya hukum islam tetap aktual untuk mengatur kehidupan umat Islam dimasa kini, diperlukan hukum islam dalam bentuk yang baru dan tidak harus mengambil alih semua hukum fiqih yang lama. Untuk mencapai itu tentu saja tidak akan bisa lepas dari peran usul fiqih dengan ijtihadnya sebagai pondasi fiqih.
Hal tersebut memberikan gambaran bahwa metode dan ijtihad harus kontekstual, dalam artian harus memperhatikan perkembangan zaman dan perkembangan kehidupan sosial masyarakat.
Terkait model ijtihad kontemporer ini, Yusuf al-Qaradawi meneyebutkan  model dalam melaksanakan ijtihad, yakni ijtihad intiqa’i, ijtihad insya’i, dan ijtihad. Tentang ijtihad intiqa’i dimana dilakukan dengan memilih satu pendapat dari beberapa pendapat terkuat yang terdapat pada khazanah fiqih Islam yang penuh dengan fatwa dan keputusan hukum. Sementara ijtihad insya’i dilakukan dengan usaha pengambilan konklusi hukum dari suatu persoalan yang belum pernah dikemukakan oleh ulama terdahulu. Sedangkan yang ketiga adalah dengan memadukan antara ijtihad intiqa’i dan ijtihad insya’i, yaitu memilih pendapat para ulama terdahulu yang dipandang lebih relevan dan kuat, kemudian dalam pendapat tersebut ditambah unsur-unsur ijtihad baru.
2.      Bila dilihat dari sistem operasionalnya, maka e-commerce menurut kacamata fiqh kontemporer sebenarnya merupakan alat, media, metodhe teknis ataupun sarana (wasilah) yang dalam kaidah syari’ah bersifat fleksibel, dinamis, dan variable. Hal ini termasuk persoalan teknis keduniawian yang Rasulullah pasrahkan sepenuhnya selama dalam koridor syari’ah kepada umat islam untuk menguasai dan memanfaatkan demi kemakmuran bersama.
Menurut kaidah fiqh, prinsip dasar dalam transaksi muamalah dan persyaratannya yang terkait dengannya adalah boleh selama tidak dilarang oleh syari’ah atau bertentangan dengan dalil. Oleh karena itu, hukum transaksi dengan menggunakan media e-commerce adalah boleh berdasarkan prinsip maslahah karena akan kebutuhan manusia dengan kemajuan teknologi ini dengan berusaha memperbaiki dan menghindari kelemahan dan penyimpangan teknik dari syari’ah.
Melihat dari segi mekanisme yang dapat diperhatikan, transaksi e-commerce diperbolehkan. Khususnya dianalogikan dalam jual beli pesanan. Namun ada pengecualian yaitu tidak boleh dalam keadaan barang atau jasa yang diharamkan dalam islam. Mengenai objek e-commerce harus memenuhi syarat objek akad yaitu Telah ada waktu akad diadakan, Dibenarkan oleh syariah, Harus jelas dan diketahui Objek akadnya dan Dapat diserahterimakan.
3.      Hukum-hukum Transplantasi
A.       Hukum pencangkokan organ tubuh donor yang masih hidup.
Para ahli hukum Islam berbeda pendapat mengenai maslah ini, di antaranya:
1.        Pendapat pertama mengatakan “haram”
وَلاَتُلْقُوا بِاءَيْدِكُمْ اِلَى التَّهْلُكَةِ
Artinya: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirmu sendiri ke dalam kebinasaan”
Ayat ini mengingatkan manusia agar tidak gegabah dalam berbuat sesuatu yang bisa berakibat fatal bagi dirinya, sekalipun mempunyai tujuan kemanusiaan yang luhur. Sebab selain ia mengubah ciptaan Allah, ia juga menghadapi resiko sewaktu-waktu mengalami ketidaknormalan dari pasangan organ tubuh yang tinggal sebelah itu.
 دَرْءُ المَفَاسِدِ مُقَدَّمُ عَلَى جَلْبِ المَصَالِحِ
Artinya: “Menghindari kerusakan (resiko) di dahulukan atas menarik kemaslahatan”.
   اَلضَّرَرُ لاَ يُزَالُ بِالضَّرَرِ
Artinya: “Bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lainnya”.
2.        Pendapat yang kedua mengatakan “boleh”, dengan syarat:
a.        Merupakan jalan terakhir.
b.        Dengan adanya pencangkokan itu diduga kuat menurut team medis si pasien dapat disembuhkan.
c.         Adanya kerelaan dari pendonor.  Hal tersebut berdasarkan dalil
الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ اْلمَحْظُوْرَاتِ
Artinya: “kondisi darurat itu dapat membolehkan Sesuatu yang diharamkan”.
B.     Pencangkokan organ tubuh dari donor yang dalam keadaan hidup koma atau diduga kuat akan meninggal.
Hadist Nabi saw. Riwayat Malik dan Amir bin Yahya, riwayat al-Hakim, al- Baihaki dan Daruquthni dari Abu Sa’id al-Khudri dan riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Abbas dan Ubadah bin Shamit, Nabi saw, bersabda:
لاَ ضَرَرَ وَلاَضِرَارَ
Artinya: “Tidak boleh membuat mudlarat kepada dirinya dan tidak boleh pula membuat mudlarat kepada orang lain”. Misalnya, orang yang mengambil organ tubuh dari seorang donor yang belum mati secara klinis dan yuridis untuk transplantasi, berarti ia membuat mudlarat kepada donor yang berakibat mempercepat kematiannya.
C.     Hukum transplantasi (pencangkokan organ tubuh) dari donor yang telah meninggal.
Pencangkokan organ tubuh dari mayat kepada orang yang masih hidup, menurut kajian ulama terdahulu ada yang mutlak “mengharamkan”, Pengharaman tersebut juga didasrkan pada hadist:
اْنَّ كَسْرَ عَظمِ المَيّتِ مِثْلُ كَسْرٍ عَظْمِهِ حَيًّا ( رواه احمد و ابو داود وابن ماجه عن عا ئشة)
Artinya: “ sesungguhnya memecahkan tulang mayat itu seperti memecahkannya di waktu ia masih hidup”. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Aisyah).
Pendapat yang lain adalah “boleh”, dengan syarat  Karena sangat membutuhkan, Tidak ditemukan (pengobatan) yang lain selain dari anggota tubuh manusia, Antara resipien dan donor ada kesamaan agama, Orang yang diambil organ ditubuhnya benar-benar telah meninggal, Proses pengambilan organ tubuh harus dilakukan dengan cara halus, Harus mendapat izin dari yang punya organ tubuh atau walinya (ahli warisnya), Resipien berada dalam keadaan darurat yang mengancam jiwanya, Pencangkokan tidak akan menimbulkan komplikasi penyakit yang lebih gawat bagi resipien dibandingkan dengan keadaan sebelum pencangkokan.
D.    Pencangkokan organ tubuh binatang kepada manusia.
1.      Imam Hanafi dan Imam Syafi’i mengharamkan dalam keadaan yang tidak memaksa mempergunakannya, karena masih ada obat lain yang suci sebagai penggantinya.
2.      Imam Hanafi dan Imam Syafi’i membolehkan dalam keadaan yang sangat diperlukan karena tidak ada obat lain yang dipakai untuk gantinya, menurut nasehat seorang dokter muslim yang ahli.
4.      Hukum operasi plastik ada yang mubah dan ada yang haram.
A.    Operasi Plastik yang mubah
Operasi plastik yang mubah adalah yang bertujuan untuk memperbaiki cacat sejak lahir (al-uyub al-khalqiyyah) seperti bibir sumbing, atau cacat yang datang kemudian (al-uyub al-thari`ah) akibat kecelakaan, kebakaran, atau semisalnya, seperti wajah yang rusak akibat kebakaran/kecelakaan.
Operasi plastik untuk memperbaiki cacat yang demikian ini hukumnya adalah mubah, berdasarkan keumuman dalil yang menganjurkan untuk berobat (al-tadawiy). Nabi SAW bersabda, “Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, kecuali Allah menurunkan pula obatnya.” (HR Bukhari, no.5246).
B.     Operasi Plastik yang Diharamkan
Adapun operasi plastik yang diharamkan, adalah yang bertujuan semata untuk mempercantik atau memperindah wajah atau tubuh, tanpa ada hajat untuk pengobatan atau memperbaiki suatu cacat. Contohnya, operasi untuk memperindah bentuk hidung, dagu, buah dada, atau operasi untuk menghilangkan kerutan-kerutan tanda tua di wajah, dan sebagainya.
Dalil keharamannya firman Allah SWT (artinya) : “dan akan aku (syaithan) suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya”. (QS An-Nisaa` : 119).
Ayat ini datang sebagai kecaman (dzamm) atas perbuatan syaitan yang selalu mengajak manusia untuk melakukan berbagai perbuatan maksiat, di antaranya adalah mengubah ciptaan Allah (taghyir khalqillah). Operasi plastik untuk mempercantik diri termasuk dalam pengertian mengubah ciptaan Allah, maka hukumnya haram. (M. Al-Mukhtar asy-Syinqithi, Ahkam Jirahah Al-Thibbiyyah, hal. 194).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar