Senin, 18 September 2017

MAKALAH TASAWUF. Mahabbah, Fana Baqa, Hulul, Wahdatul Wujud, Ittihad



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Islam adalah agama yang dibawa oleh seluruh Nabi dan Rasul mulai dari Nabi Adam hingga Nabi Muhammad shallaahu alaihi wasallam. Islam pula adalah satu-satunya agama yang diridloi oleh Allah. Oleh kerena Islam adalah agama yang dirudhloi oleh alloh, sudah tentu islam adalah agama yang mencakup segala aspek kehidupan ini.
Sebagaimana Nabi Muhammad diutus untuk memperbaiki akhlak ummat, maka Islam mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan akhlak manusia. Salah satu yang termasuk adalah akhlak tasawuf.
Dalam akhlak tasawuf dibahas beberapa maqamat dan ahwal untuk mencapai ma’rifat. Diantaranya adalah fana dan baqa, mahabbah,hulul, ittihad, wahdatul wujud, dll.
Maka, dalam makalah ini penulis membahas fana dan baqa, mahabbah,hulul, ittihad, wahdatul wujud agar pembaca mengetahui konsep dari beberapa konsep akhlak tasawuf. Lebih luasnya lagi, penulis berharap amal dan perbuatan yang kita kerjakan sesuai dengan ajaran Rasul.
Mudah-mudahan dengan penbahasan sekilas ini dapat menambah wawasan penulis khususnya dan pembaca umumnya.

B.     Rumusan Masalah
1.         Apa Pengertian Mahabbah ?
2.         Apa Dasar Hukum Mahabbah?
3.         Siapa Tokoh Yang Mengembangkan Paham Mahabbah?
4.         Apa Pengertian Fana Dan Baqa’ ?
5.         Siapa Tokoh Yang Mengembangkan Paham Fana Dan Baqa’?
6.         Apa Dasar Hukum Fana Dan Baqa’?
7.         Apa Pengertian Hulul?
8.         Siapa Tokoh Yang Mengembangkan Paham Al-Hulul?
9.         Apa Dasar Hukum Hulul?
10.     Apa Pengertian Wahdatul Wujud?
11.     Siapa Tokoh Yang Mengembangkan Paham Wahdatul Wujud?
12.     Bagaimana Konsep Manusia Yang Sehat Dan Sakit Menurut Paham Wahdatul Wujud?
13.     Apa Dasar Hukum Wahdatul Wujud?
14.     Apa Pengertian Ittihad?
15.     Siapa Tokoh Yang Mengembangkan Paham Ittihad?

C.    Tujuan Makalah
1.         Mengetahui Pengertian Mahabbah.
2.         Mengetahui Dasar Hukum Mahabbah.
3.         Mengetahui Tokoh Yang Mengembangkan Paham Mahabbah.
4.         Mengetahui Pengertian Fana Dan Baqa’.
5.         Mengetahui Tokoh Yang Mengembangkan Paham Fana Dan Baqa’.
6.         Mengetahui Dasar Hukum Fana Dan Baqa’.
7.         Mengetahui Pengertian Hulul.
8.         Mengetahui Tokoh Yang Mengembangkan Paham Al-Hulul.
9.         Mengetahui Dasar Hukum Hulul.
10.     Mengetahui Pengertian Wahdatul Wujud.
11.     Mengetahui Tokoh Yang Mengembangkan Paham Wahdatul Wujud.
12.     Mengetahui Konsep Manusia Yang Sehat Dan Sakit Menurut Paham Wahdatul Wujud
13.     Mengetahui Dasar Hukum Wahdatul Wujud.
14.     Mengetahui Pengertian Ittihad.
15.     Mengetahui Tokoh Yang Mengembangkan Paham Ittihad







BAB II
PEMBAHASAN

A.    Mahabbah
1.      Pengertian Mahabbah
Kata mahabbah berasal dari kata ahabbayuhibbumahabatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan yang mendalam. Mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati sehingga sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk kedalam diri yang mencintai.
Dalam kajian tasawuf, mahabbah berarti mencintai Allah dan mengandung arti patuh kepada-Nya dan membenci sikap yang melawan kepada-Nya, mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali Allah SWT serta menyerahkan seluruh diri kepada-Nya. Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran Yang Mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan[1])
Selanjutnya Harun Nasution mengatakan bahwa mahabbah adalah cinta dan yang dimaksud ialah cinta kepada Tuhan. Lebih lanjut Harun Nasution mengatakan, pengertian mahabbah antara lain yang berikut:
a.       Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya
b.      Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
c.       Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi, yaitu Tuhan
Dengan uraian tersebut kita dapat memperoleh pemahaman bahwa mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati, sehingga sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk kedalam diri yang dicintai. Tujuannya adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa.
2.         Dasar Hukum Mahabbah
Ajaran mahabbah memiliki dasar dan landasan, baik di dalam Al-quran maupun Sunah Nabi SAW.
a.       Dalil-dalil dalam al-Qur’an, misalnya sebagai berikut:

  وَمِنَ النَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ اللّهِ أَندَاداً يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللّهِ وَالَّذِينَ آمَنُواْ أَشَدُّ حُبّاً لِّلّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُواْ إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلّهِ جَمِيعاً وَأَنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ -١٦٥
Artinya : ”Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Tuhan selain Allah sebagai tandingan, yang mereka cintai seperti mencintai Allah. Adapun orang -orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah. Sekiranya orang-orang yang berbuat zalim itu melihat, ketika mereka melihat azab (pada hari Kiamat), bahwa kekuatan itu semuanya milik Allah dan bahwa Allah sangat berat azab-Nya (niscaya mereka menyesal)”. (QS. Al Baqarah/2: 165)

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ -٣١-
Artinya : “Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah Mencintaimu dan Mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”. (QS. Ali Imron/3: 31).
b.      Dalil-dalil dalam hadis Nabi Muhammad SAW, misalnya sebagai berikut:

….. وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا

….Tidaklah seorang hamba-Ku senantiasa mendekati-Ku dengan ibadah-ibadah sunah kecuali Aku akan mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku pun menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar; menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat; menjadi tangannya yang ia gunakan untuk memukul; dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan.…[2])
3.         Tokoh Yang Mengembangkan Paham Mahabbah
Aliran mahabbah dipelopori dan dikembangkan oleh seorang sufi wanita yang bernama Rabi’ah Al-‘Adawiah. Rabi’ah al-adawiyah adalah seorang zahid perempuan yang amat besar dari bashrah, Irak. Ia lahir di Basrah pada tahun 714 M.
Rabiah kehilangan kedua orang tuanya waktu ia masih kecil. Ketiga orang kakaknya perempuan juga meninggal ketika wabah kelaparan melanda basra. Ia sendiri jatuh ke tangan orang yang kejam, dan orang ini menjualnya sebagai budak belia dengan harga yang tidak seberapa..
Si kecil Rabiah menghabiskan waktunya dengan melaksanakan segala perintah  majikannya. Malam hari di laluinya dengan berdoa. Pada suatu malam, majikannya melihat tanda kebesaran rohani Rabiah, ketika Rabiah berdoa kepada Allah “Ya Rabbi, Engkau telah membuatku menjadi budak belian seorang manusia sehingga aku terpaksa mengabdi kepadanya. Seandainya aku bebas, pasti aku persembahkan seluruh waktu dalam hidupku ini untuk berdoa kepadaMu” Tiba-tiba tampak cahaya di dekat kepalanya, dan melihat itu majikannya menjadi sangat ketakutan. keesokan harinya Rabiah dibebaskan oleh majikannya tersebut.
Setelah bebas, Rabiah menghabiskan waktunya hanya untuk beribadah kepada Alloh SWT. Cinta Rabi’ah yang tulus tanpa mengharapkan sesuatu pada Tuhan, terlihat dari ungkapan do’a-do’a yang disampikannya. Misalnya salah satu do’anya “Ya Tuhanku, bila aku menyembah-Mu lantaran takut kepada neraka, maka bakarlah diriku dalam neraka; dan bila aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga, maka jauhkanlah aku dari surga; namun jika aku menyembah-Mu hanya demi engkau, maka janganlah engkau tutup keindahan abadi-Mu”[3])

B.     Fana dan Baqa’
1.         Pengertian Fana dan Baqa’
Dari segi bahasa al-fana berarti hilangnya wujud sesuatu. Fana berbeda dengan al-fasad (rusak). Fana artinya tidak tampak sesuatu, sedangkan rusak adalah berubahnya sesuatu kepada sesuatu yang lain. Adapun artinya fana menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri.
Mustafa Zahri mengatakan bahwa yang dimaksud fana adalah lenyapnya indrawi atau kebasyariahan, yakin sifat sebagai manusia biasa yang suka pada syahwat dan hawa nafsu. Orang yang telah diliputi hakikat ketuhanan sehingga tiada lagi melihat daripada alam baharu, alam rupa dan alam wujud ini, maka dikatakan ia telah fana dari alam makhluk. Selain itu fana juga dapat berarti hilangnya sifat-sifat buruk (maksiat) lahir batin.
Sebagai akibat dari fana adalah baqa. Secara harfiah baqa berarti kekal. Sedangkan yang dimaksud para sufi, baqa adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Karena lenyapnya (fana) sifat-sifat basyariah, maka yang kekal adalah sifat-sifat ilahiah.[4])
Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa yang dimaksud dengan fana adalah lenyapnya sifat-sifat basyariah, akhlak yang tercela, kebodohan dan perbuatan maksiat dari diri manusia. Sedangkan baqa adalah kekalnya sifat-sifat ketuhanan, akhlak yang terpuji, ilmu pengetahuan dan kebersihan diri dari dosa dan maksiat. Untuk mencapai baqa ini perlu dilakukan usaha-usaha seperti bertaubat, berzikir, beribadah, dan menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji.
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa yang dituju dengan fana dan baqa ini adalah mencapai persatuan secara rohaniah dan batiniah dengan Tuhan, sehingga yang didasari hanya Tuhan dalam dirinya.

2.         Tokoh Yang Mengembangkan Paham Fana Dan Baqa’
Dalam sejarah tasawuf, Abu Yazid al-Bustami disebut-sebut sebagai Sufi yang pertama kali memperkenalkan paham Fana dan Baqa. Nama kecilnya adalah Thaifur. Nama beliau sangat istimewa dalam kalangan kaum Sufi.
Abu Yazid adalah salah satu tokoh sufi yang telah melewati ma’rifah melalui Fana dan Baqa. Ketika Abu Yazid telah fana dan mencapai baqa maka dari mulutnya keluarlah kata-kata yang ganjil, yang jika tidak hati-hati memahami akan menimbulkan kesan seolah-olah Abu Yazid mengakui dirinya sebagai Tuhan padahal sesungguhnya ia tetap manusia  biasa, yaitu manusia yang mengalami pengalaman batin bersatu dengan Tuhan. Diantara ucapan ganjilnya ialah “tidak ada tuhan melainkan saya. Sembahlah saya, amat sucilah saya, alangkah besarnya kuasaku”.
Tentang kefanaan Abu Yazid ini pernah diceritakan oleh sahabatnya Zunnun Almishri mengutus untuk menemui Abu Yazid, ketika utusan itu sampai, diketuklah pintu rumah Abu Yazid, terjadilah percakapan antara utusan dan Abu Yazid:
Abu Yazid    : “Siapa di luar?”
Utusan          : “Kami hendak berjumpa dengan Abu Yazid”
Ab Yazid      : “Abu Yazid siapa? Dimana dia? Sayapun mencari Abu
                        Yazid.
Rombongan utusan itupun pulang dan kemudian memberitahukan kepada Zunnun. Mendengar keterangan itu Zunnun berkata, “Sahabatku Abu Yazid telah pergi kepada Allah dan dia sedang fana.”
Ucapan yang keluar dari mulut Abu Yazid itu, bukanlah kata-katanya sendiri tetapi kata-kata itu diucapkannya melalui diri Tuhan dalam Ittihad yang dicapainya dengan tuhan. Dengan demikian sebenarnya Abu Yazid tidak mengaku dirinya sebagai tuhan

3.      Dasar hukum fana dan baqa’
Ajaran fana dan baqa' memiliki dasar dan landasan, Dalil-dalil dalam al-Qur’an, misalnya sebagai berikut:

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Katakanlah, "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa. Barang siapa mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.”( Q.S Al-Kahfi : 110 )

كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ (٢٦) وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلالِ وَالإكْرَامِ (٢٧)
“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Tetapi zat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan tetap kekal.” (Q.S Ar Rahman : 26-27 )[5])



C.    Hulul
1.      Pengertian Hulul
Kata Al-Hulul, berdasarkan pengertian bahasa berasal dari kata halla-yahlu-hululan yang berarti menempati. Al-Hulul dapat berarti menempati suatu tempat. Jadi hulul secara bahasa berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana. Adapun menurut istilah ilmu tasawuf, Al-Hulul menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma’ sebagai dikutip  Harun Nasution, adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan telah memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat didalamnya setelah sifat-sifat kemanusian yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.
Al-Hulul mempunyai dua bentuk, yaitu :
a.       Al-Hulul Al-Jawari yakni keadaan dua esensi yang satu mengambil tempat pada yang lain (tanpa persatuan), seperti air mengambil tempat dalam bejana.
b.      Al-Hulul As-Sarayani yakni persatuan dua esensi (yang satu mengalir didalam yang lain) sehingga yang terlihat hanya satu esensi, seperti zat air yang mengalir didalam bunga.
Al-hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap dimana manusia dan Tuhan bersatu secara rohaniah. Dalam hal ini hulul pada hakikatnya istilah lain dari al-ittihad sebagaimana telah disebutkan diatas. Tujuan dari hulul adalah mencapai persatuan secara batin. Untuk itu Hamka mengatakan bahwa al-hulul adalah ketuhanan (lahut) menjelma kedalam diri insan (nasut0, dan hal ini terjadi pada saat kebatinan seorang insan telah suci bersih dalam menempuh perjalanan hidup kebatinan.[6])

2.      Tokoh Yang Mengembangkan Paham Al-Hulul
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa tokoh yang mengembangkan paham al-Hulul adalah al-Hallaj. Nama lengkapnya adalah Husein bin Mansur al-Hallaj. Ia lahir tahun 224 H. (858 M.) di negeri Baidha, salah satu kota kecil yang terletak  di Persia. Dia tinggal sampai dewasa di Wasith dekat dengan Baghdad, dan dalam usia 16 tahun dia telah pergi belajar pada seorang sufi yang terbesar dan terkenal, bernama Amr al-Makki, dan pada tahun 264 H. ia masuk kota Baghdad dan belajar pada al-Junaid yang juga seorang sufi. Selain itu ia pernah juga menunaikan ibadah haji di Makkah selama tiga kali. Dengan riwayat hidup yang singkat ini jelas bahwa ia memiliki dasar pengetahua tentang tasawuf yang cukup kuat dan mendalam.
Dalam perjalanan hidup selanjutnya ia pernah keluar masuk penjara akibat konflik dengan ulama fikih. Pandangan-pandangan tasawuf yang ganjil sebagaimana telah dikemukakan menyebabkan seorang ulama fikih bernama ibn Daud al-Isfahani mengeluarkan fatwa untuk membantah dan memberantas paham tasawuf al-Hallaj.

3.      Dasar hukum hulul
Ajaran hulul memiliki dasar dan landasan, Dalil-dalil dalam al-Qur’an, misalnya sebagai berikut:
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآَدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: Sujudlah kalian kepada Adam, maka mereka pun sujud, kecuali Iblis, ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan yang kafir.” (Q.S Al-Baqarah: 34)[7])


D.    Wahdatul Wujud
1.         Pengertian Wahdatul Wujud
Wahdatul wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu Wahdat artinya sendiri, tunggal, atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan demikian, Wahdatul wujud memiliki arti kesatuan wujud. Kata wahdah selanjutnya digunakan untuk arti yang bermacam-macam. Di kalangan ulama klasik ada yang mengartikan wahdah sebagai sesuatu yang zatnya tidak dapat dibagi-bagi pada bagian yang lebih kecil. Selain itu, al-wahdah digunakan pula oleh para ahli filsafat dan sulfistik sebagai suatu kesatuan antara makhluk dan roh, lahir dan batin, antara alam dan Allah, karena pada hakikatnya alam adalah Qadim dan berasal dari Allah
Pengertian wahdatul wujud yang terakhir itulah yang selanjutnya digunakan para sufi, yaitu paham bahwa antara manusia dan Tuhan pada hakikatya adalah satu kesatuan wujud. Harun Nasution lebih lanjut menjelaskan paham ini dengan mengatakan, bahwa dalam paham wahdat al-wujud, nasut yang ada dalam hulul diubah menjadi khalq (makhluk) dan lahut menjadi haqq (Tuhan). Khalq dan haqq adalah dua aspek bagian sesuatu. Aspek yang sebelah luar disebut khalq dan aspek yang sebelah dalam disebut haqq.[8])

2.      Tokoh Yang Mengembangkan Paham Wahdatul Wujud
a.         Muhy Al-Din Ibnu Arabi
Ibnu Arabi lahir di kota Murcia, Spanyol pada tahun 1165. Ibnu Arabi belajar di Seville, kemudian setelah selesai pindah ke Ruris. Di sana ia mengikuti dan memperdalam aliran sufi. Negeri negeri yang pernah ia kunjungi anatara lain Mesir, Syiria, Iraq, Turki, dan akhirnya ia menetap di Damaskus. Disana ia meninggal dunia pada tahun 1240 M. Diantara karya beliau yang terkenal adalah buku dlam bidang tasawuf yang berjudul “Futuhat Al-Makkah” (pengetahuan-pengetahuan yang dibukukan di Mekkah) dengan tersusun sebanyak 12 jilid. Buku terkenal lainnya berjudul “Futuh Al-Hikmah” (Permata-permata hikmat).
Menurut Hamka, Ibnu Arabi dapat disebut sebagai orang yang telah sampai pada puncak wahdatul wujud. Dia telah menegakkan pahamnya dengan berdasarkan renung pikir dan filsafat dan zauq tasawuf. Ia menyajikan ajaran tasawufnya dengan bacaan yang agak berbelit-belit dengan tujuan untuk menghindari tuduhan, fitnah, dan ancaman kaum awam sebagai mana dialami Al-Hallaj. Baginya, wujud itu hanya satu. Dalam Futuhat Al-Makkah, Ibnu Arabi berkata, ”Wahai yang Menjadikan segala sesuatu pada dirinya Engkau bagi apa yang Engkau jadikan, mengumpulkan apa yang Engkau jadikan, barang yang tak berhenti adanya pada Engkau Maka engkaulah yang sempit dan lapang.”

b.      Syekh Siti Jenar
Juga dikenal dalam banyak nama lain, antara lain Sitibrit, Lemahbang, dan Lemah Abang. Adalah seorang tokoh yang dianggap sebagai sufi dan juga salah satu penyebar agama islam dipulai Jawa. Tidak ada yang mengetahui secara pasti asal usulnya. Di masyarakat terdapat banyak varian cerita mengenai asal usul Syekh Siti Jenar. Sebagian umat Islam menganggapnya sesat karena ajarannya yang terkenal yaitu Manunggaling Kawula Gusti, akan tetapi sebagian yang lain menganggap bahwa Syekh Siti Jenar adalah intelektual yang sudah mendapatkan esensi Islam itu sendiri. Ajarannya tertuang dalam pupuh, yaitu karya sastra yang di buatnya meskipun demikian, ajaran yang mulia dari Syekh Siti Jenar adalah budi pekerti. Syekh Siti Jenar mengajarkan cara hidup sufi yang dinilai bertentangan dengan Walisongo. Pertentangan praktek sufi beliau dengan Walisongo terletak pada penekanan aspek formal ketentuan syariah yang ditentukan oleh Walisongo.[9])

3.      Konsep manusia yang sehat dan sakit menurut paham wahdatul wujud
a.         Konsep manusia yang sehat
Manusia adalah hamba Tuhan karena Tuhan telah berilusinasi secara dzatiyah pada manusia sehingga manusia adalah dzat Tuhan, karena kejadiannya yang demikian itu ia disebut insan kamil atau nuskhat ilahi. Sedangkan manusia lain hanya menerima pancaran tajali saja, sehingga hanya beberapa aspek yang sama dengan Tuhan. Hingga ia sampai pada suatu keadaan yang memungkinkannya untuk dapat melihat, mendengar dan berbicara melalui Tuhan serta bersama Tuhan, artinya ia telah diberi suatu kemampuan yang sama dengan Tuhan, sehingga seluruh perilakunya ialah atas nama Tuhan. Dari konsep diatas, jika dijalankan oleh manusia, maka dapat dikatakan bahwa manusia itu telah sehat.
b.      Konsep manusia yang sakit
Manusia yang sakit dalam pandangan ajaran tasawuf wahdatul wujud ini adalah manusia yang tidak tahu tujuan Tuhan menciptakan alam dan dirinya sendiri. Kata Ibnu Arabi adalah agar Ia bisa melihat diri-Nya sendiri dalam bentuk yang dengan nampak jelas asma dan sifat-Nya. Kesadaran manusia bahwa ada wujud Tuhan esensial di alam ini tidak menyentuh hatinya bahkan mengingkari akal sehatnya.

4.      Dasar hukum Wahdatul wujud
Ajaran wahdatul wujud memiliki dasar dan landasan, Dalil-dalil dalam al-Qur’an, misalnya sebagai berikut:
أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلا هُدًى وَلا كِتَابٍ مُنِيرٍ
 Tidakkah kamu memperhatikan bahwa Allah telah menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang di bumi untuk (kepentingan)mu dan menyempurnakan nikmat-Nya untukmu lahir dan batin. Tetapi di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan (Q.S Luqman: 20)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ
 “Wahai manusia! Kamulah yang memerlukan Allah; dan Allah Dialah Yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji(Q.S Surat Fathir :15)[10])
E.     Ittihad
1.         Pengertian Ittihad
Ittihad memiliki arti "bergabung menjadi satu", sehingga paham ini berarti seorang sufi dapat bersatu dengan Allah setelah terlebih dahulu melebur dalam sandaran rohani dan jasmani (fana) untuk kemudian dalam keadaan baqa, bersatu dengan Allah. Dalam paham ini, seseorang harus melalui beberapa tingkatan untuk mencapai Ittihad, yaitu fana dan baqa'. Fana merupakan peleburan sifat-sifat buruk manusia agar menjadi baik. Pada saat ini, manusia mampu menghilangkan semua kesenangan dunia sehingga yang ada dalam hatinya hanya Allah (baqa). Inilah inti ittihad, "diam pada kesadara ilahi".
Dalam tasawuf, ittihad adalah kondisi dimana seorang sufi merasa dirinya menyatu dengan Tuhan sehingga masing-masing diantara keduanya bisa memanggil kata-kata aku.
Ittihad itu akan tercapai kalau seorang sufi telah dapat menghilangkan kesadarannya. Dia tidak mengenal lagi wujud tubuh kasarnya dan wujud alam sekitarnya. Namun lebih dari itu sebenarnya. Menurut Nicolson, dalam faham ittihad, hilangnya kesadaran adalah permulaan untuk memasuki tingkat ittihad yang sebenarnya dicapai dengan adanya kesadaran terhadap dirinya sebagai Tuhan. Keadaan inilah yang disebut dengan kesinambungan hidup setelah kehancuran (“abiding after passing away”, al-baqa’ ba’ad al-fana’). Dan hilangnya kesadaran (fana’) yang merupakan awal untuk memasuki pintu ittihad itu adalah pemberian Tuhan kepada seorang sufi. Sekarang jika memang fana yang merupakan prasyarat untuk mencapai ittihad itu adalah pemberian Tuhan, maka pemberian itu akan datang sendirinya setelah seorang sufi dengan kesungguhan dan kesabarannya dalam ibadah dalam usaha memberikan jiwa sebagaimana dikemukakan di atas.[11])

2.      Tokoh Yang Mengembangkan Paham Ittihad
Abu Yazid memiliki nama lengkap Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan Al-Busthami. Dia dilahirkan sekitar tahun 200 H / 814 M di Bustam, salah satu di daerah Qumais, bagian Timur Laut Persia. Ia salah seorang tokoh sufi yang terkenal dalam abad ketiga hijriah. Surusyan, kakeknya Abu Yazid, adalah seorang penganut Zoroaster yang kemudian menganut Islam di Bustam. Keluarganya cukup berada, namun Abu Yazid memilih hidup secara sederhana. Dalam menjalani kehidupan zuhud, selama 13 tahun Abu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, hanya sedikit tidur, makan. dan minum.
Sebagaimana anak dan remaja muslim lainnya, ia pada masa mudanya mendalami al-Qur'an dan hadits. Ia juga menekuni fiqih Hanafi, kemudian dia memperoleh pelajaran tentang ilmu tauhid dan ilmu hakikat begitu juga tentang fana dari Abu Ali Sindi, sehingga tidak diragikan bahwa di masa mudanya ia sudah memiliki pengetahuan agama yang luarbiasa.
Abu Yazid al-Busthami adalah seorang zahid yang terkenal. Menurutnya zahid itu adalah seseorang yang mampu atau bisa mendo’akan dirinya untuk selalu berdekatan dengan Allah. Menurutnya hal ini dapat  ditempuh melalui tiga fase atau tahapan, yaitu: pertama zuhud terhadap dunia, kedua zuhud terhadap akhirat, dan ketiga zahid terhadap selain Allah. Dalam tahapan terakhir ini dia berada dalam kondisi mental yang membuat dirinya tidak mengingat apa-apa selain Allah, yang ada hanyalah Allah belaka.
Abu Yazid juga seorang sufi yang membawa faham yang berbeda dengan ajaran tasawuf yang dibawa oleh para tokoh-tokoh sufi sebelumnya. Ajaran yang dibawanya banyak di tentang oleh para ulama fiqih dan tauhid, yang menyebabkan dia keluar masuk penjara.
Menurut Abu Yazid, manusia adalah pancaran Nur Ilahi, oleh karena itu manusia hilang kesadarannya (sebagai manusia). Maka pada dasarnya ia telah menemukan asal mula yang sebenarnya, yaitu nur ilahi atau dengan kata lain ia menyatu dengan Tuhan. Bila seseorang yang telah mencapai ittihad, apa yang dilakukan adalah melalui Tuhan. Ucapan yang dikatakan dari mulut Abu Yazid itu, bukanlah kata-katanya sendiri tetapi kata-kata itu diucapkannya melalui diri Tuhan dalam ittihad yang dicapainya dengan Tuhan. Dengan demikian sebenarnya Abu Yazid tidak mengakui dirinya sebagai Tuhan, tetapi bagi orang yang bersikap toleran, ittihad dipandang sebagai penyelewengan, namun bagi orang yang berpegang teguh pada agama, hal ini dipandang sebagai kekufuran
Ia meninggal pada tahun 261 H / 875 M, dan makamnya masih ada hingga saat ini. Makamnya yang terletak di tengah-tengah kota, menarik banyak pengunjung dari berbagai tempat. Ia dikuburkan berdampingan dengan kuburan Hujwiri, Nasir Khusraw dan Yaqut. Pada tahun 1313 M didirikan diatasnya sebuah kubah yang indah oleh seorang sultan Mongol, Muhammad Khudabanda atas nasehat gurunya Syekh Syafruddin, salah seorang keturunan dari Bustham.[12])



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Mahabbah berarti mencintai Allah. Aliran mahabbah dikembangkan oleh seorang sufi wanita yang bernama Rabi’ah Al-‘Adawiah.
Fana adalah lenyapnya sifat-sifat basyariah, akhlak yang tercela, kebodohan dan perbuatan maksiat dari diri manusia. Sedangkan baqa adalah kekalnya sifat-sifat ketuhanan, akhlak yang terpuji, ilmu pengetahuan dan kebersihan diri dari dosa dan maksiat. Abu Yazid al-Bustami disebut-sebut sebagai Sufi yang pertama kali memperkenalkan paham Fana dan Baqa.
Hulul secara bahasa berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana. Tokoh yang mengembangkan paham al-Hulul adalah Husein bin Mansur al-Hallaj. Ia lahir tahun 224 H. (858 M.)
Wahdatul wujud digunakan oleh para ahli filsafat dan sulfistik sebagai suatu kesatuan antara makhluk dan roh, lahir dan batin, antara alam dan Allah, karena pada hakikatnya alam adalah Qadim dan berasal dari Allah. Tokoh yang mengembangkan paham ini diantaranya adalah Muhy Al-Din Ibnu Arabi dan Syekh Siti Jenar
Ittihad memiliki arti "bergabung menjadi satu", sehingga paham ini berarti seorang sufi dapat bersatu dengan Allah setelah terlebih dahulu melebur dalam sandaran rohani dan jasmani (fana) untuk kemudian dalam keadaan baqa, bersatu dengan Allah. Tokoh Yang Mengembangkan Paham Ittihad adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan Al-Busthami.

B.     Saran
Sudah seharusnya seorang muslim mendekatkan diri kepada Alloh. Namun yang tidak kalah penting dari itu hendaknya amalan amalan yang kita lakukan untuk mendekatkan diri kepada sang pencipta haruslah yang sesuai dengan al Qur’an dan hadits. Karena kunci dalam beribadah hanyalah ikhlas dan ittiba’ Rosul


[1]) Harun nasution, falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1983, hlm. 81
[2]) Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Akhlak Tasawuf, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011, hlm. 231
[3]) Prof. H.A. Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 146
[4] ) Abdul Hadi WM, Tasawuf Yang Tertindas, Jakarta: Paradigma, 2001, hlm. 44
[5]) Ibid., hlm. 47-38
[6]) M. Sobirin dan Rosihan Anwar, Kamus Tasawuf, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000, hlm. 224
[7]) Asmara AS, Pengantar Studi Tasawuf,  Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 120
[8]) Hamka , Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983, hlm. 45
[9]) Jamil HM. Cakrawala Tasawuf .sejarah,pemikiran dan kontekstualitas. Jakarta: Gaung Persada, 2004, hlm 103
[10])Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, Jakarta: Raja Grafindo, 1997, hlm. 86
[11]) Said bin Abdullah Al-Hamdany, Sanggahan Terhadap Tasawuf dan Ahli Sufi. Bandung: Pelita,1969. hlm. 87

[12]) Ibid., hlm. 90

Tidak ada komentar:

Posting Komentar