BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah agama
yang dibawa oleh seluruh Nabi dan Rasul mulai dari Nabi Adam hingga Nabi
Muhammad shallaahu alaihi wasallam. Islam pula adalah satu-satunya agama
yang diridloi oleh Allah. Oleh kerena Islam adalah agama yang dirudhloi oleh
alloh, sudah tentu islam adalah agama yang mencakup segala aspek kehidupan ini.
Sebagaimana Nabi
Muhammad diutus untuk memperbaiki akhlak ummat, maka Islam mengajarkan hal-hal
yang berkaitan dengan akhlak manusia. Salah satu yang termasuk adalah akhlak
tasawuf.
Dalam akhlak tasawuf
dibahas beberapa maqamat dan ahwal untuk mencapai ma’rifat. Diantaranya adalah
fana dan baqa, mahabbah,hulul, ittihad, wahdatul wujud, dll.
Maka, dalam makalah
ini penulis membahas fana dan baqa, mahabbah,hulul, ittihad, wahdatul wujud
agar pembaca mengetahui konsep dari beberapa konsep akhlak tasawuf. Lebih
luasnya lagi, penulis berharap amal dan perbuatan yang kita kerjakan sesuai
dengan ajaran Rasul.
Mudah-mudahan dengan
penbahasan sekilas ini dapat menambah wawasan penulis khususnya dan pembaca
umumnya.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa Pengertian Mahabbah ?
2.
Apa Dasar Hukum Mahabbah?
3.
Siapa Tokoh Yang Mengembangkan Paham Mahabbah?
4.
Apa Pengertian Fana Dan
Baqa’ ?
5.
Siapa Tokoh Yang Mengembangkan Paham Fana Dan Baqa’?
6.
Apa Dasar
Hukum Fana Dan Baqa’?
7.
Apa Pengertian Hulul?
8.
Siapa Tokoh
Yang Mengembangkan Paham Al-Hulul?
9.
Apa Dasar
Hukum Hulul?
10.
Apa Pengertian Wahdatul Wujud?
11.
Siapa Tokoh Yang
Mengembangkan Paham Wahdatul Wujud?
12.
Bagaimana Konsep Manusia Yang Sehat Dan Sakit Menurut Paham Wahdatul
Wujud?
13.
Apa Dasar
Hukum Wahdatul Wujud?
14.
Apa Pengertian Ittihad?
15.
Siapa Tokoh Yang
Mengembangkan Paham Ittihad?
C. Tujuan Makalah
1.
Mengetahui Pengertian Mahabbah.
2.
Mengetahui
Dasar Hukum Mahabbah.
3.
Mengetahui Tokoh Yang Mengembangkan Paham Mahabbah.
4.
Mengetahui Pengertian Fana Dan Baqa’.
5.
Mengetahui Tokoh Yang Mengembangkan Paham Fana Dan Baqa’.
6.
Mengetahui Dasar
Hukum Fana Dan Baqa’.
7.
Mengetahui
Pengertian Hulul.
8.
Mengetahui
Tokoh Yang Mengembangkan Paham Al-Hulul.
9.
Mengetahui Dasar
Hukum Hulul.
10.
Mengetahui Pengertian Wahdatul Wujud.
11.
Mengetahui
Tokoh Yang Mengembangkan Paham Wahdatul Wujud.
12.
Mengetahui Konsep Manusia Yang Sehat Dan Sakit Menurut Paham Wahdatul Wujud
13.
Mengetahui Dasar
Hukum Wahdatul Wujud.
14.
Mengetahui Pengertian Ittihad.
15.
Mengetahui
Tokoh Yang Mengembangkan Paham Ittihad
BAB II
PEMBAHASAN
A. Mahabbah
1.
Pengertian Mahabbah
Kata mahabbah berasal
dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang
secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan yang
mendalam. Mahabbah
adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan
sepenuh hati sehingga sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk kedalam diri yang
mencintai.
Dalam kajian tasawuf, mahabbah berarti mencintai Allah dan mengandung arti
patuh kepada-Nya dan membenci sikap yang melawan kepada-Nya, mengosongkan hati
dari segala-galanya kecuali Allah SWT serta menyerahkan seluruh diri
kepada-Nya. Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula
berarti suatu usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat
rohaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran Yang Mutlak, yaitu cinta kepada
Tuhan[1])
Selanjutnya
Harun Nasution mengatakan bahwa mahabbah adalah cinta dan yang dimaksud ialah
cinta kepada Tuhan. Lebih lanjut Harun Nasution mengatakan, pengertian mahabbah
antara lain yang berikut:
a.
Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap
melawan kepada-Nya
b.
Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
c.
Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari
yang dikasihi, yaitu Tuhan
Dengan
uraian tersebut kita dapat memperoleh pemahaman bahwa mahabbah adalah
suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati, sehingga sifat-sifat yang
dicintai (Tuhan) masuk kedalam diri yang dicintai. Tujuannya adalah untuk
memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi
hanya dapat dirasakan oleh jiwa.
2.
Dasar Hukum Mahabbah
Ajaran mahabbah
memiliki dasar dan landasan, baik di dalam Al-quran maupun Sunah Nabi SAW.
a.
Dalil-dalil dalam al-Qur’an, misalnya sebagai berikut:
وَمِنَ
النَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ اللّهِ أَندَاداً يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللّهِ
وَالَّذِينَ آمَنُواْ أَشَدُّ حُبّاً لِّلّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُواْ
إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلّهِ جَمِيعاً وَأَنَّ اللّهَ
شَدِيدُ الْعَذَابِ -١٦٥
Artinya :
”Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Tuhan selain Allah sebagai
tandingan, yang mereka cintai seperti mencintai Allah. Adapun orang -orang yang
beriman sangat besar cintanya kepada Allah. Sekiranya orang-orang yang berbuat
zalim itu melihat, ketika mereka melihat azab (pada hari Kiamat), bahwa
kekuatan itu semuanya milik Allah dan bahwa Allah sangat berat azab-Nya
(niscaya mereka menyesal)”. (QS. Al Baqarah/2: 165)
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي
يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ -٣١-
Artinya :
“Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
Mencintaimu dan Mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”. (QS. Ali
Imron/3: 31).
b.
Dalil-dalil dalam hadis Nabi Muhammad SAW, misalnya
sebagai berikut:
….. وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا …
….Tidaklah seorang hamba-Ku senantiasa mendekati-Ku
dengan ibadah-ibadah sunah kecuali Aku akan mencintainya. Jika Aku
mencintainya, maka Aku pun menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk
mendengar; menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat; menjadi
tangannya yang ia gunakan untuk memukul; dan menjadi kakinya yang ia gunakan
untuk berjalan.…[2])
3.
Tokoh Yang Mengembangkan Paham Mahabbah
Aliran mahabbah dipelopori dan dikembangkan oleh
seorang sufi wanita yang bernama Rabi’ah Al-‘Adawiah. Rabi’ah al-adawiyah
adalah seorang zahid perempuan yang amat besar dari bashrah, Irak. Ia lahir di
Basrah pada tahun 714 M.
Rabiah kehilangan kedua orang tuanya waktu ia masih
kecil. Ketiga orang kakaknya perempuan juga meninggal ketika wabah kelaparan
melanda basra. Ia sendiri jatuh ke tangan orang yang kejam, dan orang ini
menjualnya sebagai budak belia dengan harga yang tidak seberapa..
Si kecil Rabiah menghabiskan waktunya dengan
melaksanakan segala perintah majikannya. Malam hari di laluinya dengan
berdoa. Pada suatu malam, majikannya melihat tanda kebesaran rohani Rabiah,
ketika Rabiah berdoa kepada Allah “Ya
Rabbi, Engkau telah membuatku menjadi budak belian seorang manusia sehingga aku
terpaksa mengabdi kepadanya. Seandainya aku bebas, pasti aku persembahkan
seluruh waktu dalam hidupku ini untuk berdoa kepadaMu” Tiba-tiba tampak
cahaya di dekat kepalanya, dan melihat itu majikannya menjadi sangat ketakutan.
keesokan harinya Rabiah dibebaskan oleh majikannya tersebut.
Setelah bebas, Rabiah menghabiskan waktunya hanya
untuk beribadah kepada Alloh SWT. Cinta
Rabi’ah yang tulus tanpa mengharapkan sesuatu pada Tuhan, terlihat dari
ungkapan do’a-do’a yang disampikannya. Misalnya salah satu do’anya “Ya Tuhanku, bila aku menyembah-Mu lantaran
takut kepada neraka, maka bakarlah diriku dalam neraka; dan bila aku
menyembah-Mu karena mengharapkan surga, maka jauhkanlah aku dari surga; namun
jika aku menyembah-Mu hanya demi engkau, maka janganlah engkau tutup keindahan
abadi-Mu”[3])
B. Fana dan Baqa’
1.
Pengertian Fana dan Baqa’
Dari segi
bahasa al-fana berarti hilangnya wujud sesuatu. Fana berbeda dengan al-fasad (rusak).
Fana artinya tidak tampak sesuatu, sedangkan rusak adalah berubahnya sesuatu
kepada sesuatu yang lain. Adapun artinya fana menurut kalangan sufi adalah
hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang
lazim digunakan pada diri.
Mustafa
Zahri mengatakan bahwa yang dimaksud fana adalah lenyapnya indrawi atau
kebasyariahan, yakin sifat sebagai manusia biasa yang suka pada syahwat dan
hawa nafsu. Orang yang telah diliputi hakikat ketuhanan sehingga tiada lagi
melihat daripada alam baharu, alam rupa dan alam wujud ini, maka dikatakan ia telah
fana dari alam makhluk. Selain itu fana juga dapat berarti hilangnya sifat-sifat
buruk (maksiat) lahir batin.
Sebagai
akibat dari fana adalah baqa. Secara harfiah baqa berarti kekal. Sedangkan yang
dimaksud para sufi, baqa adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat
Tuhan dalam diri manusia. Karena lenyapnya (fana) sifat-sifat basyariah, maka
yang kekal adalah sifat-sifat ilahiah.[4])
Dengan
demikian, dapatlah dipahami bahwa yang dimaksud dengan fana adalah lenyapnya
sifat-sifat basyariah, akhlak yang tercela, kebodohan dan perbuatan maksiat
dari diri manusia. Sedangkan baqa adalah kekalnya sifat-sifat ketuhanan, akhlak
yang terpuji, ilmu pengetahuan dan kebersihan diri dari dosa dan maksiat. Untuk
mencapai baqa ini perlu dilakukan usaha-usaha seperti bertaubat, berzikir,
beribadah, dan menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji.
Berdasarkan
uraian tersebut dapat diketahui bahwa yang dituju dengan fana dan baqa ini
adalah mencapai persatuan secara rohaniah dan batiniah dengan Tuhan, sehingga
yang didasari hanya Tuhan dalam dirinya.
2.
Tokoh Yang Mengembangkan Paham Fana Dan Baqa’
Dalam sejarah tasawuf, Abu Yazid al-Bustami
disebut-sebut sebagai Sufi yang pertama kali memperkenalkan paham Fana dan
Baqa. Nama kecilnya adalah Thaifur. Nama beliau sangat istimewa dalam kalangan
kaum Sufi.
Abu Yazid adalah salah satu tokoh sufi yang telah
melewati ma’rifah melalui Fana dan Baqa. Ketika Abu Yazid telah fana dan
mencapai baqa maka dari mulutnya keluarlah kata-kata yang ganjil, yang jika
tidak hati-hati memahami akan menimbulkan kesan seolah-olah Abu Yazid mengakui
dirinya sebagai Tuhan padahal sesungguhnya ia tetap manusia biasa,
yaitu manusia yang mengalami pengalaman batin bersatu dengan Tuhan. Diantara ucapan ganjilnya ialah “tidak ada tuhan melainkan saya. Sembahlah saya, amat sucilah saya,
alangkah besarnya kuasaku”.
Tentang kefanaan Abu Yazid ini pernah diceritakan oleh
sahabatnya Zunnun Almishri mengutus untuk menemui Abu Yazid, ketika utusan itu
sampai, diketuklah pintu rumah Abu Yazid, terjadilah percakapan antara utusan
dan Abu Yazid:
Abu Yazid : “Siapa di luar?”
Utusan : “Kami hendak berjumpa dengan
Abu Yazid”
Ab Yazid : “Abu Yazid siapa? Dimana
dia? Sayapun mencari Abu
Yazid.
Rombongan utusan itupun pulang
dan kemudian memberitahukan kepada Zunnun. Mendengar keterangan itu Zunnun
berkata, “Sahabatku Abu Yazid telah pergi
kepada Allah dan dia sedang fana.”
Ucapan yang keluar dari mulut Abu Yazid itu, bukanlah
kata-katanya sendiri tetapi kata-kata itu diucapkannya melalui diri Tuhan dalam
Ittihad yang dicapainya dengan tuhan. Dengan demikian sebenarnya Abu Yazid
tidak mengaku dirinya sebagai tuhan
3. Dasar hukum fana dan baqa’
Ajaran fana
dan baqa' memiliki dasar dan landasan, Dalil-dalil dalam al-Qur’an, misalnya
sebagai berikut:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ
أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ
فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Katakanlah,
"Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kalian, yang
diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa.
Barang siapa mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam
beribadat kepada Tuhannya.”( Q.S Al-Kahfi : 110 )
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ (٢٦)
وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلالِ وَالإكْرَامِ (٢٧)
“Semua yang ada di bumi itu akan binasa.
Tetapi zat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan tetap kekal.” (Q.S Ar Rahman : 26-27 )[5])
C. Hulul
1.
Pengertian Hulul
Kata Al-Hulul, berdasarkan pengertian
bahasa berasal dari kata halla-yahlu-hululan yang berarti menempati. Al-Hulul
dapat berarti menempati suatu tempat. Jadi hulul secara bahasa berarti Tuhan
mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat
melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana. Adapun menurut
istilah ilmu tasawuf, Al-Hulul menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam
al-Luma’ sebagai dikutip Harun Nasution, adalah paham yang
mengatakan bahwa Tuhan telah memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk
mengambil tempat didalamnya setelah sifat-sifat kemanusian yang ada dalam tubuh
itu dilenyapkan.
Al-Hulul
mempunyai dua bentuk, yaitu :
a.
Al-Hulul Al-Jawari yakni keadaan dua esensi yang satu
mengambil tempat pada yang lain (tanpa persatuan), seperti air mengambil tempat
dalam bejana.
b.
Al-Hulul As-Sarayani yakni persatuan dua esensi (yang satu
mengalir didalam yang lain) sehingga yang terlihat hanya satu esensi, seperti
zat air yang mengalir didalam bunga.
Al-hulul
dapat dikatakan sebagai suatu tahap dimana manusia dan Tuhan bersatu secara
rohaniah. Dalam hal ini hulul pada hakikatnya istilah lain dari al-ittihad
sebagaimana telah disebutkan diatas. Tujuan dari hulul adalah mencapai
persatuan secara batin. Untuk itu Hamka mengatakan bahwa al-hulul adalah
ketuhanan (lahut) menjelma kedalam diri insan (nasut0, dan hal ini terjadi pada
saat kebatinan seorang insan telah suci bersih dalam menempuh perjalanan hidup
kebatinan.[6])
2.
Tokoh
Yang Mengembangkan Paham Al-Hulul
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa tokoh yang mengembangkan paham al-Hulul adalah al-Hallaj. Nama lengkapnya adalah Husein
bin Mansur al-Hallaj. Ia lahir tahun 224 H. (858 M.) di negeri Baidha, salah
satu kota kecil yang terletak di Persia. Dia tinggal sampai dewasa di
Wasith dekat dengan Baghdad, dan dalam usia 16 tahun dia telah pergi belajar
pada seorang sufi yang terbesar dan terkenal, bernama Amr al-Makki, dan pada
tahun 264 H. ia masuk kota Baghdad dan belajar pada al-Junaid yang juga seorang
sufi. Selain itu ia pernah juga menunaikan ibadah haji di Makkah selama tiga
kali. Dengan riwayat hidup yang singkat ini jelas bahwa ia memiliki dasar
pengetahua tentang tasawuf yang cukup kuat dan mendalam.
Dalam perjalanan hidup selanjutnya ia pernah keluar masuk penjara akibat
konflik dengan ulama fikih. Pandangan-pandangan tasawuf yang ganjil sebagaimana
telah dikemukakan menyebabkan seorang ulama fikih bernama ibn Daud al-Isfahani
mengeluarkan fatwa untuk membantah dan memberantas paham tasawuf al-Hallaj.
3. Dasar hukum hulul
Ajaran hulul memiliki dasar dan landasan,
Dalil-dalil dalam al-Qur’an, misalnya sebagai berikut:
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآَدَمَ
فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ
“Dan (ingatlah)
ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: Sujudlah kalian kepada
Adam, maka mereka pun sujud, kecuali Iblis, ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan yang
kafir.” (Q.S Al-Baqarah: 34)[7])
D. Wahdatul Wujud
1.
Pengertian Wahdatul Wujud
Wahdatul wujud adalah ungkapan yang
terdiri dari dua kata, yaitu Wahdat artinya sendiri, tunggal, atau
kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan demikian, Wahdatul
wujud memiliki arti kesatuan wujud. Kata wahdah selanjutnya
digunakan untuk arti yang bermacam-macam. Di kalangan ulama klasik ada yang
mengartikan wahdah sebagai sesuatu yang zatnya tidak dapat dibagi-bagi
pada bagian yang lebih kecil. Selain itu, al-wahdah digunakan pula oleh
para ahli filsafat dan sulfistik sebagai suatu kesatuan antara makhluk dan roh,
lahir dan batin, antara alam dan Allah, karena pada hakikatnya alam adalah
Qadim dan berasal dari Allah
Pengertian wahdatul
wujud yang terakhir itulah yang selanjutnya digunakan para sufi, yaitu paham
bahwa antara manusia dan Tuhan pada hakikatya adalah satu kesatuan wujud. Harun
Nasution lebih lanjut menjelaskan paham ini dengan mengatakan, bahwa dalam
paham wahdat al-wujud, nasut yang ada
dalam hulul diubah menjadi khalq (makhluk)
dan lahut menjadi haqq (Tuhan). Khalq dan haqq adalah dua
aspek bagian sesuatu. Aspek yang sebelah luar disebut khalq dan aspek yang sebelah dalam disebut haqq.[8])
2.
Tokoh Yang Mengembangkan Paham
Wahdatul Wujud
a.
Muhy Al-Din Ibnu Arabi
Ibnu Arabi lahir di
kota Murcia, Spanyol pada tahun 1165. Ibnu Arabi belajar di Seville, kemudian
setelah selesai pindah ke Ruris. Di sana ia mengikuti dan memperdalam aliran
sufi. Negeri negeri yang pernah ia kunjungi anatara lain Mesir, Syiria, Iraq,
Turki, dan akhirnya ia menetap di Damaskus. Disana ia meninggal dunia pada
tahun 1240 M. Diantara karya beliau yang terkenal adalah buku dlam bidang
tasawuf yang berjudul “Futuhat Al-Makkah”
(pengetahuan-pengetahuan yang dibukukan di Mekkah) dengan tersusun sebanyak 12
jilid. Buku terkenal lainnya berjudul “Futuh
Al-Hikmah” (Permata-permata hikmat).
Menurut Hamka, Ibnu
Arabi dapat disebut sebagai orang yang telah sampai pada puncak wahdatul
wujud. Dia telah menegakkan pahamnya dengan berdasarkan renung pikir dan
filsafat dan zauq tasawuf. Ia menyajikan ajaran tasawufnya dengan bacaan yang
agak berbelit-belit dengan tujuan untuk menghindari tuduhan, fitnah, dan
ancaman kaum awam sebagai mana dialami Al-Hallaj. Baginya, wujud itu hanya
satu. Dalam Futuhat Al-Makkah, Ibnu Arabi berkata, ”Wahai yang Menjadikan
segala sesuatu pada dirinya Engkau bagi apa yang Engkau jadikan, mengumpulkan
apa yang Engkau jadikan, barang yang tak berhenti adanya pada Engkau Maka
engkaulah yang sempit dan lapang.”
b. Syekh Siti Jenar
Juga dikenal dalam
banyak nama lain, antara lain Sitibrit, Lemahbang, dan Lemah Abang. Adalah
seorang tokoh yang dianggap sebagai sufi dan juga salah satu penyebar agama
islam dipulai Jawa. Tidak ada yang mengetahui secara pasti asal usulnya. Di
masyarakat terdapat banyak varian cerita mengenai asal usul Syekh Siti Jenar.
Sebagian umat Islam menganggapnya sesat karena ajarannya yang terkenal yaitu
Manunggaling Kawula Gusti, akan tetapi sebagian yang lain menganggap bahwa
Syekh Siti Jenar adalah intelektual yang sudah mendapatkan esensi Islam itu
sendiri. Ajarannya tertuang dalam pupuh, yaitu karya sastra yang di buatnya
meskipun demikian, ajaran yang mulia dari Syekh Siti Jenar adalah budi pekerti.
Syekh Siti Jenar mengajarkan cara hidup sufi yang dinilai bertentangan dengan
Walisongo. Pertentangan praktek sufi beliau dengan Walisongo terletak pada
penekanan aspek formal ketentuan syariah yang ditentukan oleh Walisongo.[9])
3. Konsep manusia yang sehat dan sakit menurut paham
wahdatul wujud
a.
Konsep manusia yang
sehat
Manusia adalah hamba Tuhan karena Tuhan telah berilusinasi secara dzatiyah
pada manusia sehingga manusia adalah dzat Tuhan, karena kejadiannya yang
demikian itu ia disebut insan kamil atau nuskhat ilahi. Sedangkan
manusia lain hanya menerima pancaran tajali saja, sehingga hanya
beberapa aspek yang sama dengan Tuhan. Hingga ia sampai pada suatu keadaan yang
memungkinkannya untuk dapat melihat, mendengar dan berbicara melalui Tuhan
serta bersama Tuhan, artinya ia telah diberi suatu kemampuan yang sama dengan Tuhan,
sehingga seluruh perilakunya ialah atas nama Tuhan. Dari konsep diatas, jika
dijalankan oleh manusia, maka dapat dikatakan bahwa manusia itu telah sehat.
b.
Konsep manusia yang
sakit
Manusia yang sakit dalam pandangan ajaran tasawuf wahdatul wujud ini
adalah manusia yang tidak tahu tujuan Tuhan menciptakan alam dan dirinya
sendiri. Kata Ibnu Arabi adalah agar Ia bisa melihat diri-Nya sendiri dalam
bentuk yang dengan nampak jelas asma dan sifat-Nya. Kesadaran manusia bahwa ada
wujud Tuhan esensial di alam ini tidak menyentuh hatinya bahkan mengingkari
akal sehatnya.
4. Dasar hukum Wahdatul wujud
Ajaran wahdatul wujud memiliki dasar dan
landasan, Dalil-dalil dalam al-Qur’an, misalnya sebagai berikut:
أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا
فِي الأرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً وَمِنَ
النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلا هُدًى وَلا كِتَابٍ
مُنِيرٍ
“Tidakkah
kamu memperhatikan bahwa Allah telah menundukkan apa yang ada di langit dan apa
yang di bumi untuk (kepentingan)mu dan menyempurnakan nikmat-Nya untukmu lahir
dan batin. Tetapi di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah
tanpa ilmu atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan” (Q.S
Luqman: 20)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ
الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ
“Wahai
manusia! Kamulah yang memerlukan Allah; dan Allah Dialah Yang Mahakaya (tidak
memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji” (Q.S Surat Fathir :15)[10])
E. Ittihad
1.
Pengertian Ittihad
Ittihad memiliki arti "bergabung
menjadi satu", sehingga paham ini berarti seorang sufi dapat
bersatu dengan Allah setelah terlebih dahulu melebur dalam sandaran rohani dan
jasmani (fana) untuk kemudian dalam keadaan baqa, bersatu
dengan Allah. Dalam paham ini, seseorang harus melalui beberapa
tingkatan untuk mencapai Ittihad, yaitu fana dan baqa'. Fana
merupakan peleburan sifat-sifat buruk manusia agar menjadi baik. Pada saat ini,
manusia mampu menghilangkan semua kesenangan dunia sehingga yang ada dalam
hatinya hanya Allah (baqa). Inilah
inti ittihad, "diam pada
kesadara ilahi".
Dalam
tasawuf, ittihad adalah kondisi dimana seorang sufi merasa dirinya menyatu
dengan Tuhan sehingga masing-masing diantara keduanya bisa memanggil kata-kata aku.
Ittihad itu akan tercapai kalau seorang sufi telah dapat menghilangkan
kesadarannya. Dia tidak mengenal lagi wujud tubuh kasarnya dan wujud alam
sekitarnya. Namun lebih dari itu sebenarnya. Menurut Nicolson, dalam faham
ittihad, hilangnya kesadaran adalah permulaan untuk memasuki tingkat ittihad
yang sebenarnya dicapai dengan adanya kesadaran terhadap dirinya sebagai Tuhan.
Keadaan inilah yang disebut dengan kesinambungan hidup setelah kehancuran (“abiding after passing away”, al-baqa’ ba’ad
al-fana’). Dan hilangnya kesadaran (fana’) yang merupakan awal untuk
memasuki pintu ittihad itu adalah pemberian Tuhan kepada seorang sufi. Sekarang
jika memang fana yang merupakan prasyarat untuk mencapai ittihad itu adalah
pemberian Tuhan, maka pemberian itu akan datang sendirinya setelah seorang sufi
dengan kesungguhan dan kesabarannya dalam ibadah dalam usaha memberikan jiwa
sebagaimana dikemukakan di atas.[11])
2.
Tokoh Yang Mengembangkan Paham Ittihad
Abu Yazid memiliki nama lengkap Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan
Al-Busthami. Dia dilahirkan sekitar tahun 200 H / 814 M di Bustam, salah satu
di daerah Qumais, bagian Timur Laut Persia. Ia salah seorang tokoh sufi yang
terkenal dalam abad ketiga hijriah. Surusyan, kakeknya Abu Yazid, adalah
seorang penganut Zoroaster yang kemudian menganut Islam di Bustam. Keluarganya
cukup berada, namun Abu Yazid memilih hidup secara sederhana. Dalam menjalani
kehidupan zuhud, selama 13 tahun Abu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di
Syam, hanya sedikit tidur, makan. dan minum.
Sebagaimana anak dan remaja muslim lainnya, ia pada masa mudanya mendalami
al-Qur'an dan hadits. Ia juga menekuni fiqih Hanafi, kemudian dia memperoleh
pelajaran tentang ilmu tauhid dan ilmu hakikat begitu juga tentang fana dari
Abu Ali Sindi, sehingga tidak diragikan bahwa di masa mudanya ia sudah memiliki
pengetahuan agama yang luarbiasa.
Abu Yazid al-Busthami adalah seorang zahid yang terkenal. Menurutnya zahid
itu adalah seseorang yang mampu atau bisa mendo’akan dirinya untuk selalu
berdekatan dengan Allah. Menurutnya hal ini dapat ditempuh melalui tiga
fase atau tahapan, yaitu: pertama zuhud terhadap dunia, kedua zuhud terhadap
akhirat, dan ketiga zahid terhadap selain Allah. Dalam tahapan terakhir ini dia
berada dalam kondisi mental yang membuat dirinya tidak mengingat apa-apa selain
Allah, yang ada hanyalah Allah belaka.
Abu Yazid juga seorang sufi yang membawa faham yang berbeda dengan ajaran
tasawuf yang dibawa oleh para tokoh-tokoh sufi sebelumnya. Ajaran yang
dibawanya banyak di tentang oleh para ulama fiqih dan tauhid, yang menyebabkan
dia keluar masuk penjara.
Menurut Abu Yazid, manusia adalah pancaran Nur Ilahi, oleh karena itu manusia hilang
kesadarannya (sebagai manusia). Maka pada dasarnya ia telah menemukan asal mula yang sebenarnya, yaitu
nur ilahi atau dengan kata lain ia menyatu dengan Tuhan. Bila seseorang yang telah mencapai ittihad, apa yang dilakukan
adalah melalui Tuhan. Ucapan yang dikatakan dari mulut Abu Yazid itu, bukanlah
kata-katanya sendiri tetapi kata-kata itu diucapkannya melalui diri Tuhan dalam
ittihad yang dicapainya dengan Tuhan. Dengan demikian
sebenarnya Abu Yazid tidak mengakui dirinya sebagai Tuhan, tetapi bagi orang
yang bersikap toleran, ittihad dipandang sebagai penyelewengan, namun
bagi orang yang berpegang teguh pada agama, hal ini dipandang sebagai kekufuran
Ia meninggal pada tahun 261 H / 875 M, dan makamnya masih ada hingga saat
ini. Makamnya yang terletak di tengah-tengah kota, menarik banyak pengunjung
dari berbagai tempat. Ia dikuburkan berdampingan dengan kuburan Hujwiri, Nasir
Khusraw dan Yaqut. Pada tahun 1313 M didirikan diatasnya sebuah kubah yang
indah oleh seorang sultan Mongol, Muhammad Khudabanda atas nasehat gurunya
Syekh Syafruddin, salah seorang keturunan dari Bustham.[12])
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mahabbah
berarti mencintai Allah. Aliran mahabbah
dikembangkan oleh seorang sufi wanita yang bernama Rabi’ah Al-‘Adawiah.
Fana adalah lenyapnya sifat-sifat basyariah, akhlak
yang tercela, kebodohan dan perbuatan maksiat dari diri manusia. Sedangkan baqa
adalah kekalnya sifat-sifat ketuhanan, akhlak yang terpuji, ilmu pengetahuan
dan kebersihan diri dari dosa dan maksiat. Abu Yazid
al-Bustami disebut-sebut sebagai Sufi yang pertama kali memperkenalkan paham
Fana dan Baqa.
Hulul secara bahasa berarti Tuhan mengambil tempat
dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan
sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana. Tokoh yang mengembangkan
paham al-Hulul adalah Husein bin Mansur al-Hallaj. Ia lahir tahun 224 H. (858
M.)
Wahdatul wujud digunakan oleh para
ahli filsafat dan sulfistik sebagai suatu kesatuan antara makhluk dan roh,
lahir dan batin, antara alam dan Allah, karena pada hakikatnya alam adalah
Qadim dan berasal dari Allah. Tokoh yang mengembangkan paham ini diantaranya
adalah Muhy Al-Din Ibnu Arabi dan Syekh Siti Jenar
Ittihad memiliki arti "bergabung
menjadi satu", sehingga paham ini berarti seorang sufi dapat
bersatu dengan Allah setelah terlebih dahulu melebur dalam sandaran rohani dan
jasmani (fana) untuk kemudian dalam keadaan baqa, bersatu
dengan Allah. Tokoh Yang Mengembangkan Paham
Ittihad adalah Abu Yazid Thaifur bin
‘Isa bin Surusyan Al-Busthami.
B. Saran
Sudah seharusnya seorang muslim mendekatkan diri
kepada Alloh. Namun yang tidak kalah penting dari itu hendaknya amalan amalan
yang kita lakukan untuk mendekatkan diri kepada sang pencipta haruslah yang
sesuai dengan al Qur’an dan hadits. Karena kunci dalam beribadah hanyalah
ikhlas dan ittiba’ Rosul
[3]) Prof. H.A. Rivay Siregar, Tasawuf
dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002, hlm. 146
[5])
Ibid., hlm. 47-38
[9]) Jamil HM. Cakrawala Tasawuf .sejarah,pemikiran dan kontekstualitas. Jakarta:
Gaung Persada, 2004, hlm 103
[11]) Said bin Abdullah Al-Hamdany, Sanggahan
Terhadap Tasawuf dan Ahli Sufi. Bandung: Pelita,1969. hlm. 87
[12])
Ibid., hlm. 90
Tidak ada komentar:
Posting Komentar